Pelataran parkir itu luas, tapi sepi. Mall sudah tutup pukul sepuluh tadi. Hanya ada empat mobil di sana, tidak tahu pemiliknya ada di mana. Seorang lelaki botak tegak berdiri di bawah tiang lampu, namanya Barat. Anaknya mati di situ, tepat di mana ia sedang meletakkan kakinya. Sudah lama, tapi segala kenangannya selalu terasa baru dan kian hangat setiap harinya.
Demikianlah bertahun-tahun dia mencerna akal dari seseorang yang tiba-tiba membawa senjata dan menembakkannya ke seluruh arah secara sembarang saja. Tak ada target utama. Mungkin itu kesenangannya saja, pikir Barat, tapi bagaimana bisa seseorang sanggup melakukan itu?
Tentu dia seseorang yang sudah putus sarafnya. Tapi, polisi tak dapat menarik satu kesimpulan pun. Karena sosoknya langsung ditembak mati di tempat selepas dia bertanggung jawab atas tiga nyawa yang melayang karena pucuk senapan mesinnya. Salah satu di antara tiga nyawa itu adalah anak Barat yang masih remaja.
Sayangnya, pada hari anaknya mati, Barat sedang kesal dengan anaknya yang membuang kesempatan untuk sekolah dokter di kampus bergengsi di luar kota, dan lebih memilih untuk belajar sastra di kotanya sendiri. Kenyataannya, Barat sendiri adalah lulusan sastra, dan ia tahu betul, pendidikannya itu tak membawanya ke mana-mana. Oleh sebab itu ia kecewa dengan keputusan anak perempuannya.
Tapi, Barat tak sempat mengucap maaf. Dan saat ia mengucapkannya pun, itu sudah tidak berarti apa-apa lagi. Anaknya sudah telanjur tiada, dan jasadnya jadi buruk rupa dengan lubang peluru yang membuat otak anaknya keluar diwarnai darah yang kental.
***
Sudah hampir satu jam Barat berdiri di sana. Dia sudah bersandar pada tiang lampu untuk badannya yang lelah dan kian tua. Sehingga dari jauh, seseorang dapat melihat ada pantulan cahaya lampu dari kepalanya yang plontos licin itu. Selepas angin malam bertiup semakin dingin, ia masuk ke mobilnya dan pulang.
Besok, pagi-pagi sekali, dia akan terjaga dan mengendarai mobilnya menuju rumah sakit jiwa. Sarapannya di kedai kopi yang bertepatan di seberang rumah sakit. Hanya sepotong kue yang diolesi mentega dan kopi hitam. Kemudian dia masuk ke rumah sakit itu, tidak melakukan apapun, hanya melihat-lihat.
Ini adalah hari yang lain seperti kemarin-kemarin untuknya. Setiap hari dia ke sana, kecuali minggu. Karena minggu adalah waktu yang ia luangkan untuk Tuhan dan anaknya.
Kedatangannya yang pertama ke rumah sakit itu, ia ditolak untuk masuk. Karena saat ditanya hendak mengunjungi siapa, Barat menjawab tidak ada. Demikianlah ia menyampaikan maksud dan tujuannya bahwa ia tidak akan melakukan hal-hal yang aneh, ia hanya duduk, dan melihat kesibukan dan keriuhan yang terjadi di rumah sakit itu.
Dia juga berjanji tidak mengganggu, tapi perawat yang bertugas menganggap Barat adalah orang aneh. Membuat mereka memanggil manajer rumah sakit, dan kemudian datanglah orangnya, yang ternyata adalah seseorang yang mengagumi tulisan-tulisan Barat di kolom sastra yang terbit setiap hari Sabtu. Menurut pendapatnya, Barat adalah penulis yang jenius, bagaimana ia bisa menggabungkan segala perbauran konflik menjadi satu.
Baginya, Barat lebih menyerupai fotografer ketimbang penulis, karena tulisan-tulisannya serupa kolase yang memotret tragedi dengan pencahayaan hitam-putih tergantung cantik di museum. Maka seseorang itu merasa simpati selepas Barat bercerita perihal mengapa ia berhenti menjadi penulis di harian lokal; anaknya mati, hidup sebatang kara membuatnya kehilangan kemampuan dan gairah menulis. Kemudian seseorang itu mengizinkan Barat untuk mengunjungi rumah sakit, asalkan tidak membikin masalah. Dan Barat sepakat.
Seseorang itu terpukau, meski di satu sisi baginya ini adalah sesuatu yang aneh, tapi ia menyangkal dengan tegas bahwa ini adalah bentuk kejeniusan Barat.
Ada beragam wajah yang ditemuinya di sana. Ada yang mukanya baik-baik, lima belas menit kemudian menjadi tak terkendali dan mengamuk buas. Ada yang wajahnya murung, tapi baik-baik saja kelihatannya. Ada yang kelihatannya tidak sakit, dan mampu berkomunikasi secara normal, tapi tangan dan pergelangan kakinya banyak bekas potong silet atau luka bakar rokok.
Ada yang benar-benar normal; sehat badan, mampu melakukan sesuatu sebagaimana orang-orang sehat lakukan, tapi ia adalah pembunuh ibunya sendiri.
