Sebelum tiba di Mengwi, Marsh ditikam penasaran dan rindu pada awal pelayaran dari Louisiana. Mengwi adalah suaka antah berantah yang mengendap di kepalanya. Nama Mengwi baru didengar Marsh dari cerita ayahnya, beberapa hari belakangan, jelang keberangkatan USS Germantown. Sebelumnya, ayah Marsh hanya menyebut Badung sepintas lalu dan Bali secara umum-seperti pelajaran geografi.
Rambut hitamnya acak-acakan diembus angin pelabuhan. Sorot mata birunya menembus tajam ke bawah, menerawang misteri dasar samudera. Seragam angkatan laut berwarna biru membungkus tubuh jenjangnya. Sabuk hitam melingkari pinggulnya yang berisi dan sedap dipandang mata. Sebuah gelang perunggu pemberian ayahnya melingkar di tangan kanannya. Gelang itu tak pernah ia lepas semenjak ayahnya mengenakan untuknya.
"Memakai gelang ini, aku seperti digandeng ibu," kata Marsh sebelum ke pelabuhan.
"Rambut hitammu warisan dari ibumu. Mata birumu dari ayah," balas ayahnya.
"Setelah tugas ini selesai, aku akan langsung ke Mengwi. Menemui ibu. Mengikuti alamat yang ayah berikan." Marsh mengagumi selembar foto ibunya. "Cantik! Seperti perempuan Bali yang kulihat melalui televisi atau internet."
Ayahnya tak bisa berkata-kata lebih. Ia memilih membisu demi mengurangi dan menghindari munculnya kerinduan dan kesedihan pada hati anaknya. Dengan berdiam diri, ia yakin Marsh tak akan banyak bertanya. Begitulah caranya menghadapi Marsh.
"Ibu pasti senang melihatku datang menemuinya," desis Marsh. Ayahnya hanya mengangguk. "Mengapa ayah tak menyimpan nomor telepon ibu? Aku kan bisa menghubunginya untuk memberi kabar tentang kedatanganku."
"Ayah hanya menyimpan alamatnya," ucap ayahnya lirih, "jaga diri baik-baik selama di kapal. Tidur dan istirahatlah yang cukup. Meskipun kau sudah remaja, tapi kau masih seperti gadis kecil milik ayah yang dulu."
"Baiklah!" balas Marsh. "Kewajibanku tak berat. Hanya mengurusi dapur. Ayah juga harus jaga kesehatan. Jangan terlalu lelah mengurus galeri seni."
"Tunaikan tugasmu untuk negara sebaik-baiknya. Selesai bertugas, seperti amanah yang disampaikan pemerintah; tuntaskan kuliahmu."
Obrolan di New Orleans, Louisiana, bersama ayahnya, terus berkelindan menyusup ke lipatan ingatan Marsh. Kisah-kisah ibunya tersimpan rapi dalam memorinya. Selembar foto ibunya disimpan Marsh dalam kotak kecil berbahan kayu mahoni.
USS Germantown yang mengangkut ratusan prajurit angkatan laut dan marinir Amerika itu mengambang, mengiris samudera, menuju Asia Tenggara. Betapa luas jelajah USS Germantown, tapi Marsh merasai ruang sempit di sekitarnya. Ia hanya hidup pada lingkup kamar di sebuah dek, dapur umum, dan tentu saja kenangan. Pagi dan siang ia menyiapkan kudapan dan menu utama untuk para prajurit. Di shift lainnya, ia bisa berganti tugas pada siang dan malam.
Sesekali dalam pelayaran ini, Marsh keluar untuk menghirup udara bebas, melihat langit dan samudera. Di sore hari, jika ada waktu luang, ia ikut bermain voli di landasan helikopter yang ada di kapal induk tersebut bersama para prajurit, laki-laki dan perempuan.
Sebelum menjalani wajib militer, Marsh dan prajurit wamil lainnya mengikuti kelas bimbingan tentang seluk beluk pelayaran, dan tentu saja riwayat USS Germantown. Dalam buku catatan miliknya, Marsh menulis rangkuman berdasarkan materi yang diberikan mentor.
"USS Germantown; kapal perang dan perdamaian milik Amerika yang bertugas di Pasifik. Nama USS Germantown diambil dari daerah bersejarah di Pennsylvania yang masyhur sebagai situs penting Revolusi Amerika," tulis Marsh, rapi, menggunakan pulpen biru.
Di lipatan buku catatan itulah, Marsh menyelipkan selembar foto ibunya, kemudian dimasukkan dalam kotak mahoni. Di kotak tersebut, Marsh juga menyimpang foto masa kecilnya ketika berpose di sebuah pematang sawah di Badung. Mungkin waktu itu usianya setahun lebih sedikit, Marsh tidak bisa gamblang mengingatnya. Yang jelas, waktu itu rambutnya dikepang dua dan mengenakan busana adat.
