Rumah tua itu selalu menyendiri, tanpa tetangga di kanan dan kiri. Jika ditatap lekat-lekat, sebenarnya rumah tua itu cukup besar. Bahkan bisa dibilang paling besar di antara rumah-rumah lain di kampung itu. Namun, dinding biliknya terlihat rapuh, berlubang di beberapa bagian. Tiang-tiang penyangganya sedikit condong, tak lagi tegak berdiri seperti semestinya. Dua jendela kusam berbentuk persegi panjang di samping kiri dan kanan pintu tampak seperti dua mata sendu penuh keputusasaan. Ah, begitu suram dan sangat menyedihkan.
Sejak sepuluh menit lalu, Abimanyu mengawasi rumah tua itu dari balik rumpun batang-batang bambu yang bergemerisik tertiup angin. Daun-daunnya yang kuning kecokelatan berguguran menimbun tanah yang retak-retak lantaran musim kemarau panjang yang tak kunjung berkesudahan. Teriknya matahari sama sekali tidak membuat Abimanyu terusik. Ia tetap awas menatap rumah tua itu dengan jantung yang berdebar tak karuan.
Di dalam rumah itu, ada seorang pria berwajah bingung yang mondar-mandir di ruang tengah. Ia tak tahu harus berbuat apa. Sudah delapan hari anak perempuannya diserang demam tinggi. Tubuhnya menggigil di atas kasur lapuk berbau apak yang tergeletak tanpa alas di lantai.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Karena itu pula pria berwajah bingung itu beradu mulut dengan istrinya yang ingin segera membawa anak perempuan mereka ke dokter. Mantri desa sudah tak sanggup menangani sakit yang dialami bocah perempuan itu. Akan tetapi, mereka tidak punya uang sepeser pun. Kemarau panjang membuat seluruh sawah kering. Musim paceklik tak kunjung minggat dari kampung itu.
Di dapur, di depan tungku yang asapnya mengepul, istrinya terisak menangis sambil sesekali menggeser kayu bakar ke dalam tungku membuat bara api memercik. Ia berharap segenggam beras terakhir yang dimilikinya cepat menjelma menjadi bubur. Ia ingin segera menyuapi anak perempuannya yang sakit. Ia begitu geram kepada suaminya yang seperti orang linglung, tak bisa berbuat apa-apa.
Namun, kedatangan Abimanyu ke rumah tua itu bukan untuk memberikan bantuan kepada keluarga malang itu. Bukan pula untuk menengok bocah perempuan yang sedang terkapar tak berdaya itu. Abimanyu menggadaikan jiwanya menembus ruang dan waktu kembali ke masa lalu hanya untuk satu tujuan: memperbaiki sebuah kesalahan. Ya, kesalahan yang selama puluhan tahun telah membuat hidupnya terkurung dalam penjara rasa bersalah.
***
Suatu ketika, saat usianya belum genap dua puluh lima, Abimanyu secara tak sengaja mendengar obrolan dua pria paruh baya yang duduk di hadapannya dalam sebuah perjalanan kereta ekonomi Bandung menuju Surabaya. Kala itu, cuping telinga Abimanyu melebar sempurna saat dua pria paruh baya itu membahas sebuah gerbong kereta tua yang bisa mengantarkan manusia ke masa lalu, serupa mesin waktu. Konon, gerbong kereta tua itu tersimpan di salah satu jalur kereta yang ada di Stasiun Bandung. Namun, tidak semudah itu menemukannya. Sebab katanya, gerbong itu hanya akan menampakkan diri satu tahun sekali: di hari kesembilan belas di bulan kesepuluh. Itu pun hanya kepada orang yang dikehendakinya saja. Orang yang terpilih saja.
"Katanya, untuk jadi orang terpilih itu syaratnya hanya satu, dia harus perjaka. Dalam artian belum pernah menikah. Itu saja," kata pria paruh baya pertama. "Hanya saja, tidak pernah ada yang bisa memastikan, kepada siapa gerbong kereta tua itu menjatuhkan pilihan," lanjutnya kemudian. Pria paruh baya kedua hanya mangut-mangut mendengar cerita kawannya itu.
