Jangan Meninggalkan Apapun di Kamar Mandi

Cerita Pendek

Jangan Meninggalkan Apapun di Kamar Mandi

Aura Asmaradana - detikHot
Jumat, 14 Apr 2023 17:00 WIB
ilustrasi cerpen
Ilustrasi: Edi Wahyono/detikcom
Jakarta -

Ruang kamar mandi bernuansa abu-abu itu berukuran dua kali dua meter. Jika pintu dibuka, akan ditemui shower terpasang di tembok sebelah kiri dan sebuah kloset duduk di sebelahnya. Di tembok yang menghadap kloset, terpasang sebuah besi memanjang tempat menyampirkan handuk. Tidak pernah ada handuk di situ, kecuali jika seseorang sedang berada di dalam kamar mandi.

Di seberang kloset, ada sebuah wastafel, cermin, dan neon panjang di atasnya. Sejengkal di atas keran wastafel, sebuah ambalan kayu kecil yang berfungsi untuk menaruh perlengkapan mandi terpasang. Nyatanya, tak satu pun benda yang terpajang di situ.

Setiap kali hendak mandi atau mencuci muka, dari kamar, Olen akan membawa sebuah ember yang sisinya berlubang-lubang. Berdiameter dua puluh sentimeter, ember itu penuh dengan perlengkapan mandi. Sabun muka, sabun badan, sabun vagina, sampo, kondisioner, scrub mandi, dua buah pisau cukur, dan sebuah shower puff terbuat dari jaring-jaring berbentuk bunga yang selalu mekar.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Setiap dua bulan sekali, ketika shower puff sudah mulai layu, Olen menggantinya dengan yang baru. Jika aktivitasnya di kamar mandi sudah selesai, Olen membawa ember ke balkon untuk dijemur. Ia membiarkan bulir-bulir air yang menempel pada ember dan botol-botol menguap ke udara, baru kemudian menaruhnya di dalam kamar.

Begitu pun halnya dengan Faris. Beberapa hari sebelum menikah, Olen membelikan suaminya itu sebuah ember kecil dan meminta Faris mengisinya dengan perlengkapan mandi miliknya.

ADVERTISEMENT

"Jangan tinggalkan apapun di dalam kamar mandi," kata Olen.

Faris selalu mengiyakan meski beberapa kali mereka berdua bertengkar karena celana dalam basah yang tersampir di gantungan handuk.

"Jemur di luar!" Olen berteriak sambil melongokkan kepala di pintu kamar mandi.

Setelah menikah, Olen dan Faris menempati sebuah kamar di gedung kos elit dua lantai dengan delapan kamar tipe studio di pinggiran kota. Kantor Faris tak jauh dari situ. Jadi meski harga sewa cukup tinggi, mereka tak perlu menyiapkan ongkos transportasi.

Lagi pula kamar itu luasnya enam kali tiga meter. Lengkap dengan dapur bersih dan balkon, tempat seharusnya pakaian dalam mereka dijemur. Lebih dari sekadar cukup untuk mereka berdua. Dari balkon, terpantau sederet pohon palma, genting-genting rumah tetangga, dengan bonus aroma rempah dari warung ayam betutu persis di sebelah gedung kos.

Mereka nyaman dengan lingkungan itu. Jalanan tak terlalu ramai lalu lintas kendaraan. Hanya sayup-sayup suara anak-anak SD di jam istirahat. Ada sebuah bangunan sekolah sepelemparan batu dari gedung kos.

Seperti Olen dan Faris, hampir semua tetangga kos adalah para perantau yang sibuk bekerja. Sebagian bekerja pagi hingga sore, sebagian lagi, para pekerja di tempat hiburan malam, bekerja sore hingga dini hari. Para tetangga kos tak pernah ikut campur dengan kehidupan mereka. Tak ada tuntutan untuk berbasa-basi. Semua orang fokus dengan urusan masing-masing.

Sepekan sekali, Mbok Lini datang mengganti sprei dan sarung bantal di ranjang ukuran King. Pelayanan itu salah satu fasilitas yang disediakan pemilik kos, selain pemanas air di kamar mandi dan jaringan WiFi 24 jam. Kalau tak sedang sibuk-sibuk amat, Mbok Lini bisa dimintai tolong untuk mengepel lantai sampai mengkilat. Caranya mengepel sangat cocok dengan selera Olen yang sering cemas melihat noda bandel di lantai.

Apapun akan dilakukan Mbok Lini pada pasangan itu. Mereka tak pernah luput memberi tip meski jumlahnya tidak pasti. Bahkan jika Mbok Lini sedang ingin jajan, ia akan membersihkan seluruh kamar tanpa diminta. Pesan Faris hanya satu,

"Rak kaset dan buku-buku tidak usah disentuh ya, Mbok."

