Ibu mendiktekan barang belanjaan yang akan aku beli di toko langganan. Aku mencatatnya dengan rinci: 3 kilo minyak sayur, 5 kilo tepung terigu, 10 pak obat nyamuk, 2 pak Djarum 76, serenteng sampo sachet. Aku lebih dulu menulis jumlah barang di depan nama barang seperti yang ibu ajarkan. Urutan lengkapnya adalah nomor, jumlah barang, nama barang, kemudian terakhir harga. Lalu menjumlah total harga belanjaan. Tidak lupa tanggal di pojok kanan atas.
Aku mencatat semuanya di sesobek kertas karton bekas rokok. Ibu selalu melebihkan uang dari jumlah yang tertera di catatanku. Untuk jaga-jaga kalau kurang, katanya. Bila masih ada sisa aku boleh menggunakannya buat beli es cendol.
Aku suka membeli es cendol di pinggir jalan dekat lapangan bola tak jauh dari pintu lintasan kereta api. Aku menyesap es cendol di bawah rindang pohon arbasia sambil melihat kereta yang melintas. Suaranya bergemuruh memekakkan telinga dan membuat tanah sekitarnya bergetar.
Menyenangkan sekali melihat kereta membawa penumpang entah ke mana. Ingin sekali rasanya naik kereta, meluncur menuju kota-kota yang jauh dan tak kukenal. Siapa tahu aku bertemu bapak yang tak pulang-pulang. Pada malam-malam tertentu ada layar tancap di lapangan ini. Bersama teman-teman, aku nonton layar tancap yang memutar film-film silat dan Rhoma Irama.
Jarak rumahku ke pasar sekitar lima kilo dengan waktu tempuh belasan menit saja dengan sepeda. Aku ke pasar naik minibus. Orang-orang menyebutnya elf. Ibu akan menghadangkan angkutan umum yang selalu penuh penumpang itu di jalan seberang warung kecil ibu. Tetapi aku lebih sering naik sepeda bila belanjaan tidak terlalu banyak. Toko langganan ibu berada persis di deretan paling muka, sebelah gang masuk ke los pedagang sayur, singkong, ubi, dan hasil bumi lainnya.
Toko langganan ibu dijaga empat orang kakak beradik. Kakak paling sulung bertugas menjaga kotak uang yang atau kasir. Dia perempuan seusia kakak sulungku. Wajahnya mirip Leni Marlina. Dia jarang bicara. Tiga orang adiknya bertugas melayani pembeli. Menurut kakak sulungku mereka ganteng-ganteng. Yang paling besar mirip Ikang Fawzi, yang kedua mirip Rico Tampatty, dan paling muda mirip Richie Ricardo.
Ikang dan Rico juga sama tak banyak bicara. Hanya Richie Ricardo yang sering bicara. Menanyakan kabarku, kenapa aku terlihat murung. Dia juga mengomentari rambutku, bajuku, dan perawakanku. Dia suka mengajakku bicara tentang warung ibu, tentang sepedaku, malah juga tentang sekolahku.
"Kamu ganteng mirip Chen Lung," katanya, membuatku tersipu namun senang.
"Kamu suka silat? Kalau mau saya bisa ajar kamu silat," ujarnya.
Chen Lung, pemain film Mandarin kegemaran kakakku yang kedua. Dia suka mengajakku nonton film Mandarin di bioskop kota kecamatan. Selain film Mandarin kakakku juga senang nonton film silat Indonesia yang dibintangi Barry Prima, Advent Bangun, George Rudy.
Aku menyerahkan catatan belanjaanku kepada Rico Tampatty. Lalu dia membacakannya dengan nyaring. Richie Ricardo dengan sigap mengambilkan barang belanjaan dari rak toko mereka. Sementara Ikang hanya mengawasi sesekali menunjukkan tempat barang dagangan ditaruh. Setelah barang pesananku terkumpul lengkap, Ikang menghitungnya sambil memasukkan belanjaanku ke dalam tas keranjang yang kubawa dari rumah. Dia mengucapkan jumlah uang yang harus kubayarkan. Leni Marlina yang menerima dan menghitung uang dari pembeli.
Aku mencangkolkan keranjang penuh belanjaan di stang sepeda yang membuatnya jadi berat sebelah. Tetapi aku sudah terlatih menyeimbangkan laju sepedaku. Sambil mengayuh sepeda aku mengingat-ingat pelajaran di buku pelajaran berselang seling dengan cerita film yang kutonton. Itu hal yang menyenangkan buatku. Perjalananku jadi terasa lebih cepat sampai.
Kakak perempuanku yang nomor tiga menurunkan keranjang belanjaan dari sepeda, mengeluarkan dan memeriksanya. Sedangkan kakak laki-lakiku bersiap belanja barang dagangan yang lain di pasar yang lain lagi, yang lebih jauh. Kadang aku ikut, duduk di belakang di atas keranjang anyaman bambu yang lebih besar. Sepeda yang digunakan kakakku juga lebih besar dan tinggi, ada palang di antara stang dan sadel.