Abimanyu menatap layar ponsel seolah acuh tak acuh dengan percakapan itu. Padahal, sedari tadi ia terus menyimak dengan khusyuk setiap kata demi kata yang keluar dari mulut dua pria paruh baya itu. Senyumnya mengembang. Seketika itu juga kebahagiaan di hatinya membuncah. Ia seperti menemukan oase di padang pasir yang begitu gersang. Meskipun terdengar konyol, percakapan itu telah menumbuhkan benih-benih harapan di ladang keputusasaan Abimanyu.
Entah apa yang terjadi. Abimanyu begitu yakin bahwa gerbong kereta tua itu benar-benar ada. Seperti orang hilang akal, setiap hari kesembilan belas di bulan kesepuluh, Abimanyu mendatangi Stasiun Bandung. Ia menyisir setiap jengkal sepuluh jalur kereta yang ada di sana tanpa terlewatkan barang seinci. Siang dan malam. Dari pintu utara sampai pintu selatan. Tak peduli jika saat itu hujan deras menyerang atau terik matahari memanggang, Abimanyu terus saja mencari. Rasa bersalah telah menjadikannya gila. Dan keinginan untuk menebus kesalahan sudah membuatnya mati rasa. Ia tak peduli hidupnya mau bagaimana dan akan seperti apa. Bahkan harus melajang seumur hidup pun bukan masalah besar untuknya.
Hingga akhirnya, tepat saat usia Abimanyu menginjak empat puluh tahun, gerbong kereta tua itu menampakkan dirinya. Kala itu, gelap telah bersekongkol dengan sunyi menciptakan tengah malam yang mencekam. Abimanyu yang duduk pasrah di tepi rel kereta di jalur lima tiba-tiba dihampiri sebuah gerbong kereta tua yang berhenti tepat di depannya. Dan seketika itu juga Abimanyu begitu yakin bahwa itu gerbong kereta tua yang selama ini dicarinya.
Segera ia naik, berdiri di dalam gerbong kereta tua yang dingin dan lembap penuh karat di mana-mana itu. Dalam hati ia berbisik, "Rumahku, Kampung Kebon Jati, 3 Juli 1980." Begitulah Abimanyu menyebut tempat dan waktu tujuannya di masa lalu, sesuai instruksi yang ia dapat hasil mencuri-curi dengar dari dua pria paruh baya di kereta dulu.
Tak ada suara. Tak ada apa pun yang dirasakan Abimanyu dalam gerbong tua itu. Ia hanya menebak-nebak bahwa saat itu, gerbong kereta tua itu tengah melesat secepat kilat. Semakin cepat, semakin cepat, dan tiba-tiba saja Abimanyu merasa semuanya hampa. Hingga ia seolah melayang-layang di udara. Begitu nyaman. Dan ia pun tak dapat lagi mengingat apa-apa.
***
Maka, di sinilah kini Abimanyu berada, di depan rumah masa kecilnya. Gerbong kereta tua itu telah berhasil mengantarnya ke masa lalu. Tentu ia harus bergegas menyelesaikan urusannya. Konon lagi, dari apa yang ia dengar dari obrolan dua pria paruh baya di kereta dulu, siapa pun yang berhasil kembali ke masa lalu hanya punya waktu satu jam, dan harus segera masuk ke gerbong tua itu lagi. Atau ia tak akan pernah bisa pulang ke waktu semula.
Tentu Abimanyu tak ingin menyia-nyiakan kesempatan itu. Yang ditunggunya sedari tadi akhirnya muncul juga. Seorang bocah laki-laki berbadan kurus, berkulit legam, dan memiliki kepala plontos terlihat keluar dari pintu rumah tua itu. Masih dari balik rimbun pohon bambu, Abimanyu memerhatikan gerak-gerik bocah lelaki yang berlari-lari kecil ke samping rumahnya. Tentu Abimanyu tahu persis apa yang selanjutnya akan dilakukan bocah berumur sebelas tahun itu.
Tangan bocah itu cekatan mengumpulkan daun-daun bambu kering yang berhamburan di pekarangan sampai membentuk sebuah gunungan tepat di samping dinding rumah tua itu. Dirogohnya saku kiri celana, mengeluarkan sekotak korek api. Wajahnya terlihat semringah ketika dalam satu jentikan jari ia berhasil membuat korek api itu menyala.
