Sisifus Memanggil Bulan

Cerita Pendek

Sisifus Memanggil Bulan

Adam Gottar Parra - detikHot
Minggu, 26 Des 2021 09:47 WIB
ilustrasi cerpen
Foto: iIustrasi: Edi Wahyono/detikcom
Jakarta -

Tak banyak yang tahu, bahkan mungkin juga mpok-nya, bahwa pada setiap malam bulan purnama, sebelum mejeng di TIM, Ndang akan selalu mandi bersih-bersih, dan keramas dengan sampo sachet, untuk membersihkan ketombe yang berkerak di rambutnya. Sebelum mandi ia juga akan merapikan kumis dan jenggotnya yang kadang bercampur remah-remah bihun dari tukang bakso. Setelah kinclong baru pergi mejeng ke pusat kesenian Taman Ismail Marzuki (TIM), di Jalan Cikini Raya 73, Jakarta Pusat.

Pada hari-hari biasa, pria 40 tahun itu akan duduk di Gerbang TIM atau berdiri bersedekap di area parkiran, menunggu seniman yang nongkrong di kedai-kedai payung. Kendati Ndang bukan petugas parkir, dan setiap kendaraan yang masuk ke TIM akan membayar parkir di pintu keluar, tapi mereka akan selalu menyisihkan recehannya buat Ndang. Hal itu sudah menjadi semacam "kewajiban" bagi para seniman mapan yang suka nongkrong di TIM.

Tapi, di malam bulan purnama, Ndang akan berdiri di batas pelataran, dekat trotoar, tepat ketika Sang Purnama mulai nampak di antara cabang pohon mahoni di depan Kios Buku, di ujung Graha Bhakti Budaya. Karena tak mudah mencari tempat yang memadai jika ingin melihat bulan yang baru muncul di permukaan tanah di langit Jakarta, apalagi untuk warga kelas bawah yang mentalnya kurang sempurna seperti Ndang.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Karena hampir setiap jengkal tanah di Jakarta telah dikavling dan dijejali gedung-gedung pencakar langit yang misterius (misterius? Karena sebagian besar penduduk Jakarta yang jumlahnya puluhan juta jiwa itu, tidak mengetahui aktivitas di dalam gedung-gedung itu). Warga yang tinggal di bawah sesekali hanya melihat "siluet erotis" di ketinggian dinding kacanya.

Jika ingin menyaksikan bulan purnama muncul di permukaan tanah, satu-satunya cara adalah dengan naik ke salah satu gedung yang view-nya tembus pandang ke kaki langit. Itu pun jika udara sedang cerah, karena langit Jakarta selalu tertutup asap kelabu yang mengepul dari cerobong-cerobong pabrik dan knalpot kendaraan yang merayap tak putus-putus di setiap ruas jalan.

ADVERTISEMENT

Di kompleks TIM memang ada Planetarium. Tapi, siapa yang mau melihat bulan di teleskop? Gedung Planetarium yang bersebelahan dengan Akademi Jakarta, tempat berkantornya penyair Goenawan Mohamad itu, sesekali saja dikunjungi warga, yaitu saat terjadi fenomena alam langka, seperti munculnya Bintang Kemukus atau mendekatnya Planet Mars ke Bumi.

Tetapi, Ndang juga tidak pernah ke situ. Meskipun sesekali ia juga akan masuk ke area gedung, tapi bukan ke teleskop, melainkan menyelinap ke sebuah "lorong" kecil di belakang Gedung Planetarium, untuk bertemu beberapa seniman yang kadang ngumpul di situ. Di "lorong" antara dua tembok itu, selain dengung nyamuk, sering juga terdengar cerita-cerita aneh yang tidak masuk akal, yang dikembangkan dari cerita-cerita film atau komik.

Di "Lorong" pengap itulah sesekali saya bercakap-cakap dengan Ndang, termasuk ketika dia membocorkan rahasia pribadinya soal mandi kembang di malam bulan purnama. Karena keasyikan ngobrol, sehingga tanpa sadar Ndang menceritakan rahasia pribadinya kepada saya. Dan gara-gara itu pula ia hendak membunuh saya di kemudian hari.

***

Suatu malam, 8 atau 9 tahun setelah Reformasi '98, kami sedang nongkrong di bawah banner. Awalnya cuma bertiga, tapi tak lama kemudian muncul Yudi Latif, dengan wajah agak masygul. Setelah disapa oleh Lubis, Yudi pun menghampiri kami, dan ikut bergabung, disusul beberapa teman lain. Beberapa saat kemudian, setelah menyeruput tehnya, pakar ideologi itu pun bercerita, kalau dirinya baru saja diajak bertemu oleh presiden di istana, untuk bertukar pikiran tentang perkembangan politik di tanah air. Yudi pun membeberkan pandangannya secara objektif kepada presiden. "Tapi, waktu konferensi pers, ngomongnya kok lain, tidak sesuai yang kami bicarakan." kata Yudi Latif, kesal,

"Kalau begitu, untuk apa dia undang saya ke istana?" tandasnya, disambut gelak tawa teman-teman. Bahkan, Gane, tertawa sambil memukul-mukul botol aqua ke tanah.

