Sejak dulu, harimau penjaga ladang tebu itu antara ada dan tiada. Dalam kata-kata dan cerita, keberadaannya memang tak terbantahkan. Namun, belum pernah ada orang yang berani menjaminkan lehernya untuk membuktikan keberadaan hewan itu sebagai sosok yang berdarah dan berdaging. Darah dan daging yang sering disodorkan sebagai bukti adalah mayat compang-camping seorang laki-laki muda.
Sekitar tiga puluh tahun lalu, saat tebu masih ditanam di lahan ladang yang luas, mayat itu ditemukan di tepi ladang. Badannya koyak-moyak, lehernya hampir putus, dan salah satu lengannya hilang. Luka-lukanya mirip luka akibat tusukan senjata tajam berukuran kecil seperti belati atau bayonet yang ditikamkan berkali-kali. Kedalaman lukanya berbeda-beda dan membentuk goresan-goresan panjang dan pendek.
Saat itu menjelang panen. Tebu sudah tinggi dan rimbun. Ada jalur kecil yang terbentuk oleh ceceran darah di atas tanah dan rumput. Ketika ditelusuri dari tempat mayat ditemukan, jejak darah itu berakhir di tengah-tengah kerimbunan ladang. Polisi memperkirakan hewan buas itu menerkam di tengah-tengah ladang, lalu, entah dengan maksud apa, menyeret korbannya ke pinggir ladang.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pabrik gula pemilik ladang, yang tak mau tercemar namanya lantaran penemuan mayat di salah satu lahannya, mengundang banyak pemburu untuk melacak hewan buas itu. Berhari-hari mereka mengendap-endap di perbukitan terjal di sekitar ladang, tetapi hasilnya nihil. Setelah para pemburu mengemasi bedil dan pulang, dan setelah tebu habis dipanen dan perayaan tahunan digelar di lapangan, tak ada lagi yang antusias mengikuti perburuan.
Hingga bilangan bulan menjadi tahun, tak ada kepastian tentang harimau itu. Yang pasti hanyalah bahwa pernah ada sesosok mayat ditemukan di tepi ladang tebu. Yang juga pasti adalah bahwa tidak pernah ada lagi orang, terlebih warga sekitar, yang berani mencuri tebu dari ladang. Harimau itu, walaupun tak pernah terlihat jejaknya atau membunuh lagi, diyakini tetap mengawasi entah dari mana, dan siap menghukum siapa pun yang mencuri tebu.
***
Ceritanya terhenti karena batuknya menggila. Setelah batuknya reda, laki-laki paruh baya itu meraih kretek dan bersiap menyalakan korek api gas. Namun, ia urung menyalakan kretek itu. Diletakkannya kembali kretek dan korek di atas meja, lalu ia menyandarkan punggung pada sandaran kursi. Kepalanya menoleh ke lahan persawahan luas di selatan kampung. Pandangannya menerawang.
Sambil menunggunya melanjutkan cerita, kuperiksa sekilas-sekilas klip-klip video di kamera. Sejauh ini, porsi ceritanya lebih banyak tentang ladang tebu itu sebelum berubah menjadi lahan persawahan. Sayang sekali ceritanya patah-patah, dengan kalimat berantakan dan nada marah yang teredam di sana-sini. Nanti aku harus bekerja keras menuliskannya ulang seperti ceritanya tentang penemuan mayat itu.
Cerita nostalgianya cukup terperinci. Selain soal mayat yang diyakini diterkam harimau itu, misalnya, ia bercerita bagaimana dulu, saat masih remaja, ia dan teman-temannya "memajaki" truk-truk pengangkut tebu yang lewat di jalan kampungnya.
Mereka menunggu di dekat tikungan tajam. Ketika truk harus melambat, beberapa orang yang bernyali tinggi melompat ke belakang bak truk. Mereka mencabuti batang-batang tebu sebanyak mungkin dan melemparkannya begitu saja ke jalan sebelum truk menambah kecepatan. Tebu pajak itu dikupas dengan gigi dan diisap sambil menunggu truk berikutnya lewat. Rasanya lebih manis dan segar ketimbang gula pasir yang dijual di pasar.
Aku kembali memperhatikan ketika ia meraih kretek dan korek. Kali ini, ia menyalakan rokok itu dan mengembuskan asap kuat-kuat, seperti ingin mengembuskan semua beban dan kegelisahan yang telah dipendamnya bertahun-tahun. Kupijit tombol rekam saat ia terlihat mulai siap melanjutkan cerita.
"Hingga detik ini, aku tak percaya anakku dibunuh harimau," katanya tegas. "Harimau itu hanya akal-akalan pabrik gula agar warga sini tidak mencuri tebu. Sekarang, harimau itu hanya akal-akalan agar orang takut, lalu menyerahkan lahan kembali kepada pabrik gula yang sudah bangkrut itu."
