Naomi tidak mahir main kulintang. Tapi pada setiap Sabtu pagi, pada kebaktian pertama, Naomi akan mempersilakan dirinya sendiri maju ke depan dan memukul papan-papan gong panjang kulintang tua itu sesuka hatinya. Nada yang keluar nyaring melenting apa adanya. Semua jemaat maklum saja. Tabah dan pasrah sampai Naomi puas dan merasa sudah cukup menghibur para jemaat.
Pada kebaktian kedua, jemaat yang datang adalah yang rumahnya agak terpencil di pelosok kampung dan bahkan di atas bukit. Mereka berjalan kaki turun ke kota untuk ikut kebaktian kedua dan sekaligus makan siang di halaman gereja. Masing-masing keluarga membawa bekal lauk sederhana dari rumah dan disajikan di meja kayu panjang. Semua jemaat ikut makan siang bersama dengan nikmatnya.
Naomi buta nada dan bersuara sumbang yang memekakkan kuping. Tapi tetap saja, pada setiap Sabtu pagi, pada kebaktian kedua, Naomi akan berdiri dari kursi kayu paling depan. Berjalan maju dan mengambil tempat di panggung kecil di sudut kiri, tempat untuk anggota paduan suara.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Naomi lalu menyanyi tanpa iringan kulintang, tanpa petikan gitar atau rencengan rebana. Syair lagu itu mengalun murni dan polos, naik turun menyengat kuping. Jemaat pun dituntut untuk lebih berserah diri pada Tuhan dan menyediakan tempat di hati mereka untuk pengampunan yang sebesar-besarnya!
Naomi pun dengan bangga dan terharu akan menutup syair lagunya, jika tepukan tangan jemaat telah menggema di dalam gedung gereja kecil sederhana itu. Dengan suara tercekat, Naomi akan berkata, "Terima kasih dan semoga kita akan bertemu kembali dan saya masih diberi kesempatan oleh Tuhan untuk kembali bernyanyi di sini."
Maka semakin riuh gemuruhlah tepukan tangan itu menggema. Sahut-sahutan menolak surut. Terlihat, Pak Pendeta di sudut kanan panggung mengusap setetes air matanya dengan saputangan lusuh bergaris biru.
"Mamak, sakit kupingku, Mak. Kenapa dia tidak dilarang menyanyi?" dengan wajah meringis aku mengeluh ke Mamak. Perjalanan ke kota saja terasa sudah begitu jauh di bawah terik yang merajalela dan kulit kakiku melepuh berair di dalam sepatu yang sudah kekecilan. Mengapa tidak henti-hentinya ujian kesabaran ini datang?
"Hush! Tutup mulutmu, lancang! Nanti didengar Naomi" Mamak malah menjiwit pahaku. "Kamu suka sekali makan sop kacang merah daging kerbau kan? Nah, kalau kamu masih mau makan bubar kebaktian ini, kamu jangan banyak cing cong!" nada suara Mamak penuh ancaman walau tetap berbisik di kupingku.
Ketika itu, walau usiaku masih belasan, aku langsung paham. Ternyata semua ini karena sepanci besar sop kacang merah daging kerbau yang selalu dibawa Naomi naik becak ke sini di setiap kebaktian pertama. Sop itu lalu disembunyikan di bawah meja dapur rumah Pak Pendeta yang berada di samping gereja. Bubar kebaktian kedua barulah Naomi bersiap dengan centong besi panjang milik Ibu Pendeta, wajahnya bersinar gemilang penuh kasih. Setengah centong untuk tiap jemaat. Masih hangat, kuah kacang merah lembut yang gurih dengan irisan daging kerbau yang empuk!
Jika Esau di kitab Kejadian Perjanjian Lama akhirnya menjual hak kesulungannya hanya karena tergiur ingin makan semangkuk sop kacang merah buatan Yakub, maka seluruh jemaat di gereja ini rela serelanya menjual kejujuran dan kesabaran mereka kepada Naomi, demi setengah centong sop kacang merah daging kerbau yang disiram di atas nasi putih pulen panas mengepul.
"Ini mungkin lebih enak daripada sop kacang merah buatan Yakub," bisik Marten, pemimpin paduan suara, ketika menunggu giliran piring nasinya disiram.