Malam terus beranjak. Karena tak betah oleh kepulan asap rokok teman-teman, Yudi Latif pun pergi. Teman ngobrol pun berubah. Pada saat itu Ndang tiba-tiba muncul dengan langkah tergopoh, lalu berdiri berkacak pinggang dekat gerobak ikan bakar.

"Lu bocorin rahasia gue ya?" katanya, mengungkit percakapan beberapa bulan silam itu.

"Ah, gila lu, Ndang. Masak gua mau gosipin lu ke Yudi Latif." kata saya, yang selama ngobrol lebih banyak diam, menyimak Yudi Latif.

"Tadi lu pade ketawain gue." katanya ge-er sambil meraih pisau bekas ikan di warung, lalu mengejar-ngejar saya di antara orang-orang yang nongkrong di depan TIM. Tapi ulah Ndang itu segera dicegah oleh seorang mahasiswa IKJ.

***

Malam itu, setelah memarkir sepedanya di trotoar, Ndang pun sudah berdiri di sisi pelataran, menghadap ke timur, ke dalam pekarangan TIM (memunggungi Masjid Alia di seberang jalan). Kedua tangannya dimasukkan ke dalam saku, lalu tengadah memandang bulan di antara cabang pohon. Tak peduli pada orang-orang yang duduk di sekitarnya. Orang-orang juga tak mengusik Ndang. Mereka membiarkan Ndang dengan dunianya sendiri. Di lingkungan kesenian seperti TIM, orang-orang sudah terbiasa dengan berbagai keganjilan. Setiap orang, termasuk yang kurang waras, akan diterima dengan baik, selama tidak mengusik orang lain.

Ndang terus tengadah ke langit. Bola matanya melotot seperti sepasang siput. Bila bulan tertutup awan, ia berusaha mempertajam pengelihatannya, seolah "menggali-gali" ke dalam matanya sendiri, untuk menemukan kembali bulan di balik awan. Hal itu luput dari perhatian teman-teman seniman. Mereka mengira Ndang sedang bertingkah saja, selain tak ingin mencampuri urusan Ndang. Hanya, barangkali, penyair Mustofa Bisri yang menangkap isyarat itu (yang saat itu kebetulan lewat di Gerbang TIM, setelah menghadiri undangan baca puisi?), sehingga menemukan moment poetic, yang melahirkan bait pendek:

Bulan... Ayo kita berpandang-pandangan. Siapa lebih dulu berkedip, akan kehilangan wajahnya...!*

Ndang pun nyaris tak berkedip. Ia terus melotot seperti mata patung batu ke langit. Di benaknya sempat terlintas keinginan untuk menelan bulan itu seperti kuning telur, tapi dia ingat teman-temannya para seniman yang sedang begadang dan butuh kehangatan (kebetulan lampu merkuri mati, dilempari pendemo** beberapa hari lalu), sehingga Ndang membatalkan niatnya menelan bulan. Ndang terus memandang ke langit. Ia hanya akan berkedip jika sesekali matanya diterpa embun!

Memandang bulan berlama-lama, membuat bulan seolah membesar, dan semakin membesar, hingga menutupi seluruh langit. Di mana-mana yang terlihat hanya bulan. Bulan yang tanpa garis lingkaran. Cahaya kuning itu juga seolah menggantikan bola matanya. Rongga matanya kosong. Untung ia masih bisa mendengar suara-suara orang dan bis kota yang melintas di belakang punggung. Jika tidak, Ndang sudah kehilangan diri.

Kini, bulan telah meliputi seluruh dirinya, sampai ke akar rambut. Ia merasa dirinya seolah berada dalam kepompong cahaya. Dengan mata bulannya Ndang berusaha mencari-cari bola matanya yang hilang, namun tak ketemu. Ndang cemas! Tetapi, sebutir embun yang jatuh ke pupil matanya membuatnya berkedip, sehingga bulan dan langit tampak kembali seperti sediakala.

Malam semakin larut. Bahunya pun mulai terasa pegal, akibat terlalu lama mendongak ke langit. Ndang merasa bulan itu telah membebani punggungnya. Bulan yang kini seolah bertengger di pundaknya itu mengingatkannya pada cerita temannya di "Lorong". Tapi Ndang lupa-lupa ingat. Ia berusaha mengingat nama si tokoh celaka itu, namun pita kaset di otaknya kusut. Tapi ia masih bisa mengingat ketika si tokoh memanggul sebongkah batu ke puncak bukit. Setelah diletakkan di atas bukit, batu itu berguling lagi ke lembah. Begitu seterusnya, berulang-ulang, sepanjang waktu.

