"Lihat, Bas. Lihat!"
Laki-laki yang duduk di sampingku menoleh. Buku puisi Hasta Indriyana yang sedari tadi ia baca, ia letakkan sejenak di pangkuan. Mata laki-laki itu kemudian mengikuti jari telunjukku yang menempel di jendela kereta api. Pandangannya menyapu deretan tiang listrik yang terlihat seperti hampir ambruk hingga akhirnya berhasil menatap tepat objek yang kutunjukkan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Sepeda motor itukah, Nay?" tanya dia.
Aku menganggukkan kepalaku. Sebuah senyum lebar menghias wajahku. Pandangan kami berdua terkunci pada sepeda motor yang melaju kencang di samping kereta api. Seorang gadis muda memeluk erat laki-laki yang memboncengnya.
Dari jendela kereta, kami berdua bisa melihat mereka berdua tertawa terbahak hingga jalan sepeda motor itu terkadang miring ke kanan dan sesaat kemudian miring ke kiri. Rasanya sepeda motor itu bahkan kesulitan untuk sekadar berjalan normal, lurus ke depan.
Aku mendesah dramatis. Entah kenapa gerakan sepeda motor itu, lalu wajah tertawa pasangan muda itu, membuat memoriku tersandung pada sesuatu. Sesuatu yang membuatku resah bertahun-tahun ini. Kegelisahan yang bahkan aku tak tahu apa namanya. Keteraturan? Harus selalu benar? Menyesuaikan ekspektasi manusia? Aturan menjadi dewasa? Tidak boleh berbuat dosa? Etika? Agama? Kupikir aku sedang dalam perjalanan menjadi malaikat!
"Suatu hari nanti Bastian, tolong ajak aku naik sepeda motor seperti itu ya. Ajak aku berkeliling Jakarta dengan sepeda motor. Mo-tor, Bas. Bukan mo-bil. Aku ingin naik motor saja," kataku yakin setelah beberapa lama menatap pasangan muda itu.
Entah kenapa Bastian tiba-tiba tertawa keras sekali, membuat pasangan lansia yang duduk di seberang kami menatap keheranan sebelum kemudian mereka akhirnya tersenyum pada kami berdua. Mungkin mereka berpikir betapa mereka berdua pernah muda dan pernah tertawa lepas serupa yang Bastian tunjukkan baru saja. Namun, mereka tahu benar tawa tersebut telah lama diculik hantu waktu. Jadi entah di mana sekarang tawa itu bermukim.
Ah, betapa terkadang manusia memang begitu membenci waktu yang kelakuannya mirip pencuri anarkistis. Masa kecil yang sungguh singkat dan berlanjut dengan kehidupan dewasa yang begitu panjang tanpa bel istirahat pertama dan kedua. Lagi-lagi, tak ada yang tahu di mana masa-masa tawa itu bermukim sekarang.
Waktu terus mengambil, mencuri, bahkan merampok hal-hal terbaik dalam hidup manusia. Yang menyedihkan, waktu bahkan tak pernah mendapat hukuman serta sanksi apa pun atas segala perbuatannya itu.
"Ssssst! Suaramu, Bas!" Aku mencubit Bastian keras-keras yang masih saja tertawa.
Bastian meringis. Dia kemudian menatapku sungguh-sungguh.
"Kenapa kau tiba-tiba ingin naik motor keliling kota, Nay? Apa yang ada di kepalamu? Ceritakan bayangan kegilaanmu," kata Bastian setelah tawanya mereda. Laki-laki itu melanjutkan berbicara sambil menggigit bibirnya. Kelihatan sekali dia masih berusaha menahan tawa.
Kini berganti aku yang tertawa terbahak melihat respons Bastian yang pasrah itu. Tawa serupa hingga membuat sepasang lansia di seberang kami menoleh lagi. Kini berganti aku yang menatap mereka dengan pandangan malu.
"Maafkan kami." Aku cepat-cepat meminta maaf.
"Sepertinya kami memang sedikit keterlaluan," tambahku lagi. Kupastikan aku telah menyuguhkan pandangan sangat menyesal kepada pasangan itu.