***
"Kau tak ingin turun kapal? Ya sekedar berbelanja kecil, jalan-jalan, atau melihat-lihat Singapura."
Lamunan Marsh buyar ketika temannya nyelonong menghampirinya di dek kamar. Marsh yang saat itu sedang rebahan sambil memainkan gelang di tangannya, hanya menimpali sekenanya. "Lihat nanti saja. Masih lama, kan ya?" tanyanya berbasa-basi, malas.
"Katanya empat hari sandar di Singapura. Kemudian singgah sebentar di Tanjung Priok, lalu ke Tanjung Perak dan melanjutkan ke Banongan Situbondo untuk berlatih bersama Angkatan Laut Indonesia." Marsh mengangguk, merespons penjelasan temannya, yang sebenarnya sudah diketahuinya.
"Kau punya pembalut, Marsh? Punyaku habis. Belum sempat minta ke market kapal."
"Ambil di lokerku, Darl!"
Hari terakhir di Singapura, Marsh dan temannya akhirnya turun kapal. Mereka menghabiskan setengah hari untuk melancongi Singapura yang kecil. Tentunya tidak semua lokasi ikonik yang mereka datangi. Selain Merlion, Marina Bay Sands dan Garden By The Bay di Teluk Singapura, mereka juga menyinggahi Chinatown dan Kampong Glam.
Di Kampong Glam, lidah Marsh sudah terasa dekat dengan Mengwi ketika menyantap nasi lemak. Entah mengapa, ketika menelan nasi, Marsh selalu teringat dengan tanah asal ibunya. Menerawang ke masa silam, sejauh yang diingat, pertama kalinya Marsh mengunyah nasi saat duduk di bangku taman kanak-kanak. Sejak saat itu, ia menyukai nasi, dan sesekali, di akhir pekan, ayahnya selalu memasak nasi dan ayam goreng.
"Kau ini orang New Orleans, tapi menyukai nasi," sergah temannya.
"Ibuku dan bangsanya memakan nasi, Darl." timpal Marsh.
"Dari Tanjung Perak kau jadi ke Bali? Menemui ibumu?"
"Iya."
"Tahu tempatnya?"
"Ayahku sudah memberikan alamatnya. Dari Juanda Surabaya ke Ngurah Rai Bali. Setelah itu, ke Mengwi."
"Mengwi? Nama yang aneh," teman Marsh tersenyum genit, mata cokelatnya berkilat.
"Tumben kau bisa segenit ini ketika datang bulan."
"Wajarlah, beginilah perempuan yang sudah berkekasih. Memangnya kamu!"
"Sialan!" ketus Marsh, kemudian terpingkal-pingkal menertawai nasibnya yang jomblo di usia menginjak kepala dua.
"Oh ya, berarti kau lahir di Bali?"
"Iya. Tapi, ketika orangtuaku pisah, aku diboyong ayahku ke kampung halamannya di New Orleans, lalu berkawan denganmu, Darl."
"Apakah ibumu menikah lagi setelahnya? Atau jangan-jangan seperti ayahmu yang masih sendirian sampai sekarang?"
"Tak tahulah aku soal itu. Makanya aku ingin datang menemuinya..." ucap Marsh, kemudian terdiam lumayan lama. "Tapi agak aneh, selama ini ayah dan ibu tak pernah berkomunikasi. Nomor teleponnya pun tak punya. Hanya alamat ibu yang dimiliki ayah. Ayah terkesan irit bicara kalau diajak bicara soal ibu."
Mereka terdiam lagi. Melanjutkan menikmati sajian makan malam yang mustahil bisa mereka dapatkan dalam masa pelayaran. Dua piring nasi lemak disikat habis oleh Marsh. Sementara temannya menyikat daging sapi bakar dengan kentang rebus diolesi fla keju. Dalam hal minuman, mereka memiliki selera yang sama; jus apel ukuran jumbo sudah ngacir ke perut masing-masing.
"Yuk ah, kita harus kembali ke kapal!" ajak teman Marsh.
Esok harinya, embun pagi belum kering sempurna di Pelabuhan Singapura, kapal sudah meninggalkan sandaran, meluncur ke arah selatan. Marsh dan temannya kelelahan. Mereka terlelap di kasur masing-masing. Menyimpan dan mengumpulkan tenaga untuk melakoni rutinitas sebagaimana mestinya di hari berikutnya.
***
Samar bayang Mengwi bekas reruntuhan masa silam, menggempur kepala Marsh ketika kapal menyisir utara perairan Jawa. Tiada malam dilewatinya tanpa memandang foto ibunya. Gelang yang melingkar di tangannya terasa seperti kena gelombang magnet yang menyeret raganya ke arah Bali.