Mbok Lini manut. Faris sangat suka mendengarkan musik dan membaca. Ia bersikeras memboyong kaset pita koleksinya dari rumah orangtua lengkap dengan sebuah radio pemutarnya. Ia memutar kaset-kaset bergiliran tiap waktu senggang supaya pita-pitanya tidak berjamur. Buku-buku yang ada di rak adalah buku-buku pilihannya.

Sehabis membeli buku dan membaca, Faris biasa memilahnya. Buku yang sesuai seleranya ia simpan, yang tidak cocok ia jual lagi di lapak daring. Tato pertama Faris ketika SMA adalah gambar kaset dengan pita terurai dan sebuah buku. Ibunya tidak jadi marah ketika Faris menjelaskan bahwa tato itu dibuat tak lain untuk mengingatkannya pada almarhum bapak.

"Kaset-kasetku sekarang itu kan semua warisan Bapak."

Seketika ibunya luluh. Sementara Faris melanjutkan membuat tato-tato berikutnya yang tak ada hubungan sama sekali dengan bapaknya.

Faris selalu suka membaca. Tentu saja Olen sudah akrab dengan hobinya itu. Hanya satu yang sering jadi masalah. Faris sering membaca di kamar mandi, sembari buang air besar.

"Kamar mandi itu kotor. Tempat orang buang tahi. Kalau kamu baca, apalagi meninggalkannya di dalam kamar mandi, kotoran-kotoran itu menempel di buku. Masa sebagai penyuka buku fantasi kamu nggak pernah mengimajinasikan itu sih?" Olen mengatakannya sambil bergidik, pada kali pertama Faris meninggalkan buku di ambalan dekat wastafel.

Faris mengisap rokoknya sambil mengangguk-angguk. Ketika itu, ia tak menyangka Olen akan melakukan hal yang di luar nalarnya: membuang buku-buku yang tertinggal di kamar mandi.

Suatu hari, Faris mendapati buku yang sedang dibacanya tidak ada di rak buku, meja kerja, dapur, balkon, di mana-mana. Awalnya ia mengira Mbok Lini mengutak-atik meja kerja dan raknya. Namun Olen dengan tegas mengatakan,

"Ketinggalan di kamar mandi. Sudah kubuang."

Faris terperangah, berusaha mencerna situasi.

"Aku belum baca buku itu sampai selesai!"

"Nanti kubelikan lagi."

Olen melanjutkan pekerjaannya membongkar pakaian dari plastik laundry, menatanya di lemari. Faris terhenyak di atas kursi kayu panjang beralas dakron yang tiba-tiba terasa tidak empuk lagi.

Keterkejutan Faris selesai di peristiwa pertama itu. Ia tahu bahwa hidup bersama berarti kompromi. Hari demi hari, Olen juga paham bahwa Faris tidak akan bisa menghentikan kebiasaannya membaca sambil buang air besar.

Sementara itu, Faris tak pernah kaget lagi ketika bukunya tiba-tiba hilang lagi. Salahnya sendiri, lupa membawa buku keluar dari kamar mandi. Buku itu pasti berakhir di bak sampah dekat pos satpam. Pernah suatu kali Faris bertanya,

"Bagaimana cara kamu membuang buku itu?"

"Aku pungut pakai kantung plastik, lalu aku buang ke luar."

Faris kehilangan perasaan kesal. Ia malah terkekeh karena ingat bahwa tindakan itulah yang biasa dilakukan Olen pada gumpalan rambut rontok yang menyumbat aliran air di kamar mandi. Oleh Olen, buku-buku diperlakukan sama dengan sampah rontokan rambut yang berselimutkan lemak sabun. Dibuang jauh sekali sampai ke luar gedung kos. Arman, satpam jaga malam, beberapa kali mengejek Faris ketika melihatnya sedang membuang sampah,

"Lagi cari buku, Pak?" Faris menyambutnya dengan tawa. Obrolan mereka berlanjut ke banyak hal lain setelahnya. Arman biasanya menceritakan kisah para penghuni kos lain. Ia selalu punya kisah dari balik tembok tiap-tiap kamar. Entah dapat dari mana. Kisah buku-buku dari kamar mandi Olen dan Faris mungkin juga sudah menyebar ke para penghuni kos lain.

Jika ada surat atau paket tiba, Arman yang akan mencegat Faris sepulang kerja. Seringkali hanya dua amplop dari perusahaan asuransi jiwa. Namun pada satu Jumat, Faris menerima sebuah amplop coklat berukuran A5. Nama dan alamat ibunya tertera di situ. Sudah hampir sepekan lamanya Faris menunggu amplop itu tiba.

