Aku kedatangan seorang sahabat dekat. Beruntung hari ini aku tidak sibuk. Kemarin Abdi putra sulungku mengabari kalau Yoga cucu pertamaku batal menginap. Tentu aku penasaran, dalam pembicaraan di ponsel aku menanyakan alasan Yoga tidak jadi menginap di rumah. Padahal nini-nya sejak dua hari lalu sudah menimang-nimang Yoga akan menginap. Aku curiga Abdi dan menantuku memang sengaja tidak memperbolehkan Yoga menginap bersama kami.
Untungnya aku segera membuang pikiran rusak itu. Abdi menjelaskan, Yoga ada undangan ulang tahun dari teman bermain di kompleks perumahaan. Aku lega mendengar penjelasan Abdi. Semoga saja nini-nya tidak mengomel.
Aku segera mengabari istriku tentang rencana kunjungan sahabat dekat itu. Istriku senang mendengar kabar itu dariku. Sebaliknya aku justru cemberut. Adatku memang jelek untuk yang satu itu sejak kenal dengan istriku. Aku suka cemburu buta bila istriku tampak happy bila mendengar kabar dariku terutama mengenai teman atau sahabatku.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Kapan Humam datang?" tanya istriku antusias. Aku justru mutung curiga.
"Sore nanti. Humam berencana menginap sehari. Apa kamu boleh?" tanyaku. Aku ingin istriku berkata tidak. Kebalikan istriku malah panik.
"Menginap! Sore nanti? Kok mendadak kasih kabar, ya? Tentu boleh dong. Kalau begitu aku minta tolong Sumi merapikan kamar tamu. Aku tinggal dulu keburu siang." Istriku segera beranjak tanpa menunggu reaksiku. Aku benar-benar sewot saat menyadari reaksi istriku. Huh!
Humam temanku sejak remaja. Kami berasal dari kota yang sama. Setelah menamatkan SMA kami kompak mencoba peruntungan hidup di kota besar. Aku meneruskan kuliah di Jurnalistik. Humam meneruskan Ilmu Politiknya. Mungkin ini penyebab kami jarang bersua setelah berada di kota besar. Kami berada di jalur yang berbeda.
Sesekali janji bertemu di tempat terdekat. Bisa satu harian kami berada di tempat itu karena keasyikan cerita. Setelahnya kami benar-benar hilang kontak. Aku sibuk dengan pekerjaanku. Humam mengikuti arus keinginan dan cita-citanya. Kami kontak lagi sekitar tiga tahun yang lalu. Sesuatu yang tidak pernah aku sangka. Humam berhasil mencariku. Tiga tahun berselang baru ini kami akan bertemu.
Aku tidak tahu banyak tentang Humam. Aku yakin ia pun demikian.
Aku tidak terlalu banyak membantu istriku. Segala sesuatu ia persiapkan berdua dengan Sumi. Setelah Rangga menikah di rumah ini kami tinggal bertiga. Sumi sudah menjadi bagian anggota keluarga bagi kami. Istriku bertemu Sumi di pasar pagi. Gelandangan tersesat. Aku ketar-ketir begitu tahu istriku membawa pulang Sumi ke rumah. Istriku benar-benar, kok! Kasihan, alasan istriku. Waktu itu Abdi baru berumur tiga tahun. Aku paham istriku membutuhkan tenaga untuk membantunya di rumah. Menggaji seorang pembantu tentu di luar kemampuan kami. Aku benar-benar stress dengan tindakan istriku.
Apa yang aku takutkan, ternyata tidak terjadi sama sekali. Tidak ada orang yang mencari keberadaan Sumi. Setelah berjalan beberapa saat, pelan-pelan aku mengorek keterangan dari Sumi. Tempat ia berasal paling penting. Sumi tidak mampu menjawab. Awalnya aku merasa Sumi sengaja mengunci mulutnya. Beberapa tahun berlalu, istriku kembali mengorek keterangan dari Sumi. Hasilnya tetap sama. Nihil! Akhirnya bersama waktu berputar kami melupakan dari mana Sumi berasal sampai kami setua sekarang.
Humam benar-benar datang. Aku benar-benar tidak menyangka akhirnya kami bertemu kembali setelah sekian puluh tahun kami kehilangan jejak. Kami benar-benar berpelukan. Humam bahkan menangis saking bahagianya. Aku sendiri merasa kedua kelopak mataku basah. Kami berdua menjelang tujuh puluh tahun. Humam terlihat lebih rapuh. Humam mengalami tremor di kedua tangan dan kaki sebelah kiri. Aku sampai menolongnya untuk duduk di kursi makan.
Humam sudah tidak mampu duduk di sofa yang rendah. Aku tidak menyangka Humam serapuh itu. Cerita punya cerita, Humam mengaku bahwa ia terserang stroke cukup lama. Kondisi dirinya saat ini jauh lebih baik dari tiga tahun lalu. Aku terenyuh mendengarnya. Bisa jadi setelah sehat, Humam teringat padaku dan mulai mencari keberadaanku. Ah, Humam.
Sambutan istriku berhasil menjadikan Humam semringah. Aku tidak cemburu kali ini. Aku justru berterima kasih pada istriku. Humam tampak bahagia dan lepas. Humam cerita apa saja. Aku dan istri mendengar Humam cerita dengan hikmat. Humam masih sedikit pelat akibat dari serangan stroke yang dideritanya. Aku dan istri sesekali bertukar pandang. Kami membiarkan Humam bercerita apa saja. Aku merasa ia sedikit terkungkung selama ini. Sambutanku dan istri memberinya keleluasaan juga kelepasan.