Kakakku bertugas belanja celengan, kendi, tungku untuk membakar kemenyan dan barang-barang gerabah lainnya. Setelah mendapatkan barang-barang tersebut kakak akan mampir di kios permainan dingdong yang letaknya terhimpit antara terminal dan toko pakaian.
Kalau capek aku memilih rebahan di ambin ditemani radio yang menyiarkan lagu-lagu sendu. Nyaman sekali rasanya. Tetapi kadang aku harus berebut dengan kakak sulungku. Aku lebih sering mengalah. Sebab kalau tidak, dia mengancam tak mengajakku main ke studio Radio Republik Indonesia di kota kabupaten.
Selain lagu-lagu sendu aku menyukai siaran sandiwara pendekar berlatar masa kerajaan. Aku sering terhanyut oleh kisah dalam sandiwara. Aku membayangkan hidup di sana, menjadi anak murid si pendekar pembela kebenaran. Naik kuda memeluk pinggang si pendekar sakti mandraguna menerjang kawanan begal. Kala aku bersedih lantaran diolok-olok teman-teman, aku membayangkan si pendekar datang, duduk di sampingku, mengusap kepalaku.
Aku teringat tawaran Richi Ricardo untuk berlatih silat. "Kalau kamu bisa silat kamu bisa menghajar anak-anak nakal yang suka meledek kamu," kata dia.
Tubuhku yang kecil dan gerakanku yang lamban memang sering jadi olok-olok teman-temanku. Aku acapkali tak dilibatkan dalam permainan gobak sodor dan terutama sepak bola. Aku diperlakukan sebagai anak bawang, tukang disuruh kesana kemari. Aku sendiri entah kenapa tidak menyukai permainan kelereng, adu gasing, maupun layang-layang. Tetapi aku jago memanjat pohon dan berenang. Aku berani berenang di bendungan berkedalaman dua-tiga meter.
Saat aku kesal lantaran disuruh-suruh melulu oleh teman-teman, aku pergi sendirian ke bendungan. Berenang di sana sampai menjelang maghrib. Aku menyelam dalam-dalam. Kadang aku melamun saat menyelam masuk ke gorong-gorong panjang yang mengantarku ke kota lain. "Jangan pergi sendirian ke bendungan," kata ibu saat aku pulang kemalaman dan telat pergi ke musala untuk sembahyang dan mengaji.
Saat bapak ada, dia yang mengajariku mengaji. Di rumah saban bakda asar bapak mengajar anak-anak tetangga mengaji. Sejak beberapa bulan lalu bapak pergi tak kembali. Aku tak mau bertanya lagi ke ibu kenapa bapak tak kembali. Aku takut membuat ibu sedih dan menangis. Nanti aku ikut menangis. Aku benci menangis. Kata nenek, laki-laki tak boleh cengeng. Aku ingat terakhir melihat bapak pergi dijemput dua orang laki-laki berbadan tegap.
Malam sebelumnya, mereka datang bersama Pak Lurah. Aku mendengar percakapan mereka dari balik kamar.
"Pak Dirja, saya minta bapak tidak ikut pawai partai lagi," kata Pak Lurah.
"Kenapa, pak?"
"Pokokya tidak boleh. Itu mempengaruhi para tetangga mengalihkan pilihan ke partai itu," kata Pak Lurah.
Beberapa waktu sebelumnya lagi, Bu Lurah juga mengatakan hal yang sama kepada ibuku.
"Kyai kami meminta kami memilih Partai Ka'bah supaya ibadah kami sempurna," kata Ibu.
"Memilih Partai Kuning pun kamu tak dilarang sembahyang lima waktu. Kamu juga tetap diperbolehkan mengaji. Sudahlah jangan membantah. Jangan mempersulit diri sendiri," kata Bu Lurah.
Aku teringat lagi Richie Ricardo. Kalau aku jago silat, aku tidak hanya bisa melawan teman-teman yang mengolok-olok, tapi juga melawan Pak Lurah dan Bu Lurah yang suka memaksa pilihan bapak dan ibuku.
Aris Kurniawan buku cerpen terbarunya Monyet Bercerita (Basabasi, 2019)
Redaksi menerima kiriman naskah cerpen, tema bebas, disesuaikan dengan karakter detikcom sebagai media massa umum yang dibaca semua kalangan. Panjang naskah sebaiknya tidak lebih dari 9.000 karakter, karya orisinal dan belum pernah diterbitkan di media lain. Kirim ke email mumu@detik.com
Simak Video "Video: Cerita Andre Taulany Jadi Pemeran Utama di 'Comic 8: Tumbal Sulam'"
(mmu/mmu)