Aku menoleh ke lahan persawahan di selatan kampung. Memang luas lahan itu. Luas sekali. Begitu luasnya hingga, kalau tak dihentikan perbukitan kapur di utara, barat, dan selatan, areal itu tampak seperti akan terus membentang hingga ujung dunia.
***
Kalau dua puluh tahun lalu dipandang dari salah satu lereng bukit kapur itu, akan tampak sebuah sungai yang mengalir dari utara ke selatan dan membelah ladang tebu menjadi dua bagian yang kira-kira sama besar. Di kedua sisi sungai, ladang tebu berselang-seling dengan petak-petak sawah sempit dan kampung-kampung kecil. Salah satu kampung itu adalah kampungku ini, yang ditandai oleh sebuah tikungan tajam.
Jalan utama desa bermula dari jalan provinsi jauh di timur, berkelok-kelok mengikuti saluran irigasi utama dan mengular di antara perkampungan, lalu berakhir di sebuah lapangan di kaki bukit selatan. Cabang-cabangnya membentuk jalan-jalan di kampung dan jalur angkutan tebu di antara petak-petak ladang.
Seluruh areal ladang, saluran irigasi, dan rumah diesel penyedot air sungai adalah milik pabrik gula. Selain ladang dan sawah tadah hujan di lereng ketiga perbukitan yang terjal, warga hanya punya petak-petak sawah sempit yang berimpitan di antara ladang tebu itu. Begitu sempitnya sawah-sawah itu hingga mencangkul sepetak utuh pun tak akan membikin orang berkeringat.
Ladang garapan di lereng-lereng bukit kapur sangat curam dan tak betah menahan air hujan berlama-lama. Kalau hujan besar, air limpahan dari lereng mengalir berbondong-bondong ke selokan di sekeliling ladang tebu, lalu terbuang ke sungai. Kalau digabung, hasil setahun dari sawah sempit dan ladang sulit air itu sangat kurang untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari.
Meski berumah di areal ladang tebu seluas itu, warga sekitar hanya bekerja di sana dua kali dalam setahun. Saat musim tanam, pabrik pemilik ladang mengupah mereka untuk membakar sisa-sisa pokok tebu, membajak dan menggaru tanah, dan memperbaiki saluran irigasi di antara bedengan. Saat musim panen, mereka memotong dan mengunggah tebu ke truk. Selebihnya mereka menganggur.
Pekerjaan di sawah sempit dan ladang tandus tak menyita banyak waktu. Karenanya, setamat sekolah atau setelah menikah, atau setelah cukup berani menghadapi dunia asing di luar batas kampung halaman, anak-anak muda bergegas meninggalkan rumah dan mencoba peruntungan di tempat yang lebih baik.
Beberapa tahun setelah reformasi, pemilik ladang berhenti menanam tebu. Gula impor yang lebih murah ketimbang gula dalam negeri membungkam deru mesin pabrik gula. Selama dua atau tiga tahun, lahan luas itu terbengkalai, diserahkan begitu saja kepada rumput liar dan semak perdu yang tumbuh bebas dan lebat. Sekitar lima belas tahun lalu, entah siapa yang memulai, warga sekitar beramai-ramai mengubahnya menjadi persawahan.
Setelah petak-petak sawah pertama muncul, kelurahan mengingatkan para penggarap bahwa lahan itu milik pabrik gula. Kami harus rela dan tak boleh protes kalau diminta kembali oleh yang berhak. Kami menyatakan hanya akan menggarap beberapa bulan saja. Sayang sekali lahan bagus seluas itu kalau dibiarkan tak berproduksi. Hingga belasan tahun kami menggarap lahan itu.
Memang pegawai pabrik pernah datang beberapa kali dan mengelilingi lahan itu, tetapi tak mengatakan apa-apa kepada kami. Pernah juga ada orang-orang tak dikenal yang membawa peralatan pengukuran tanah. Mereka menanam patok di sana-sini dan plakat-plakat tentang kepemilikan tanah. Ada juga plakat besar yang mengumumkan bahwa lahan itu akan menjadi kawasan industri baru tempat pabrik-pabrik segala macam akan didirikan.
Kami sempat waswas, tetapi pabrik gula tetap diam. Ketika beberapa patok hilang dan plakat-plakat dicorat-coret, pabrik tetap diam. Ketika orang-orang dari jauh ikut membuka dan menggarap petak-petak sawah baru, pabrik masih diam. Juga ketika saluran irigasi diubah menjadi saluran untuk memasok air ke sawah-sawah. Saat itu, kami patungan membeli mesin diesel untuk menyedot air dari sungai karena diesel milik pabrik sudah lama lenyap.