Ndang terkesima. Rasanya seperti ada yang menjalar di sekujur raganya, dari kepala sampai kaki. Tanpa disadari orang aneh itu telah merasuk ke dalam dirinya. Kini dengan tubuh masih tetap berdiri di pelataran, Ndang membayangkan dirinya berjalan sambil memanggul bulan di halaman TIM.

Sejak menginjakkan kaki di tangga gapura, di sepanjang jalan ia mendengar suara orang-orang berteriak memanggil nama Sisifus. Suara itu terdengar di mana-mana. Di kedai-kedai payung, dari atas gedung, di bawah pohon, bahkan di tempat sampah.

"Sisifus! Sisifus! Sisifus! Sisifus! Sisifus...!"

Ndang terkesiap. Bingung. Karena tidak mengenal nama itu. Wajahnya celingak-celinguk sambil menanggung beban di pundaknya. "Gue Ndang, Bang... Bukan Siput!" katanya, memelas, kepada penyair Sutardji Calzoum Bachri yang sedang meniup harmonika di kedai payung. Ndang terus berjalan ke selatan di depan cineplex. Orang-orang terus berteriak memanggil nama Sisifus.

Di depan Gedung Teater Besar, Ndang belok kanan, lalu kembali ke depan TIM. Setelah berdiri kembali di samping sepedanya, lantas buru-buru menjatuhkan bulan di pundaknya, hingga pecah berkeping-keping menjadi serpihan-serpihan cahaya di tanah. Kepala Ndang terasa pening, persis seperti ketika ia mabuk oleh sekaleng minyak tanah beberapa tahun lalu. Dari rongga matanya berhamburan keluar bermiliar-miliar kunang-kunang yang segera menyatu kembali di langit. "Bulan...!" pekiknya, setengah sadar.

Bulan semakin tinggi, setelah puluhan kabel listrik yang melintang di atas gapura memecahnya menjadi beberapa irisan mirip bolu. Wajah Ndang pun semakin tengadah. Saat bulan persis berada di puncak langit, mata hati Ndang pun tegak lurus dengan Pencipta. Ia tidak mampu lagi membedakan dirinya dengan yang lain, seperti tubuhnya yang kini tanpa bayangan.

Setelah posisi vertikal itu, merupakan saat-saat terberat bagi Ndang. Karena harus mendongak ke belakang. Bulan yang mulai doyong ke barat, membuat Ndang terpaksa harus menekuk lehernya ke belakang, supaya tetap bisa melihat bulan. Sementara posisi kaki dan tubuhnya tetap menghadap ke timur.

Melihat bulan di langit barat dengan posisi tubuh tetap menghadap ke timur, tentu saja bukan pekerjaan mudah. Karena saat bulan semakin condong ke barat, yang harus ditekuk bukan hanya leher, tapi punggung juga mesti dilengkungkan ke belakang.

Di kemudian hari, tak sedikit yang bertanya: Kenapa tidak balik badan, menghadap ke barat saja?

Tapi Ndang tak mau melakukan itu. Karena menurutnya, saat balik badan, pandangan matanya akan beralih dari bulan ke tempat lain. Ia tak mau kehilangan momen barang sedetik pun. Sehingga lebih baik menekuk leher dan punggungnya ke belakang, yang penting tetap bisa melihat bulan.

Karena itu pula, beberapa tahun lalu, Ndang sempat mendengar bunyi krrakk dari tulang lehernya yang retak, yang berujung di tukang urut bahenol di kolong Stasiun Cikini.

Malam semakin tua. Bulan semakin menjauh ke langit barat. Punggung Ndang pun semakin melengkung ke belakang. Untuk menjaga keseimbangan tubuhnya agar punggung dan kepalanya tidak terhempas ke bawah, kedua tangannya bertumpu di tanah.

Bulan semakin lingsir ke bawah, mendekati khat "Allah" di kubah Masjid Alia di seberang jalan. Mata Ndang yang ngantuk berat pun terus mengikutinya, hingga kepalanya menyentuh tanah

Bulan surup di balik kubah masjid, bersamaan dengan terkatupnya kelopak mata Ndang, disusul bunyi punggungnya yang terhempas ke tanah, buk!

Keterangan:

*) bait puisi KH Mustofa Bisri dalam buku antologi puisi Tadarus
**) demo seniman yang menentang rencana pembentukan Dewan Kesenian Indonesia yang digagas oleh Ketua Dewan Kesenian Jakarta Ratna Sarumpaet

Adam Gottar Parra lahir di Praya, 12 September 1967. Pernah bekerja sebagai wartawan Harian Nusa Tenggara (terbit di Denpasar). Hampir sepuluh tahun tinggal di Jakarta. Kini berdomisili di Mataram, Lombok, NTB

Redaksi menerima kiriman naskah cerpen, tema bebas, disesuaikan dengan karakter detikcom sebagai media massa umum yang dibaca semua kalangan. Panjang naskah sebaiknya tidak lebih dari 9.000 karakter, karya orisinal dan belum pernah diterbitkan di media lain. Kirim ke email mumu@detik.com




(mmu/mmu)

Hide Ads