Untungnya Bastian segera menimpali permintaan maafku dengan permintaan maaf yang sama. Aku menjadi lega sekaligus terhibur melihat tingkahnya. Sungguh kelakuannya saat itu benar-benar tak sesuai dengan kesehariannya sebagai seorang bankir yang begitu disegani ratusan bawahannya di kota-kota di Tanah Air ini. Bagaimana jika mereka tahu bos mereka telah berubah menjadi aneh begitu!
Lagi-lagi aku tak bisa menahan tawaku yang kupikir telah menjadi penyakit menular karena pasangan lansia itu akhirnya ikut tertawa bersama kami. Dari tawa yang pelan, lama-kelamaan bertambah keras hingga akhirnya badan keduanya tergoncang-goncang. Berganti aku dan Bastian yang kini terpaku melihat pasangan itu.
"Kurasa mereka mencoba mengambil lagi berbagai kenangan yang sudah dicuri waktu, Bas."
Bastian mengangkat bahunya. Dia meringis lagi. Kami berdua melanjutkan aktivitas memandang jendela kereta, menikmati sensasi menyaksikan akuarium superbesar yang di dalamnya berisi ikan-ikan raksasa berbentuk manusia. Aku dan Bastian sepakat kereta api adalah raksasa ajaib yang menakjubkan.
Sepeda motor dengan pengemudi sepasang muda-mudi itu tak tampak lagi di sekitar kereta api kami. Pemandangan dari balik jendela telah berganti menjadi mobil Fortuner yang demi Tuhan melaju sekencang kereta api yang sedang kami naiki.
Mobil itu nyaris terbang entah dengan kecepatan berapa di jalan yang tak begitu lebar sementara lalu lintas sedang ramai sore itu. Seakan tak peduli dengan sekelilingnya, mobil itu tampak berzig-zag ke kanan dan ke kiri, terus saja melaju dengan kecepatan ambulans, namun tanpa sirene. Ya, sirene adalah salah satu hal yang membedakan keduanya, selain juga warna, harga, dan keegoisan makhluk di dalamnya tentu saja.
Bastian memperhatikan mobil itu dengan sangat serius. Berdecak sendiri lalu kemudian menggeleng-gelengkan kepalanya. Dia mengambil napas panjang sekali sebelum kemudian menoleh padaku.
"Ada apa, Bas? Mobil itu ugal-ugalan ya."
"Ya...." Bastian menganggukkan kepalanya tanda setuju.
"Tapi, Nay kadang-kadang kupikir aku juga begitu. Kau tahu kan, panggilan mendadak dari atasan, rapat tiba-tiba, klien yang menuntut, sering membuatku kewalahan sendiri. Dan entah bagaimana, sepertinya urusanku menjadi nomor satu, sementara orang-orang lain menjadi tidak begitu penting. Aku saja yang terpenting di dunia ini sampai aku menjadi stres sendiri....Stres itu, tekanan itu, mungkin sebagian besar karena aku egois. Jadi apa sebenarnya yang aku cari ya?" gumam Bastian lagi.
Laki-laki itu tertegun sambil terus menatap jendela kereta di sebelahku.
Aku memeluknya dan dia balas memelukku.
"Dan mungkin aku juga begitu, Bas. Kau lihat itu kan," ujarku menunjukkan sebuah kafe kopi berlantai dua yang ramai.
Bastian memperhatikan kafe yang kutunjukkan dengan sungguh-sungguh. Kelihatannya dia belum mengerti maksudku.
"Kenapa dengan kafe itu, Nay? Apa ada yang salah?"
"Ramai," aku menjawab.
"Terlalu ramai, Bas. Aku tidak suka keramaian, tapi aku harus menghadapinya. Hidupku kuhabiskan dari diskusi ke diskusi, bertemu dengan para pejabat publik, para politikus yang entah bagaimana membuatku makin kesulitan untuk membedakan mana yang imajinasi dan mana yang nyata; mana yang benar atau mana akrobat kata saja; lalu mana yang altruisme dan mana yang narsisisme. Entahlah. Aku lelah menghadapi mereka semua karena semakin dekat diriku dengan keramaian itu, maka semakin palsu diriku. Yang kuinginkan sebenarnya hanyalah duduk di belakang meja: membaca, membaca, lalu menulis, menulis, dan terus menulis sampai aku mati. Menjadi diriku sendiri."
Aku tertawa getir.
"Kau jurnalis kesayanganku."
"Kau juga bankir absurd kesayanganku."
