Cerita Ganjil Jargen Si Pembunuh

Cerita Pendek

Cerita Ganjil Jargen Si Pembunuh

Robbyan Abel Ramdhon - detikHot
Sabtu, 05 Feb 2022 09:15 WIB
ilustrasi cerpen
IIustrasi: Edi Wahyono/detikcom
Jakarta -

Kalau ingatanku tidak keliru, Jargen sudah berusia enam puluh enam tahun. Dia tidak senang kalau aku memanggilnya 'kakek' atau panggilan yang bermakna sama. Jargen hanya ingin dipanggil Jargen. Oleh karena itu, seandainya kami tak sengaja berpapasan di sebuah tempat keramaian dan aku keceplosan memanggilnya 'kakek', maka sudah dapat dipastikan, Jargen bisa pura-pura tak bertelinga.

Namun, Jargen memang jarang, atau mungkin nyaris tak pernah meninggalkan rumah untuk pergi ke tempat keramaian. Dia menghabiskan hampir seluruh hidupnya di halaman belakang rumahnya yang sepi.

Kemarin malam Jargen meneleponku. Mengajakku memancing. Seperti biasa, Jargen mesti bertele-tele sebelum menyampaikan ajakannya. Dia mulanya bertanya musik apa yang terakhir kudengar pada hari dia menelepon, kemudian mengafirmasi kebenaran berita yang diketahuinya dari televisi, dan bertanya pendapatku soal prediksi cuaca hari ini. Jargen mengajukan semua pertanyaan itu tanpa visi yang jelas. Dia tidak bermaksud untuk mendapatkan jawaban. Pada intinya, dia cuma ingin mengajakku memancing.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Hari ini kami memancing di semacam dermaga tua di belakang rumahnya. Pada salah satu tiang yang menyangga dermaga, ada tali tambang yang tersambung dengan moncong perahu mesin. Sewaktu kecil dulu, Jargen sering mengajakku mengendarai perahu mesin itu dan berkeliling di teluk. Dan saat Jargen berlayar sampai melewati batas teluk, nenek akan berteriak dari jauh dan mengancam Jargen sambil marah-marah.

Nenek begitu mengkhawatirkanku. Apalagi kalau sampai keberadaan kami sudah tak terjangkau pandangannya. Ia tahu aku tidak bisa berenang dan akan muntah kalau terlalu lama diajak berlayar.

ADVERTISEMENT

Setelah nenek mati dan abu kremasinya dibuang di teluk ini, Jargen tidak pernah menyentuh perahu itu lagi. Namun sejak aku tiba di sini hari ini, Jargen malah duduk menggunakan kursi memancingnya di atas perahu itu. Kulit tuanya yang bagaikan lelehan lilin terlihat sangat serasi dengan perahu yang berlumut. Perpaduan dua objek yang menghadirkan pemandangan dengan tema keterlantaran.

Aku duduk di tepi depan dermaga, menggelar kursi memancingku. Jargen tetap bersandar pada kursi memancingnya sambil mendengarkan musik menggunakan headset yang tersambung ipod tanpa mempedulikan kedatanganku. Meski menggunakan headset, aku bisa mendengar suara musik yang sedang diputarnya dengan volume tinggi itu. Feels Like We Only Go Backwards, Tame Impala.

Musim semi baru saja tiba. Teluk sore itu terasa hangat hingga menciptakan efek dramatik yang begitu alami. Bahkan semua track dalam album Locerism Tame Impala rasanya tak akan mampu mengganggu kondisi yang bersahaja itu. Dalam suasana amat sugestif, tiba-tiba, bagai sebutir batu yang jatuh dari langit, Jargen berbicara dengan suaranya yang mengandung ludah: "Mau dengar cerita? Tidak terlalu lucu sih, tapi sebaiknya kau dengar untuk mengabaikan waktu yang mengalir secara membosankan ini."

Seperti ketika menelepon, Jargen sesungguhnya tidak mempedulikan jawabanku sekalipun aku bergeming bagaikan dermaga, atau berteriak bagaikan roh nenek di neraka. Pada intinya, Jargen cuma ingin bercerita.

Jargen Bercerita

Dulu itu, pernah hidup di sini seorang pria bernama Jargen. Betul, namanya mirip dengan namaku. Tapi dia bukanlah aku. Dan aku bukanlah dia. Tentu saja, kau bukan pula dia.

