Ratu Judi dari Kampung Cola Cala

Cerita Pendek

Ratu Judi dari Kampung Cola Cala

Yessy Sinubulan - detikHot
Sabtu, 20 Agu 2022 10:32 WIB
ilustrasi cerpen
Ilustrasi: Denny Putra/detikcom
Jakarta -

Perempuan itu bernama Lelowor. Rambutnya mirip ekor sapi. Kering panjang dan menggumpal di beberapa bagian. Perawan tua paling malas kata emaknya yang juragan tempe. Tapi si Lelowor tak peduli. Ia merasa sudah setingkat sufi. Sepanjang hari ia nongkrong di pos ronda bersama teman-temannya para penjudi perempuan.

"Apalah arti bekerja, toh kita akan mati juga!" kata Lelowor sok bijak. Mendengar itu geng judinya cuma bisa mangap sambil memandangi kartu.

"Gua udah nggak ngerti buat apa kita bekerja dalam hidup ini. Gua malah berharap nggak berumur panjang," sambung Lelowor lagi.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Kenape?" Bu Rohmat menimpali sambil melempar kartu.

"Ya, panjang umur itu kayak hukuman tahu nggak. Hidup kan membosankan. Gini-gini aja. Kalau gue bisa jual sebagian umur gue untuk mendapat penghidupan yang lebih layak gua akan jual sih."

ADVERTISEMENT

"Gua setuju tuh," kata Mpok Siti yang mulai paham arah pembicaraan ini. "Untuk apa kita berumur panjang kalau kagak bisa ngapa-ngapain? Kalau cuma bisa jadi orang miskin dan goblok? Mending umur kita sebentar tapi kita menikmati hidup. Bener kagak?"

"Bener," sambung yang lain sambil berteriak melihat kartu Lelowor yang menang lagi.

"Kenapa sih lo bisa menang terus?" penasaran Halimah bertanya.

"Ya, gua menangnya cuma di meja judi. Toh, kalau di kehidupan gua kalah terus," jawab Lelowor sinis bercampur bangga.

Pos ronda dipenuhi tawa. Semua perempuan itu menertawakan nasib masing-masing.

Tepat saat itu Asep si petugas perpustakaan kecamatan lewat. Perempuan-perempuan itu langsung bersiul. Kecuali Lelowor yang terlihat malu-malu. Lelaki itu memberikan buku keuangan yang ia pinjam dari perpus. Lelowor menerima tanpa bicara. Lelaki itu berlalu dengan cepat.

"Ayo, lanjut. Giliran siapa sekarang?" Lelowor berusaha menenangkan jantungnya yang tidak karuan.

"Gua juga cuma merasa hidup seru di meja judi doang, kalau di rumah mah sengak. Jadi istri doang. Kagak bisa ngapa-ngapain, kagak bisa milih kartu," Mpok Siti mulai curhat.

"Makanya lo pada jadi perempuan yang bisa sangar dong. Emang perempuan-perempuan sekolahan doang yang bisa melawan dan berdemo pakai kata-kata bagus? Harusnya kita juga. Mereka sih protes tapi masih enak hidupnya. Anak-anaknya punya banyak pembantu. Ada tukang cuci. Ada tukang masak. Ada tukang kebun. Makanya mereka masih sempat protes dan merangkai kata-kata bagus. Pakai puisi-puisi yang gua kagak ngerti. Enek gua," Lelowor mulai kompor.

"Ya, perasaan penderitaan mereka nggak seberapa dibanding kita, dilebih-lebihin aja. Mereka belum tahu menghindari tukang pinjol yang datang saban pagi. Mereka bisa liburan, lah kita? Liburan kita cuma di pos ronda. Ketemu lo lo pada," Cicik Ratna yang dari tadi diam mulai ikut panas.

"Mereka belum tahu kalau beha kita udah kagak ganti semenjak nikah," Mpok Siti membenarkan leher dasternya yang melorot.

"Beha macam ini kagak bikin suami napsu," ejek Lelowor menarik beha Cicik Ratna yang sudah diberi benang penyambung.

"Eh lo kagak usah tarik-tarik juga udah melar ini, Nyet."

"Minta dibeliinlah sama laki lo!"

"Yah, boro-boro beli beha, beliin beras aja susah. Nanti susu gua bagus dan montok tapi busung lapar."

"Kalau ibarat kata artis-artis Instagram, lo bakal mati dalam keadaan tetek goals," Badriah si penggiat sosmed mulai menunjukkan pengetahuannya.

"Tetek goals apaan itu?" Bu Ropiah yang lugu angkat bicara.

"Ya, istilahnya tetek lo adalah tetek impian semua perempuan. Cantik dan montok kaya abis dioperasi."

"Cieee, sok ngarti selebgram lo, Badriah. Lantai rumah lo tuh bolong."

"Ngartilah, kan polower gua banyak. Emang lo pada kagak pernah eksis."

"Eh, si pinjol tuh sudah datang," kata Lelowor melihat seorang lelaki berkemeja datang dari jauh. Jalannya tergopoh-gopoh.

Melihat wajah lelaki itu Ropiah segera meloncat dan menghilang di semak-semak. Petugas berbadan kecil itu mengejarnya. Tapi Ropiah sudah lebih terlatih lari lebih kencang.

Makan nasi pakai rendang
Sikat, Bang

Lelowor mulai mengeluarkan pantun diikuti yang lain.

Lebaran makan lontong
Jangan kasih ampun, Tong!