"Istriku sudah meninggal sepuluh tahun yang lalu. Aku sangat sedih sejak ia pergi. Ketiadaan istriku, baru aku menyadari betapa berat mengurus anak. Aku benar-benar kepayahan mengurus mereka. Aku sering merindukan dirinya," ujar Humam getir.
"Kami ikut bersedih, Mas," sahut istriku pelan.
"Terima kasih, Nina," balas Humam melihat istriku. Aku ikut berempati dengan menurunkan dagu. Istriku memberi senyum lembutnya pada Humam. Aku malah terharu.
Kami benar-benar menikmati pertemuan tak terduga itu. Istriku hanya masak menu sederhana. Sejak lama kami berdua terbiasa makan sayur-sayuran saja. Kami memang menjauhi daging, minyak, terutama gula. Bertambah usia, menjaga kesehatan itu amatlah penting. Buah-buahan adalah andalan kami.
Bersyukurnya, Humam pun tidak jauh berbeda dengan kami. Berbagai penyakit yang ia derita membatasi beragam makanan untuk ia nikmati. Aku sendiri timbul niatan untuk menjamu Humam dengan baik. Bahan pembicaraan kami tumpeng tindih. Terkadang mengenang masa muda. Sesi berikutnya Humam bercerita tentang ia tinggal di Zerman delapan tahun. Berubah lagi mengisahkan kondisinya saat ini. Aku dituntut sabar mengikuti naik turun ingatan Humam.
Setelah Isya, Humam keluar dari kamar tamu mencariku. Aku memang sengaja duduk di teras luar mencari angin. Udara belakangan ini susah sekali diprediksi. Sumuk luar biasa. Aku mendengar seretan langkah kaki Humam menuju tempatku. Aku masih mengenakan sarung. Sejak ia datang kami terus mengobrol tak kenal henti. Aku memintanya untuk istirahat. Aku sengaja tidak segera masuk kamar untuk memastikan Humam tidak mencariku lagi. Dugaanku keliru, Humam seakan belum puas untuk bercerita-cerita denganku. Aku bergumam kecil begitu ia muncul dari dalam rumah. Aku mengajaknya duduk. Humam duduk di samping pintu.
"Awang! Menurutmu, apakah panti jompo tempat yang cocok untuk kita menghabiskan hari tua?" tanya Humam dengan tatapan langsung tertuju ke mataku. Aku terpana sejenak.
"Wah, tergantung. Barangkali ada yang merasa cocok. Tapi, banyak juga yang tidak. Memangnya kenapa? Ingin tinggal di panti jompo?" jawabku sekenanya.
Humam tidak segera menjawab, ia diam menatap jauh ke depan. Aku melirik Humam samar, aku merasa ada yang ia simpan dan ingin berbagi cerita denganku.
"Minggu lalu, tanpa omongan, Johan mengajakku mendatangi panti jompo. Tempatnya sangat terawat baik, termasuk pengelolaannya. Penghuninya menurutku bukan dari kalangan biasa. Biaya di situ tentulah mahal. Konon, kalau tinggal di situ pasti tak akan merasa kesepian karena banyak penghuni sebaya yang bisa saling tukar cerita." kata Humam.
"Anakmu ingin kau tinggal di sana?" tanyaku singkat.
"Johan tidak mengatakan seperti itu. Tapi, aku menduga, Johan ingin menawarkan sebuah pilihan," desah Humam resah.
"Kau tertarik?"
"Entahlah. Sejak itu aku selalu kepikiran. Membuatku susah tidur. Menurutmu bagaimana?" tanya Humam sambil menoleh ke arahku. Raut sedih tergambar jelas di wajahnya.
"Jujur aku tak pernah memikirkan hal itu. Semoga saja tak pernah."
Humam terdiam. Aku juga. Kami tenggelam dalam pikiran masing-masing.
Aku bersyukur istriku tidak ikut bergabung dengan kami. Selain itu, seingatku, aku tidak banyak cerita tentang keadaan kami di hari tua. Sejak berjumpa, Humam yang selalu bercerita, kami sebagai pendengar saja. Aku sudah lama pensiun. Istri juga demikian. Kami berdua hidup di usia pensiun. Abdi menikah di tengah aku pensiun. Beruntung aku mampu membantu dana pernikahannya. Ala kadarnya memang. Tak lama Yoga lahir. Aku dan istri ikut merawatnya. Dua tahun kemarin Rangga menyusul menikah. Mereka belum dikarunia anak. Penghiburan kami benar-benar dari Yoga. Aku terpaksa menahan diri tidak mengatakan itu pada Humam.
Malam mendadak terasa lebih kelam. Kami lebih banyak diam. Humam pamit untuk istirahat. Aku juga. Namun, hingga Humam dijemput Johan keesokan siang, aku tak bisa membayangkan perasaan Humam sebenarnya.
Akhir pekan berikutnya Yoga benar-benar menginap bersama kami. Aku dan Nininya benar-benar menikmati hari bermain bersamanya. Sampai aku tak mendengar ponselku berbunyi berulang kali. Istriku berlari memberikan ponselku.
"Om Awang, ini Johan! Bapak sudah tidak ada, Om." Suara Johan berair dalam telingaku. Aku tercengang tidak percaya. Istriku menyentuh pinggiran lengan kiriku. Aku balas menyentuh punggung tangannya. Kami berpandangan sedih.
Humam! Aku teringat sepenggal obrolan kami mengenai tempat ideal.
Ricardo Marbun karyawan, menetap di Surabaya
Redaksi menerima kiriman naskah cerpen, tema bebas, disesuaikan dengan karakter detikcom sebagai media massa umum yang dibaca semua kalangan. Panjang naskah sebaiknya tidak lebih dari 9.000 karakter, karya orisinal dan belum pernah diterbitkan di media lain. Kirim ke email mumu@detik.com
(mmu/mmu)