Ketika sinar matahari menguning di pagi yang ranum, Marsh keluar dek, menghampiri pagar pinggiran kapal. Surabaya dilihatnya sedang mekar pada wajah orang-orang yang berseliweran di Tanjung Perak. Kuncup kenangan perlahan menuju kenyataan.
"Lagi-lagi melamun. Jam berapa ke bandara? Sudah beres surat-surat dan tiketnya?" tanya temannya, membuyarkan lamunan Marsh.
"Sebentar lagi dijemput sopir yang diutus Konjen. Surat dan tiket juga sudah beres. Humas kapal dan Konjen yang menguruskannya."
"Sejak di Banongan baru kali ini kulihat kau keluar dek." ucap teman Marsh sambil mengikat rambut pirangnya menjadi kuncir kuda.
"Percuma keluar dek saat di Banongan, kapal masih di tengah laut. Hanya prajurit lapangan yang turun ke daratan bersama amfibi. Jadi, mending rebahan di dek kamar saja."
"Jaga diri baik-baik. Ingat, tanggal 27 kau harus kembali di sini. Kita masih ada satu perjalanan lagi; pulang ke Louisiana."
"Tentu, Darl." balas Marsh dibarengi kedatangan perempuan dari bagian humas kapal.
"Mobilmu sudah datang, Marsh," kata staf humas itu.
***
Keluar dari Bandara Ngurah Rai, Marsh disergap panas luar biasa. Tubuhnya baru merasai sejuk ketika masuk ke dalam mobil travel yang sudah dipesankan oleh humas kapal, sehari sebelumnya. Dari bandara, mobil melaju ke arah utara menuju Kabupaten Badung. Tidak sampai satu jam, mobil sudah memasuki Kecamatan Mengwi. Kebetulan jalanan Bali sedang lengang. Kemudian mobil memasuki sebuah desa. Di kiri-kanan terhampar pematang sawah.
Mata Marsh berkaca-kaca. Sebintik air mata membasahi pipinya yang putih kemerahan. Sembari menenteng ransel kecil, Marsh turun dari mobil setelah mengulurkan sejumlah rupiah kepada sopir.
Di kejauhan, pada gerbang sebuah rumah, sorot mata tua mengamati gerak-gerik Marsh. Rona kebahagiaan muncul di wajah tua itu.
"Benar ini rumah Niluh?" tanya Marsh saat berhadapan dengan sorot mata tua itu.
"Kau pasti Marsh!" kontan saja Marsh kaget. "Sudah sebesar ini kau sekarang. Aku hapal logat bahasa Indonesiamu. Sejak kecil sampai sekarang tak berubah, Marsh."
Marsh tak mampu berkata-kata. Setelah yakin dengan dugaannya, barulah Marsh memeluk perempuan itu sambil menangis.
"Nenek..." lirih Marsh. "Mana ibu? Aku kangen ibu!"
Mendengar pertanyaan cucunya, giliran si nenek yang kaget.
"Ayahmu tidak bercerita?"
"Cerita soal apa?"
Si nenek makin kaget. Kini bertambah cemas. Mulutnya terasa berat ketika akan memulai sebuah kalimat. Namun, pada dirinya, akhirnya, didapati keyakinan yang menggunung. Ia mengambil ancang-ancang.
"Ibumu bahagia di tempat yang damai."
"Di mana?" rintih Marsh. Penasaran makin bergejolak mengaduk hatinya.
"Di Selat Bali."
"Maksudnya?" jantung Marsh berdebur seperti ombak di lautan.
"Ibumu tenggelam di sana dan tidak pernah ditemukan." Nenek menarik napas dalam, lalu mengembuskannya perlahan. Berusaha menggenapkan kekuatan dan keberanian. Sementara Marsh, tubuhnya tiba-tiba lemas.
"Penumpang kapal banyak yang ditemukan, dalam kondisi hidup atau sudah jadi jenazah. Tapi ibumu...dia di antara tujuh penumpang yang tidak ditemukan. Hingga kini," lanjut nenek.
Mendengar itu, Marsh meraung. Tangisnya makin keras. Tubuh bongsornya ambruk di depan kaki neneknya. Kemudian si nenek berkata dalam hati: "Kini aku tahu alasan mengapa ayahmu belum berani menceritakan kepadamu, Marsh."
Eko Darmoko prosais kelahiran Surabaya; masuk daftar 10 Penulis Emerging Indonesia dalam Ubud Writers and Readers Festival 2022; buku kumpulan cerpennya 'Revolusi Nuklir' (Basabasi, 2021) masuk 10 Besar Kusala Sastra Khatulistiwa 2021
Simak Video "Lee Seung Gi Bakal Gelar Konser di Indonesia"
[Gambas:Video 20detik]
(mmu/mmu)