Bagi Barat, orang-orang di rumah sakit itu adalah misteri, yang petunjuk-petunjuknya saling berbenturan satu sama lain. Dan itu yang baginya jadi menarik. Dia melihat sepasang bola mata indah dari wanita cantik, tapi tabiatnya suka mengupil dan meludah. Ada anak muda yang wajahnya menggemaskan, tapi pernah meninju dan melubangi lapisan luar yang terbuat dari kayu pada dinding lorong rumah sakit itu.
Bertahun-tahun dia mengunjungi tempat itu untuk menemukan jawaban atas apa yang terjadi pada seseorang yang membunuh anaknya. Dan sayangnya, ia hanya jadi mengerti bahwa terkadang orang-orang di luar jauh lebih sakit ketimbang yang berada di dalam gedung ini.
Awal-awal kunjungannya ke sana, Barat benar-benar tidak melakukan apa-apa selain matanya yang bergerak-gerik mengobservasi. Sampai suatu saat, ada seorang perempuan yang jauh lebih muda usianya dari Barat, badannya gempal, jatuh cinta pada Barat. Hubungan mereka terjalin baik, mereka sering mengobrol, meski terkadang Barat tidak mengerti perkara suasana hati wanita yang diketahui bernama Irene itu kerap berubah-ubah tanpa sebab.
Oleh karena Irene, pasien-pasien lain pun mulai bergaul dengan Barat; tentu beberapa pasien yang keadaannya sudah lebih baik saja yang boleh dibiarkan berkeliling bebas di dalam gedung. Beberapa pasien lain ada yang dikurung sepanjang hari, ada yang diikatkan sabuk selepas disuntik obat penenang.
Permulaan itu yang mengawali sumbangsihnya kepada orang-orang yang sudah menjadi temannya di sana. Dia membawa papan catur, kartu, permainan dadu untuk pasien-pasien agar mereka tidak merasa bosan selama menjalani pengobatan di sana. Dan permainan yang dibawanya itu amat disenangi oleh pasien-pasien tua.
Kemudian, lambat laun dia mulai membawakan buku-buku yang ia punya, serta buku bekas peninggalan anaknya. Barat senang membacakan mereka puisi, cerita, dan keadaan pun menjadi bertambah baik di rumah sakit itu. Meskipun tidak jarang pula ada hari-hari yang buruk dan muram bagi mereka semua. Dan itu semua memang tak dapat diprediksi oleh siapapun.
Seperti Irene, yang pagi ini meludahi muka Barat begitu saja. Tentu ia terheran, tapi tidak menanggapi, karena Irene sudah telanjur berlalu balik ke ruangannya. Saat ditanya oleh perawat, Irene hanya menjawab: tidak tahu, mungkin untuk kesenangan pribadi, sahutnya.
Saat mendekati jam makan siang, Barat beranjak keluar dan makan siang di restoran cepat saji. Di sana ia menulis jurnalnya sebentar, menceritakan segala kecamuk hati serta kegembiraan yang dirasakannya. Kenyataannya dia masih menulis, tapi segala tulisannya sangat buruk dan begitu emosional.
Lagi pula apa yang dituliskannya hanya berisi curahan hati, dan tak seorang pun layak untuk membacanya. Menjelang sore dia pulang ke rumah, dan tidur barang sebentar sebelum akhirnya menutup hari dengan datang ke makam anaknya dan membacakannya puisi Sylvia Plath. Dan setiap kali halaman yang dibacanya itu jatuh pada puisi berjudul Daddy, Barat langsung jatuh menangis. Hingga ia menjadi ingat, setiap kali mendekati halaman itu, dia langsung melompatkannya.
Begitu malam sudah jatuh, ia meninggalkan pemakaman dan melajukan kendaraannya menuju sebuah bar. Minum sedikit, baca cerita, menonton pertandingan bola kaki Amerika, dan kemudian menambahkan lagi gelas minumannya. Lantas saat ia mulai merasa cukup, segera ia berpindah lagi ke pelataran parkir yang sudah sepi pada pukul sebelas. Tak ada kendaraan yang terparkir di sana, kecuali mobilnya sendiri.
Mall sudah ditutup satu jam yang lalu. Maka dengan bebas ia berdiri di bawah tiang lampu itu. Menanyakan perihal akal seseorang yang ia tak tahu terjatuh di mana. Pikirannya sedikit pusing, sekonyong-konyong whiskey menggerogoti otaknya, dia jatuh bersandar di tiang lampu. Dinginnya langsung menunjuk punggung. Tapi sebentar lagi, Juni yang hangat akan tiba. Dan kedukaan ini kian menjadi tak beres untuk pikirannya.
Kenyataannya, hingga kapan pun, ia tak akan pernah menemukan musabab dari peristiwa kejatuhan ini dalam hidupnya. Dan entah sampai kapan Barat mampu menanggung segalanya seorang diri.
Tapi itu tak pernah jadi soal. Perkara esok adalah hal lain. Saat matahari hampir terbit, ia akan terjaga, dan kembali melukis esok jadi kemarin. Bagi Barat, esok adalah tulisan, yang tidak akan pernah terselesaikan di buku catatan. Hingga kematian yang suatu saat akan menjemputnya itu pun baginya adalah sebuah puisi yang tak pernah dituliskan.
Banda Aceh, 2023
Nuzul Ilmiawan mahasiswa Sastra Indonesia di Universitas Andalas, Padang. Lahir di Bireun, 19 Oktober 2001
Simak Video "Video: Sal Priadi Bersyukur Dapat Royalti Rp 114 Juta Setelah Gabung WAMI"
(mmu/mmu)