Di sebuah hari yang gelap karena sedang musim hujan dan matahari pagi saat itu bagai tak menyingsing, Jargen mendengar suara minta tolong dari arah dermaga. Jargen yang sedang berselimut di sofa depan perapian bersama istrinya lantas bergegas menuju suara itu. Istrinya disuruh diam menunggu untuk berjaga-jaga. Entah berjaga untuk apa aku tak tahu, yang jelas, Jargen melarang istrinya ikut keluar.

Di dermaga, Jargen melihat tubuh seorang bocah terkapar, yang usianya kira-kira sulit diperkirakan karena kondisinya kacau sekali akibat menghadapi badai. Badai yang besar, hingga membuat perahu mesin yang dikendarai bocah itu rusak dan terdampar ke tepi teluk. Tidak sampai hancur. Cuma retak di beberapa sisi dan salah satu baling-baling mesinnya patah.

Jargen membaringkan tubuh bocah itu di sofa depan perapian dalam rumahnya, lalu menghangatkan tubuh bocah itu dengan selimut, satu-satunya selimut di rumah Jargen. Lantas setelah si bocah sadar, Jargen segera mengambil kembali selimut itu dan membungkus tubuhnya bersama istrinya. Bocah itu sempat heran, kenapa pria dan wanita di hadapannya menggigil seperti kepompong yang ketakutan.

Setelah rambutnya mengering, dan garis-garis wajahnya lebih terlihat jelas, dapat diperkirakan bocah itu berusia sekitar lima belas tahun.

"Terima kasih sudah menolongku," kata bocah itu. Tapi Jargen dan istrinya masih diam karena kedinginan. Mereka berpelukan di depan perapian. Gigi mereka bergemeretak. "Aku masih hidup kan?"

"Kamu sudah di Surga," jawab Jargen.

Mata bocah itu melotot, namun bibirnya menyeringai hebat.

"Jadi, apakah kalian adalah Adam dan Hawa?"

Jargen dan istrinya bersitatap, kemudian tertawa terbahak-bahak. Bocah itu juga tertawa. Gelak tawa mereka bercampur dengan suara angin yang menggetarkan jendela kaca.

Seakan teringat sesuatu, bocah itu beranjak dari duduknya dan mencari-cari sesuatu yang baru saja diingatnya itu. Dia bertanya, di mana dapur? Dan dengan anggukan kepala Jargen menunjuk arah dapur. Dari dapur, bocah itu membawa pisau. Jargen dan istrinya kali ini benar-benar ketakutan karena sempat berpikir akan dibunuh.

Tetapi ternyata tidak, bocah itu cuma ingin mencari penerangan di dekat tempat perapian. Terlebih dia, mungkin, masih tahu terima kasih karena sudah diselamatkan dan dibiarkan meminjam selimut.

Bocah itu membuka celana pendeknya yang berbahan jeans, dengan sangat hati-hati. Sampai menyisakan celana dalam. Terlihatlah pada paha bocah itu ada bekas luka jahit yang terbuka. Sebenarnya ada banyak bekas jahitan yang sudah mengering, dan yang terbuka termasuk baru karena benangnya masih belum dicabut. Dia membuka jahitan di pahanya menggunakan pisau dengan terampil, lalu dari kulit yang terbuka itu, dia mencukil satu per satu pil ekstasi yang banyak sekali.

Singkat cerita, Jargen dan istrinya menolak menjawab saat bocah itu bertanya apakah ada benang dan jarum untuk digunakannya memperbaiki "kantung" di pahanya dan membuat "kantung" baru. Istri Jargen memberi saran supaya bocah itu tidak usah menyembunyikan barang-barang itu lagi di pahanya, melainkan di kotak alat-alat jahit atau mulut ikan saja agar lebih mudah dibawa.

Bocah itu menolak kotak jahit karena terlalu mencolok sekaligus mencurigakan bila dibawa olehnya yang berpenampilan kacau seperti Tarzan. Namun dia tidak menolak agar pil-pil itu disembunyikan ke mulut ikan. Sore harinya setelah beristirahat dan hujan sedikit reda, Jargen dan istrinya dan bocah itu pergi ke dermaga.

