Ayah yang Bertangan Besar dan Berbulu Lebat

Cerita Pendek

Ayah yang Bertangan Besar dan Berbulu Lebat

Mochamad Bayu Ari Sasmita - detikHot
Sabtu, 16 Apr 2022 09:07 WIB
ilustrasi cerpen
Ilustrasi: Edi Wahyono/detikcom
Jakarta -

Ayah memiliki tangan yang besar dan berbulu lebat. Tangan itu mirip tangan seekor gorila yang siap menghajar siapa pun orang yang mengganggunya dari rutinitasnya yang tidak produktif sama sekali. Sementara itu ibu jarang berada di rumah. Dia hanya akan berada di rumah ketika sudah larut malam --aku sudah tertidur saat itu, sesekali memang terbangun karena suara-suara gaduh dari ruang sebelah-- dan akan pergi kembali pagi-pagi sekali setelah menyiapkan sarapan seadanya.

Orang-orang semacam itulah yang mengiringi pertumbuhanku.

***

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Pagi hari aku mempersiapkan diri ke sekolah tanpa bantuan siapa pun. Ayah sama sekali tidak memperhatikanku sedikit pun. Dengan tangannya yang besar dan berbulu itu dia membalik-balik halaman surat kabar. Entah berita macam apa yang sedang dibacanya. Mungkin saja dia mencari lowongan pekerjaan. Apa pun itu, aku tidak berniat dekat-dekat dengannya dan mengganggunya.

Suatu kali aku mendapatkan pelajaran yang begitu berharga agar aku tidak dekat-dekat dengannya. Saat itu, kalau ingatanku masih benar, ayah sudah sering berada di rumah dan tidak bekerja sama sekali. Sebagai gantinya, ibu yang harus sering keluar rumah untuk membiayai kehidupan kami bertiga.

ADVERTISEMENT

Sebelumnya, aku sering bergelayut ke pundak ibu yang sedang melipat pakaian atau ketika dia sedang menonton televisi. Karena ibu tidak ada di rumah, aku pun coba melakukan hal itu kepada ayah. Tanpa kuduga, dia melemparkanku dengan cukup keras dan membentakku.

"Jangan mengangguku, Sialan!"

Ketika mengucapkan hal semacam itu kepada putrinya yang masih kecil dia melotot, matanya hampir saja keluar jika saja dia menekannya lebih keras lagi. Kemudian, dengan tangan besar dan berbulunya, dia menarik rambutku dan menyeretku masuk ke kamar. Aku terlempar sekali lagi. Punggungku membentur tatami. Sekali lagi, dia membentakku.

"Jangan menggangguku, Sialan!" Kata-kata yang sama seperti yang tadi.

Aku begitu ketakutan sampai mengigil. Aku memanggil-manggil ibu secara lirih.

Aku mengenakan seragamku tanpa bantuan ayah dan menata rambutku sendiri. Ibu memotongnya pendek agar aku tidak kesulitan untuk mengurus diri sendiri. Setelah siap, aku pergi ke meja makan dan memakan sarapan yang telah disiapkan ibu sejak pagi-pagi sekali tadi. Aku makan dengan sedikit belepotan, tapi tidak terlalu buruk.

Setelah selesai makan kuletakkan peralatan-peralatan yang telah kugunakan tadi ke wastafel dan membersihkan mulutku dengan tisu. Aku mengambil tas dan mengenakan sepatuku di genkan. Aku keluar pintu tanpa mengucapkan ittekimasu kepada ayah yang sedang di ruang tengah sambil membaca koran seperti biasanya.

Karena telah mengetahui betapa mengerikannya dia, kuputuskan juga untuk tidak terlalu banyak bicara kepadanya, bahkan untuk sekadar salam sekali pun. Aku tidak ingin menerima risiko lagi.

***

Aku pulang dari sekolah bersama sahabatku, Genki-kun. Dia tetanggaku. Rumahnya kira-kira berjarak enam rumah dari rumahku. Aku sering menceritakan kengerian ayahku kepadanya. Dia terlihat kesal kepada ayahku ketika mendengar ceritaku. Suatu kali, dia berkata kepadaku untuk melaporkan semua kejadian itu kepada polisi. Dia bahkan bersedia mengantarku ke pos polisi terdekat.

"Kau tahu, Kokoro-chan, polisi akan melindungi siapa pun yang lemah dan tidak berdaya. Mereka pasti akan menghukum ayahmu."

Kalau berbicara soal polisi, Genki-kun akan terlihat begitu bersemangat. Ketika ditanya oleh guru kami tentang cita-citanya, dia tidak akan ragu untuk menjawab bahwa dia akan menjadi polisi di masa depan. Dia akan menghukum siapa pun yang jahat dan melindungi siapa pun yang lemah. Dia berpikir bahwa polisi adalah pahlawan keadilan di dunia nyata, sepadan dengan pahlawan-pahlawan dalam manga yang sering dibacanya di majalah mingguan.

Ketika berjalan bersama menuju rumah, Genki-kun bertanya kepadaku. "Apakah ayahmu masih berbuat kasar kepadamu?"

Aku menggelengkan kepalaku. "Selama aku tidak mengganggunya," tambahku.

"Kau tidak boleh membiarkan hal ini berlarut-larut, Kokoro-chan. Mari, kuantar untuk melapor kepada polisi."

"Kalau ayahku ditangkap, aku tidak akan punya ayah nanti."

"Apa kau bodoh? Dia hanya akan dihukum. Selama menjalani hukumannya, mungkin dia akan merenungi kesalahannya sehingga ketika sudah keluar nanti dia akan bersikap baik kepadamu."