Jantung Abimanyu semakin berdegup kencang ketika melihat si bocah lelaki mendekatkan percik api di tangannya ke gunungan daun kering. Seketika api berkobar menjilat daun kering itu dengan cepat. Si bocah melompat-lompat kegirangan.
Tak lama, daun pintu rumah tua itu terbuka. Si pria berwajah bingung menyeruak dari ambang pintu, dan berjalan tergesa-gesa meninggalkan rumahnya. Melihat itu, si bocah laki-laki berlari menyusul ayahnya, meninggalkan kobaran api yang semakin rakus melahap gundukan daun kering.
Abimanyu segera keluar dari tempat persembunyian. Ia harus bergegas menjalankan misinya. Misi yang ia yakini akan mengubah kehidupannya di masa depan.
Abimanyu mengendap-endap menuju sumur yang berada di belakang rumah tua itu. Ia mengambil air dengan sangat pelan dan hati-hati. Disiramnya gunungan daun kering hingga kobaran apinya mati sebelum berhasil menyentuh dinding bilik rumah tua itu.
Abimanyu bernapas lega. Akhirnya ia berhasil memperbaiki kecerobohannya di masa lalu:meninggalkan api yang masih menyala begitu saja hingga rumahnya menjadi santapan lezat si jago merah. Dan tragisnya, sang adik kecil yang terkapar tak berdaya di dalam kamar tidak terselamatkan. Sejak saat itu, Abimanyu mengutuk dirinya sebagai pembunuh. Ia tak pernah bisa memaafkan dirinya sendiri.
Abimanyu menyeka butir-butir keringat di keningnya dengan lengan baju. Air matanya tiba-tiba saja menyeruak. Ya, itu air mata penuh suka cita. Belum pernah Abimanyu merasa selega itu sebelumnya. Dipandanginya rumah tua itu lamat-lamat. Ingin rasanya ia mengintip ke dalam sejenak untuk memastikan bahwa ibu dan adiknya benar-benar dalam keadaan baik-baik saja. Namun, ia segera sadar waktunya tak banyak lagi. Ia harus segera kembali.
"Sampai bertemu di masa depan, Dik." Sekali lagi Abimanyu menoleh ke belakang, menatap haru rumah tua yang masih berdiri utuh itu. Rumah tua yang terakhir kali dilihatnya tiga puluh tahun lalu dalam keadaan sudah menjadi abu.
Abimanyu bergegas masuk ke gerbong kereta tua yang tersembunyi di balik kerimbunan kebun bambu. Sesaat setelah ia menyebutkan tempat dan tahun yang dituju di masa depan, seketika itu juga gerbong tua itu lesap, menjelma butiran-butiran debu yang hilang tersapu angin.
Sayangnya, ada satu hal yang tak pernah diketahui Abimanyu. Saat itu, setelah disuapi bubur, adiknya tertidur pulas di kamar. Melihat itu kemudian ibunya perlahan-lahan keluar dari rumah menuju warung sayur yang terletak cukup jauh dari rumah tua itu. Ia bermaksud berutang. Sebab tadi sebelum terlelap, anak perempuannya bilang ingin makan sup ayam.
Nahas. Ibunya sama sekali tidak menyadari bahwa di dapur, di dalam tungku, masih ada sepercik api yang menyala. Semakin lama api itu semakin besar dan mulai menjilat-jilat dinding bilik di belakang tungku, juga benda-benda lain yang ada di sekitarnya. Tak terelakkan lagi, segala yang ada di dalam rumah tua itu akhirnya lebur menjadi abu.
Teni Ganjar Badruzzaman lahir di Ciamis,1988. Ibu rumah tangga yang gemar menulis dan membaca cerita. Cerpen dan cerita anaknya dimuat di beberapa antologi bersama dan media massa
Redaksi menerima kiriman naskah cerpen, tema bebas, disesuaikan dengan karakter detikcom sebagai media massa umum yang dibaca semua kalangan. Panjang naskah sebaiknya tidak lebih dari 9.000 karakter, karya orisinal dan belum pernah diterbitkan di media lain. Kirim ke email mumu@detik.com
(mmu/mmu)