Cuma ada satu alat pancing, dan tentu, Jargenlah yang paling tahu bagaimana menggunakannya. Istri Jargen dan bocah itu bertugas mengumpulkan umpan: entah serangga atau ulat tanah atau apalah.

Semua pil sudah dikeluarkan, kulit paha bocah itu sudah dijahit kembali dan diberikan sedikit obat oles. Selanjutnya, mereka bertiga, Jargen dan istrinya dan bocah itu, memasukkan pil-pil ekstasi ke dalam mulut ikan-ikan yang sudah berhasil didapatkan. Jargen juga membantu bocah itu memperbaiki perahu mesinnya, dan istri Jargen membuatkan bekal untuknya sebelum kembali berlayar. Tetapi sebelum naik ke perahu, bocah itu malah menusuk Jargen dan istri Jargen menggunakan pisau yang dicurinya dari dapur. Bocah itu benar-benar terampil dalam hal apa pun. Dan dia, ternyata memang tidak tahu diri.

Jargen Berhenti Bercerita

"Dan dia, ternyata memang tidak tahu diri."

kataku, mengikuti kalimat terakhir cerita Jargen yang sudah kudengar sebanyak sejuta kali. Setidaknya yang kudengar kira-kira sejak lahir. Dan entah kenapa, cerita itu terasa dekat denganku seperti saudara sendiri dan karenanya aku tidak pernah bosan mendengarnya.

Kebetulan aku memang tidak punya saudara, jadi kuanggap saja cerita karangan Jargen adalah saudaraku. Kata Jargen, aku lahir dari perkawinan sepasang pembunuh. Mereka tidak ingin merawatku karena mereka tidak ingin aku ikut jadi pembunuh. Mereka menitipkanku kepada Jargen dan nenek saat usiaku masih sebelas bulan. Kebetulan juga, Jargen dan nenek tidak punya anak dan senang sekali menyambutku sebagai bagian dari keluarga mereka. Meski begitu, Jargen tetap ingin dipanggil Jargen, bukan ayah atau kakek. Nenek juga melarangku memanggilnya ibu karena dia memang bukan ibuku, katanya.

Cerita tentang 'Jargen si pembunuh' juga sering kuceritakan kepada anak dan istriku di rumah. Mereka mulanya merasa ngeri campur antusias, tapi setelah kuceritakan berulang-ulang mereka bosan tanpa ekspresi juga akhirnya.

Matahari menyusut ke belahan lain, sisa sinarnya menciptakan garis pada batas cakrawala, seolah menjadi bingkai laut.

Jargen melepas headset. Kemudian seluruh pakaiannya. Ketika tubuhnya sudah telanjang, terlihat ada bekas-bekas jahitan di pahanya. Aku tidak pernah mengetahui ada bekas jahitan semacam itu di tubuh Jargen, atau mungkin aku memang baru menyadarinya karena jarang memperhatikan. Lagi pula kenapa harus memerhatikan sampai sejauh itu.

Setelah melakukan gerakan pemanasan kecil, Jargen melompat ke air. Berenang menuju batas teluk. Aku tidak berkomentar apa-apa. Lebih tepatnya, tidak tahu harus bagaimana selain mengernyit dan bertanya-tanya dalam hati: "Apa yang dilakukan pria tua itu?"

Seakan membaca pikiranku, dari kejauhan Jargen berteriak: "Jargen, titip ipod-ku, aku pergi kencan dulu!"

Suaranya bergema.

Jargen terus berenang, menjauhi dermaga sampai pandanganku tidak dapat menangkap keberadaannya. Sementara dari atas perahu, samar-samar, masih terdengar album Locerism Tame Impala berputar dalam suasana dramatik yang alami.

Robbyan Abel Ramdhon menulis cerpen dan esai; sejumlah karyanya diterbitkan berbagai media cetak dan digital. Bergiat di Komunitas Akarpohon Mataram

Redaksi menerima kiriman naskah cerpen, tema bebas, disesuaikan dengan karakter detikcom sebagai media massa umum yang dibaca semua kalangan. Panjang naskah sebaiknya tidak lebih dari 9.000 karakter, karya orisinal dan belum pernah diterbitkan di media lain. Kirim ke email mumu@detik.com




(mmu/mmu)

Hide Ads