"Tidak perlu."

"Kau...."

Kami sudah berada di depan rumahku dan kami melihat ayahku dengan pakaian santai, kaus dan celana pendek, tampak hendak keluar. Melihat hal itu, Genki-kun tidak melanjutkan kata-katanya dan memegang tanganku erat-erat. Aku melihat kepadanya, Genki-kun juga melihat kepadaku.

"Kau sudah pulang, Kokoro-chan? Ah, Genki-kun, apa kabar?"

Kali ini suaranya terdengar begitu lembut seperti halnya seorang ayah yang penuh kasih sayang yang sesekali kulihat dalam dorama.

"Ibu menyuruhku untuk berbelanja," katanya. "Kamu mau ikut, kan?"

"Genki-kun," kataku kepada sahabatku yang semakin erat mencengkeram pergelangan tanganku. Dia sepertinya terlalu khawatir kepadaku. Kuyakinkan dia bahwa aku tidak akan apa-apa. Mungkin saja ayahku sudah menyadari kesalahannya dan dia mulai berbenah. Langkah awalnya adalah dengan mengajakku berbelanja ke supermarket.

Genki-kun akhirnya bersedia melepaskan tanganku. Dia kemudian pulang. Sebelum itu, dia berbisik kepadaku agar aku berhati-hati dan selalu ingat untuk melapor kepada polisi yang berjaga di pos-pos terdekat jika terjadi apa-apa. Aku mengangguk kepadanya. Dia terlihat lega setelah aku terlihat mengerti dengan nasihatnya.

"Aku akan meletakkan tas sebentar," kataku.

Ayah mengangguk sambil tersenyum. Dia berkata bahwa dia akan menungguku.

Aku pun bergegas untuk masuk kamarku dan meletakkan tasku di sana. Aku berganti sandal dan pergi keluar rumah. Ayah kemudian mengunci pintu. Setelah memastikan bahwa pintu itu terkunci, dia menggenggam tanganku dengan tangan besar dan berbulunya itu. Pada awalnya aku merasa agak takut. Tapi, genggaman tangan ayahku kali ini terasa lebih lembut dan tampaknya ada kasih sayang di sana. Aku pun merasa lega dan berjalan bersama ayah dengan ceria.

Sesampainya di sana ayah membiarkanku memilih hal-hal yang kusuka. Kukatakan kepadanya bahwa aku ingin memakan karaage. Ayah mengangguk dan mengambil bahan-bahan yang diperlukan untuk membuat karaage. Entah apakah ayah bisa memasak atau tidak. Sepanjang hidupku, aku sama sekali belum pernah melihat ayah memasak.

Setelah berbelanja ayah mengajakku ke sebuah tempat ramai. Kami berjalan-jalan di sana sambil menikmati pemandangan kota. Semenjak ayah berbuat kasar kepadaku, aku sama sekali tidak pernah membayangkan bahwa aku akan berjalan-jalan dengannya seperti ini.

Perlahan, ayah mengendurkan pegangannya. Hal itu membuatku khawatir mengingat kami sedang berada di jalanan yang dipenuhi orang berlalu-lalang. Sampai kemudian ketakutanku menjadi nyata. Aku terlepas dari pegangan ayah. Aku gemetaran berada di tengah-tengah lautan manusia.

Aku berteriak memanggil-manggil ayahku dan kemudian berlari ke sana-sini. Aku terus berlari di sela-sela orang-orang itu. Sampai kemudian hari telah senja. Aku tiba di dekat sebuah stasiun dan duduk sebentar di sekitar sana.

Orang-orang yang lewat di sana hanya memandangku sekilas tanpa sedikit pun menegurku. Di sisi lain, aku terlalu takut untuk berbicara dengan mereka. Mereka terlihat bertubuh besar. Kenangan burukku bersama ayah muncul lagi. Aku menggigil ketakutan. Aku mulai berpikir bahwa ayah sengaja melakukan ini. Dia mungkin hendak menyingkirkanku dari rumah dengan pura-pura terpisah di tengah lautan manusia itu.

Sampai kemudian hari telah gelap sepenuhnya. Tidak ada tanda-tanda munculnya ayah di sekitar sana.

Seorang siswa berseragam gakuran datang mendekatiku.

"Apakah kamu tersesat?"

Aku mengangguk.

Dia melihat sekitar sebentar. Dia kemudian menggenggam tanganku. Aku ikut saja. Mungkin dia akan mengantarku pulang. Tapi, dia malah membawaku ke sebuah taman yang sepi. Di sana, dia mulai menyentuh pahaku. Hal itu membuatku berteriak. Tapi, dia segera menutup mulutku dengan tangannya.

Kugigit tangannya. Dia berteriak kesakian kemudian mendorongku dengan cukup kencang. Kepalaku terbentur pinggiran papan luncur. Secara samar-samar, aku melihat wajahnya ketakutan dan dia segera pergi dari sana.

7 Maret 2022

Mochamad Bayu Ari Sasmita lahir pada HUT RI ke-53; tinggal di Mojokerto, Jawa Timur

Redaksi menerima kiriman naskah cerpen, tema bebas, disesuaikan dengan karakter detikcom sebagai media massa umum yang dibaca semua kalangan. Panjang naskah sebaiknya tidak lebih dari 9.000 karakter, karya orisinal dan belum pernah diterbitkan di media lain. Kirim ke email mumu@detik.com




(mmu/mmu)

Hide Ads