Sabtu lampau, ibunya menelepon. Rekan-rekan kerja bapak Faris menemukan surat-surat di sebuah laci kabinet yang hendak dibuang. Surat-surat yang hampir setahun sebelum meninggal, ditulis bapaknya laiknya catatan harian. Surat-surat yang merekam kegelisahannya. Surat-surat yang tak pernah berkelana ke mana pun. Kecuali lima tahun setelah kepergiannya itu, kepada Faris.

Olen membuka pintu, mendapati Faris berwajah semringah.

"Surat-surat bapak sudah sampai!"

Faris menggeletakkan tasnya di atas ranjang. Bersama Olen, ia duduk menempel di kursi kayu panjang. Faris membuka amplop dan mengeluarkan sebundel kertas folio bergaris berisi penuh tulisan tangan bapaknya yang ditulis menggunakan pensil.

"Wah, ini harus kita taruh di file holder. Kalau enggak, bisa rusak."

Olen memundurkan badannya sedikit, seolah memberi ruang pada Faris untuk menghela napas dan bersikap. Kedekatan Faris dengan bapaknya, seorang guru bahasa Inggris yang meninggal sepekan sebelum resmi pensiun, membuatnya sempat sangat tertekan.

Olen tak bisa menduga suasana seperti apa yang mungkin tumbuh dari kehadiran surat-surat itu di kamar kos mereka. Mungkin Faris akan menangis atau bahkan tak nafsu bicara dan makan selama beberapa hari. Namun Olen sudah menyiapkan diri.

Faris membaca selembar. Dua lembar. Lalu berhenti.

"Kenapa?"

"Aku mau mandi. Aku cicil saja bacanya. Kamu mau baca duluan?"

Olen menggeleng. Entah kenapa ia tak berani menyentuh surat-surat itu sebelum Faris habis membacanya.

Malam itu pukul dua belas, Olen dikalahkan rasa kantuk setelah merokok di ambang pintu geser menuju balkon. Ia membersihkan abu yang tercecer di sekitar asbak dengan tisu basah aroma bayi, kemudian menyikat gigi di wastafel dapur. Olen naik ke ranjang.

Penglihatan terakhirnya sebelum lelap adalah Faris yang sedang membaca surat-surat bapak di bawah temaram cahaya lampu meja, sementara kegelapan menyelimuti di seluruh bagian lain kamar.

Keesokan hari, pada Sabtu pagi, Olen bangun ketika hari masih gelap. Faris berkasak-kusuk di dekat kamar mandi. Olen mematikan pendingin ruangan, menyingkirkan selimut dari tubuhnya, dan tidur lagi setelah memutuskan untuk mulai beraktivitas ketika matahari sudah agak tinggi saja.

Faris meninggalkan sebuah nota di pintu lemari. Aku keluar beli lauk. Sudah ada kabar pula dari Mbok Lini. Ia menunda kedatangannya hari itu karena harus mendampingi anaknya metatah. Maka, Olen bergegas mengepel lantai, menyiapkan ruang yang bersih untuk sarapan dengan suaminya.

Sepulang dari warung, Faris menyerahkan dua kantung plastik transparan dengan isi warna-warni.

"Ada kue basah juga nih."

Senyum Olen mengembang membayangkan manisnya gula merah cair yang menyelimuti lupis dan pisang rai. Faris bergegas belok, membuka pintu kamar mandi. Tak lama, suaranya menggelegar dipantulkan tembok-tembok kamar mandi.

"Len! Bukuku mana?"

"Tadi pagi kamu lupa bawa keluar, tahu!" Olen menoleh ke arah pintu kamar mandi. Faris berdiri mematung di atas keset kaki. Wajahnya pucat. Kedua sudut bibir dan bahunya turun seolah gravitasi bumi menariknya lebih kuat daripada benda lain.

"Surat-surat Bapak kuselipkan di situ!"

Getaran suara Faris mengambang di sekitar telinga Olen, menyaingi dengung exhaust fan.

Olen meninggalkan kantung plastik dan mangkuk-mangkuk. Ia berlari untuk membuka pintu. Langkahnya bergedebak-gedebuk menuruni tangga. Gerbang dibuka. Olen menengok kanan dan kiri sejauh matanya dapat memandang. Di jalan lurus itu, ia melihat setitik benda hijau yang dikenalinya sebagai truk sampah bergerak menjauh. Hilang. Olen tercekat. Napasnya sesak. Debu-debu jalan seolah membekapnya erat.

Aura Asmaradana pengurus media kebudayaan daring Lau Ne, bergiat di kolektif Ruang Perempuan dan Tulisan




(mmu/mmu)

Hide Ads