"Ya, apalagi ini pakai daging kerbau. Aku pernah beruntung, mendapat seiris daging yang besar!" sahut Lukas bangga.
Aku sendiri ikut menelan ludah di situ, berharap kebagian. Aku tidak mau bubur kacang hijau gula merah atau nasi dengan sayur rebung dengan lauk ikan goreng kecil. Setelah semua penderitaan yang kualami, aku hanya mau sop kacang merah Naomi!
Mamak akhirnya membawakan aku sepiring nasi putih dengan biji-bijian merah licin berkuah, beberapa iris wortel dan seiris kecil daging di atasnya. Sambil lidahku mencecap wangi rempah pala dan daging, belum-belum aku sudah rindu alunan suara Naomi! Dua lagu lagi pun aku sungguh sanggup!
***
Oh, aku hampir lupa memberitahu kalian tentang jenis-jenis masakan lain yang juga dibawa oleh para jemaat. Om Wempy dan istrinya selalu membawa sayur daun ubi yang ditumbuk dengan alu dan dimasak dengan lombok biji dan parutan kelapa tua. Sayurnya serasa berdaging karena gemuk santan dari parutan kelapa tua itu. Sekali-kali Om Wempy mengganti sayur daun ubi dengan potongan-potongan ubi rebus yang empuk besar dan ditaburi gula pasir. Aku yakin, Om Wempy punya sepetak kebun yang ditanami pohon ubi jalar.
Oma Agustina selalu dengan bangga membuka tutup pancinya yang sudah penyok, isinya kuah wortel kentang dengan wangi daun bawang yang kuat. Sekali-kali jika cucunya mengirim sedikit uang dari kota, maka tampak di dasar panci, potongan-potongan sayap, ceker dan leher ayam yang kurus.
Tante Yolanda masih setia dengan sedandang nasi merah yang ditanaknya dengan bersungguh-sungguh, dengan berhelai-helai daun pandan yang wangi. Tante Yolanda selalu berkisah yang sama, kalau nasi itu berasal dari beras merah yang ditanam di sawah yang paling tinggi di lereng-lereng bukit Batutumonga.
Mamak sendiri, berganti-ganti membawa lauk ikan kering yang digoreng dengan banyak bawang merah dan lombok tumbuk atau bale todi' yang digoreng garing dengan bumbu asam jawa. Mamak selalu percaya diri, bahwa tumisan lomboknya selalu yang paling mantap dan ternikmat.
Seperti biasa, aku menolak menyendok lauk yang dibawa Mamak. Toh lauk itu andalan kami sehari-hari dari matahari terbit sampai matahari terbenam. Aku bahkan pernah mengeluh, peluhku berbau ikan kering dan bawang merah.
Ibu Pendeta yang selalu menjepit rambutnya dengan banyak keneper hitam di sisi kiri dan kanan wajahnya itu cukup bijaksana untuk tidak lagi membawa masakan ikan atau sayur atau kuah-kuah sop. Pada awal bulan, Ibu Pendeta akan membawa dadar gulung pandan dengan isian kelapa parut gula merah yang manis. Pada Sabtu kedua ganti menu roti goreng tanpa isian tapi wanginya minta ampun.
Mamak pernah kudapati berbisik ke Tante Yolanda, bahwa Ibu Pendeta punya sekaleng bubuk vanili rahasia dari Belanda. Sabtu ketiga, Ongol-ongol sagu gula merah dengan balutan parutan kelapa yang banyak. Tersaji seloyang besar, bentuknya tidak karuan, besar kecil sedang bahkan raksasa.
Akhirnya pada Sabtu keempat jemaat hanya bisa pasrah dan mengucap syukur. Lagi-lagi ongol-ongol sagu gula merah, tapi hanya dengan beberapa helai parutan kelapa. Serupa raksasa yang bertelanjang dada! Aku pernah tersedak ketika sedang mengunyah potongan besar ongol-ongol itu.