Entah berapa jauh Ropiah berlari dan terus berlari. Di balik semak-semak ia bersembunyi sembari pipis karena kebanyakan ngopi di pos ronda. Saat kencing terlihat celana dalamnya yang kucel mirip gorden rumah makan. Entah berapa lama ia berjongkok menghirup kencing sendiri. Sampai lelaki penagih pinjol itu menangkap ujung rambutnya. Ropiah ditarik kembali ke arah desa.

Semua orang melihatnya tapi pura-pura tidak peduli. Toh, semua warga di sini juga berutang. Tak ada yang bebas dari kejar-kejaran dengan penagih pinjol setiap pagi. Tak ada yang bebas dari amukan pinjol bahkan di tengah malam.

***

Lelowor pulang membawa uang kemenangan judi. Sembari menyiapkan kangkung dan ayam goreng untuk makan malam, ia memikirkan nasibnya. Enyak Yuli, ibunya sedang tertawa-tawa melihat sinetron cinta-cintaan di tipi.

"Mak, gimana rasanya jadi perempuan yang benar-benar mandiri? Bagaimana rasanya jadi perempuan yang punya kekuatan untuk jadi diri sendiri?" kata Lelowor sambil melumuri ayam dan tempe dengan bumbu racik.

Mak Yuli mengalihkan matanya dari sinetron. Melihat ke jendela rumah yang masih terbuka.

"Wor, tutup dulu jendelanya. Emak ngeri lo nyurup!"

Lelowor memandangi tumpukan kartu judi di atas meja. Terbayang di kepalanya desanya yang miskin dan petugas-petugas pinjol yang datang silih berganti.

"Bagaimana rasanya punya andil untuk menentukan nasib sendiri? Punya andil untuk membesarkan ide yang ada di kepalamu? Nggak membiarkannya mati karena kamu tak punya pot atau lahan untuk menyemainya. Bibit itu hanya tumbuh silih berganti lalu akankah hilang tanpa jejak begitu saja?" kata Lelowor lagi sambil memasukkan ayam yang sudah diracik ke kulkas. Kulkas bekas yang dibeli Lelowor di pasar bekas. Satu-satunya kulkas di kampung kecil itu. Kadang teman-teman seperjudiannya suka menitip es atau barang jualan yang mudah basi.

"Wor, benar kata orang. Lo jadi aneh semenjak pacaran sama Asep si penjaga perpustakaan kecamatan!"

Lelowor tak menjawab. Sambil memasak gorengan, Lelowor terus mengoceh di depan minyak panas.

"Bagaimana caranya agar kita mampu meluluhkan hati Tuhan untuk menolong kita? Bagaimana caranya agar tangan Tuhan yang besar itu menggenggam dan meraih kita? Meletakkan kita di sebuah tempat yang sangat kita impikan. Sangat kita idamkan. Tempat yang sudah kita minta bertahun-tahun. Bagaimana rasanya punya ruang yang benar-benar diciptakan untuk kita? Bagaimana rasanya menghidupi ruang itu. Mencium oksigen yang ada di dalamnya. Melihat orang-orang tumbuh dengan ide-ide kita. Melihat orang-orang bisa mendapatkan makan dan berpenghasilan dari apa yang kita kerjakan? Melihat orang-orang begitu antusias memulai hari karena mereka akhirnya bisa melanjutkan hidup dengan jalan setapak yang sudah kita bangun. How that feel?"

Enyak Yuli buru-buru mengambil air di gelas, mencelupkan jarinya, dan memerciki wajah anak perawannya.

***

Pintu dibuka. Tiga orang anak menghambur ke pelukan Lelowor. Ketiga keponakannya baru pulang Salat Magrib di masjid. Meja makan hari itu penuh dengan ayam goreng krispy, sayur, dan aneka gorengan kampung. Ditambah dengan beberapa potong es krim lima ribuan di kulkas mereka, makan malam itu terasa sangat mewah.

"Hari ini, Enyak Owor menang judi lagi?" kata Debita si sulung.

Lelowor menepuk dadanya. "Enyak ngalahin bapak-bapak di kelurahan hari ini."

Anak-anak bertepuk tangan sambil berebutan mengunyah ayam goreng.

"Eh lo lo pada kalau udah gede, kudu jadi perempuan mandiri, ya. Kudu berduit gimana pun caranye. Syukur-syukur duitnya halal. Perempuan kagak bisa kuat kalau kagak punya uang. Ngarti lo pada?"

Anak-anak mengangguk. Kalimat itu sudah diucapkan saban hari semenjak mereka diasuh Lelowor karena kedua orangtua mereka memilih menjadi TKW dan tak pernah kembali.

Suara ketukan di pintu mengakhiri acara makan malam itu. Lelowor bergegas ke pintu. Asep, lelaki terganteng sedesa Cola Cala berdiri di depannya.

"Pak Lurah memanggil kamu, katanya mau tanding judi malam ini. Bisa?" lelaki itu takut-takut menyampaikan pesan.

"Debita, ambilin jaket Enyak di kamar."

Seketika jaket itu sudah sampai di tangannya. Lelowor berangkat setelah mencium ketiga anak perempuan di rumahnya. Beserta satu wanita tua yang masih duduk menonton sinetron.

Lelowor berjalan bersisian dengan Asep. "Owor, sudah baca buku keuangannya?" kata Asep ragu. Owor adalah panggilan kesayangan anak-anak dan orang dekatnya. Membuncah hati Lelowor mendengar Asep mengucapkan nama itu.

Lelowor mengangguk. Ia tak bisa menyembunyikan senyumnya.

"Semoga menang lagi ya, malam ini." Asep menggenggam tangan Lowor sebelum masuk ke meja judi Pak Lurah.

Lelowor, si Ratu Judi dari desa Cola-Cala. Dia sudah mandiri dengan caranya.




(mmu/mmu)

Hide Ads