Kami berdua tertawa sebelum kemudian melanjutkan lagi aktivitas menatap jendela yang terus saja menghadirkan pemandangan beragam.
"Sebelum Pertunjukan." Bastian menggumam.
"Aku menjadi Anoman yang membakar lakon dan masa depan, sementara esoknya aku menjadi raksasa yang alpa ikhwal dan keberadaan," balasku. "Puisi Hasta favoritmu, Bas," tambahku.
Bastian nyengir. "Ya, Nay kau tahu kan. Ada berbagai macam peran yang diberikan semesta hanya untuk satu orang saja. Bukankah itu seperti layar dari balik jendela ini, Nay. Dari kereta, kurasa kita beruntung bisa melihat bagaimana macam-macam peran itu terkoneksi dengan kita."
Aku menganggukkan kepala tanda setuju. Mataku mulai berat.
"Mau kubacakan puisi sampai kau tidur?" kata Bastian ketika melihatku menguap.
"Boleh dan tentu saja aku senang sekali," balasku.
Bastian membuka lagi buku puisi di pangkuannya saat kusandarkan kepalaku pada bahunya. Dia mulai membaca sementara aku mulai mendengarkan. Satu puisi, dua puisi, tiga, empat, dan kemudian aku tak ingat lagi. Semuanya menjadi gelap.
***
Aku begitu terkejut saat Bastian menepuk-nepuk bahuku.
"Nay, kita hampir sampai. Lihatlah itu, Nay stasiun tujuan kita sudah terlihat. Hei, bangun, Nay. Ba-ngun."
Kutegakkan badanku saat mendengar kata stasiun. Aku tergeragap dan panik sesaat. Barang-barangku masih di rak atas. Bagaimana aku bisa tidur selama ini?
"Tenang, Nona. Kopermu sudah di bawah. Sudah kuturunkan semua bawaanmu. Kamu tinggal bawa saja. Pulas sekali sih tidurmu Nay, sampai tak sadar aku dari tadi ribut sendiri menurunkan koper-koper kita." Bastian tergelak melihat kebingunganku.
"Mudah sekali membuatmu tidur ternyata," lanjut dia. "Bacakan saja puisi dan kau langsung wusss...hilang entah ke mana." Bastian masih saja menggodaku, membuatku semakin malu.
"Kau mau langsung pulang, Bas?" tanyaku saat kami berdua turun dari kereta.
"Kupikir iya. Ini Nana dan anak-anak sudah menungguku di pelataran parkir belakang," jawab dia. Aku tertegun sesaat.
Wajah Nana, istri Bastian, melintas di ingatanku. Aku masih ingat betul sosoknya: seorang wanita cantik, punya selera pakaian yang bagus, seorang ibu rumah tangga yang baik. Dia benar-benar wanita yang sesuai untuk Bastian.
"Nah, bagaimana dengan kau sendiri? Pulang sendiri atau dijemput, Nay?" tanya Bastian.
"Ha? Eh...entahlah, Bas. Aku belum melihat ponselku."
"Ah, cek dong, Nay." Bastian menggeleng-gelengkan kepalanya melihatku. "Kau itu kalau sudah tidur, Nay."
Dan ya, Bastian benar ternyata. Indra, suamiku, juga sudah mengirimiku pesan. Lima belas menit yang lalu tepatnya. Itu berarti saat aku masih tertidur pulas di kereta. Indra menungguku di pelataran parkir belakang.
"Kapan kau ke Jakarta lagi, Nay? Kapan kau ada tugas di sana? Kapan kita bisa menghabiskan waktu bersama lagi?" tanya Bastian sambil terus melangkah menuju tempat parkir.
Belum sempat kujawab pertanyaan itu, dari kejauhan kulihat seorang wanita melambaikan tangannya pada Bastian. Aku tahu itu Nana.
Terpaut beberapa mobil dari tempat Nana berdiri tampak Indra juga berdiri tegak, sama-sama melambaikan tangan sebelum kemudian laki-laki itu memanggilku keras-keras.
"Selamat pulang, Nayanika sayang!"
Aku tersenyum kecut. Dari ekor mataku, kulihat Bastian membuang muka.
Ayu Prawitasari jurnalis; karya-karyanya diterbitkan di berbagai media
(mmu/mmu)