Tidaklah heran jika akhirnya pada sop kacang merah Naomi-lah, seluruh jemaat menaruh harapan besar untuk menikmati seiris daging kerbau yang empuk. Karena pada saat itu daging susah didapat atau terlalu mahal untuk dijangkau. Mereka harus berhemat dan jeli berhitung. Mereka datang dari keluarga-keluarga sederhana, penginjil, guru honorer, penjahit musiman atau seperti Mamak, mengolah ladang dan sawah milik orang lain.
Lagi pula, Naomi telah diberi hak istimewa boleh menghajar papan gong kulintang pada kebaktian pertama. Plus bonus mengalunkan satu lagu teror nan horor pada kebaktian kedua. Dirasa oleh seluruh jemaat cukup adil keadaan ini. Mereka menutup kuping dan mulut mereka rapat-rapat untuk siap-siap dibuka pada jam makan siang yang sudah dinanti-nanti!
***
Pada sore yang semakin panas, dengan letih Naomi turun dari becak sambil mengempit tas kecil berisi Alkitab yang pada kantong tipis bagian dalamnya terselip beberapa lembar uang rupiah. Tas dari kulit tiruan yang telah terkupas-kupas sampai kelihatan serat serabutnya. Kahar, tukang becak langganan ikut turun dari sadel sepedanya. Dengan cepat tapi cukup berhati-hati, Kahar mengangkat panci besi besar kosong dari lantai becak lalu meletakkan panci itu di teras rumah.
Kahar tidak mau kena omelan Naomi yang panjang kali lebar. Panci besi besar ini dalam bayangan Kahar adalah tuan putri yang cantik atau mungkin juga kembaran Naomi. Karena tidak sekalipun Naomi pergi dan pulang naik becaknya tanpa panci keramat ini.
"Seribu rupiah saja," Kahar terdengar berbisik.
"Hah? Seribu rupiah? Mahal begitu? Sejak kapan?" Naomi langsung kaget, rok kain berplisket yang dikenakannya seolah ikut kaget, menggembung dipermainkan angin sore.
"Anu, anu...jauh perjalanan, pulang pergi saya juga tunggui sampai selesai," Kahar memberanikan diri. Upahnya memang sudah harus naik. Dia juga butuh mata rantai becak yang baru; yang lama sudah mulai berkarat dan berat dikayuh, sampai kulit pada jari-jari kakinya terkupas-kupas. Mata rantai itu sudah diminyaki Kahar dengan oli bekas, tapi sama sekali tidak mempan.
"Hah? Tapi kan waktu menunggu kebaktian selesai kamu bisa terima penumpang lain yang memanggil. Kan tidak di situ terus!" suara Naomi semakin keras. "Lima ratus rupiah! Sudah banyak itu, tidak cukup uangku!"
Naomi lalu membuka resleting tas kecilnya, menarik keluar lima lembar uang seratus rupiah baru yang merah berkilau. "Minggu depan saja kalau ada uang lebih baru saya kasih," Naomi mulai membujuk dan langsung menempelkan uang itu ke tangan Kahar yang mulai tidak berdaya.
"Anu, anu...jalanan ke gereja berkerikil berlobang, susah. Anu...tambah lagi biar dua ratus rupiah saja," Kahar masih berusaha memberi pengertian, padahal dia benar-benar sudah hampir melolong menangis. Tiba-tiba menjalar rasa sakit dan ngilu yang mulai mengeras di betis kanannya.
"Anu! Anu! Anu! Lain kali saja!" Naomi cepat-cepat berbalik dan lari masuk ke rumah yang memang pintu kayunya selalu terbuka lebar.
Kahar akhirnya melangkah tertatih-tatih ke becak tuanya sambil mengurut-urut betis kanannya. Sekilas dia melirik panci besi besar itu, yang berkilau terkena terpaan matahari sore. Kahar tidak pernah tahu apa isinya. Tapi dia selalu ingat, betapa sambil mengayuh becak, perutnya ikut keroncongan mencium harum masakan itu; gurih manis rempah-rempah dan aroma daging yang lezat....
Keterangan:
bale todi': ikan kepala timah, hidup di sawah atau di perairan air tawar
Caroline Wong besar di Tanah Toraja, sarjana perhotelan lulusan UK Petra Surabaya dan B.Sc dari CHN Leeuwarden; kini menetap di Makassar
(mmu/mmu)