Anehnya, beberapa tahun kemudian, kantor kelurahan memberikan dana untuk meningkatkan irigasi. Aku ingat, lurah yang menjabat pada masa itu meresmikan saluran irigasi baru menjelang Agustusan. Dulu, ketika masih ada tebu, pada bulan itu juga ada perayaan panen tebu, dengan pasar malam dan komidi putar dan bakso dan soto dan gulali dan jajanan tanpa akhir untuk anak-anak selama seminggu.
Kami sadar, kami tak berhak atas lahan itu. Namun, apa yang bisa kami lakukan? Lahan yang betul-betul milik kami hanya sawah sempit dan tadah hujan serta ladang tandus di lereng-lereng bukit kapur. Itu pun tak seberapa luasnya, terlebih hasilnya. Anak-anak terus lahir dan harus diberi makan. Dengan apa kami menyuapi anak-anak kami kalau kami tak punya lahan yang memberikan hasil yang baik dan memadai?
Terlebih lagi, kalau saja pabrik dan pemerintah mau bertindak bijaksana dengan memperhatikan nasib kami, kami tak akan resah. Entah seperti apa wujud kebijaksanaan itu, tetapi kami merasa bahwa tidak adil kalau kami, yang telah merawat lahan itu selama belasan tahun, terusir begitu saja. Dalam beberapa kali pertemuan yang ditengahi kelurahan, pihak pemilik lahan bersikeras tak mau membayar ganti rugi.
Dalam pertemuan terakhir di kantor kelurahan, sekitar lima bulan lalu, kami tak sanggup menahan diri dan hampir saja membacok perwakilan pemilik lahan. Sejak itu, belum ada pertemuan lagi. Namun, entah siapa yang mulai mengedarkan, cerita tentang harimau itu beredar lagi.
Lalu orang-orang meyakini bahwa harimau itu sebenarnya peliharaan pemilik lahan. Kalau dulu harimau itu dipelihara untuk mencegah pencurian tebu, kini hewan buas itu dilepaskan lagi untuk menakut-nakuti para penggarap. Beberapa aktivis reformasi agraria yang membantu advokasi setengah percaya setengah tidak karena belum pernah melihat sosok makhluk itu secara langsung.
Puncaknya adalah ketika pada suatu sore mayat putraku ditemukan di tepi jalan yang membelah bekas ladang tebu itu. Keadaannya hampir mirip dengan mayat yang puluhan tahun lalu ditemukan di tepi ladang tebu: compang-camping dengan luka-luka mengerikan di sana-sini. Yang membuatku sulit menerima: kenapa harus anakku? Anak itu tak pernah ikut ribut-ribut konflik lahan. Pikirannya masih lima tahun walaupun tubuhnya dua puluh tahun!
Walaupun juga menggarap lahan di bekas ladang tebu itu, aku tak pernah benar-benar giat dalam usaha meminta kebijaksanaan yang dilakukan para penggarap. Aku sekadar mengikuti kesepakatan kami. Dalam pertemuan, aku duduk paling belakang dan menjadi orang bisu. Aku bukan orang yang berbahaya bagi pemilik lahan. Anakku hanya satu. Bagaimana pun keadaannya, ia tetap anakku. Kenapa harus anakku? Kenapa bukan aku?
***
Klip terakhir telah lama selesai diputar, tetapi aku masih termangu di depan laptop. Kupandangi gambar terakhir di klip itu: seorang laki-laki paruh baya, dengan rambut dan kumis yang mulai memutih, dan kepalanya menengok ke luar teras tempat wawancara dilakukan beberapa hari lalu.
Punggungnya menyerah pada sandaran, lengannya menjuntai kelu di lengan kursi. Posenya memperlihatkan seseorang yang sangat lelah dan pasrah. Namun, pada matanya yang menerawang, aku seperti melihat bongkah-bongkah pokok tebu yang membara di antara padi siap panen di hamparan sawah yang subur dan luas. Aku merasa, kalau angin kencang berembus, bara itu akan beterbangan dan seluruh padi akan terbakar.
Aku menggeleng keras-keras. Akhir pekan ini video dan transkrip wawancara sudah harus kuserahkan kepada kepala tim survei sosial proyek. Dari lima calon kawasan industri baru di kabupaten ini, tinggal lahan bagianku ini saja yang belum beres karena para penggarap bersikeras bertahan.
Tiba-tiba saja aku merasa menjadi seekor harimau.
Yogya, 2021
An. Ismanto lahir di Bantul, 13 Agustus 1980. Saat ini tinggal di Yogyakarta dan bekerja sebagai penulis, penerjemah, dan penyunting lepas
Redaksi menerima kiriman naskah cerpen, tema bebas, disesuaikan dengan karakter detikcom sebagai media massa umum yang dibaca semua kalangan. Panjang naskah sebaiknya tidak lebih dari 9.000 karakter, karya orisinal dan belum pernah diterbitkan di media lain. Kirim ke email mumu@detik.com
(mmu/mmu)