Enam dalang senior di Boyolali terpaksa mengamen dari rumah ke rumah. Hal itu dilakukan karena dampak pandemi COVID-19 berkepanjangan.
Selama dua tahun terakhir, mereka tak bisa pentas atau tidak ada tanggapan sehingga tak mendapatkan uang pemasukan.
"Wayang ngamen ini karena perekonomian. Jujur dalang sekelas saya, Pak Sartono, Pak Kasim itu nggak punya keterampilan lain selain mendalang. Jadi yang penting saya mencari rezeki halal, tidak melanggar protokol kesehatan," Ki Joko Sunarno, salah satu dalang ditemui saat mengamen di rumah Sumarno, warga Dukuh Dronco, Desa Ringinlarik, Kecamatan Musuk, Kabupaten Boyolali, Rabu (22/9/2021).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kegiatan ngamen tersebut juga dilakukan untuk mengobati rasa kangennya terhadap wayang dan para penggemar wayang. Sehingga wayang ngamen ini selain untuk menopang perekonomian keluarga, juga untuk melestarikan seni budaya wayang kulit.
Baca juga: Dalang Menurut Sujiwo Tejo |
"Wayang ngamen ini terinspirasi karena hampir dua tahun kami ber-enam ini belum diizinkan untuk mendalang (dampak pandemi COVID-19). Kami sangat rindu kesenian saya, dengan budaya saya, juga rindu dengan penggemar-penggemar wayang," ucap dalang asal Kecamatan Karanggede, Kabupaten Boyolali ini.
![]() |
Menurut Ki Joko Sunarno, ada enam dalang yang terlibat dalam wayang ngamen ini. Yaitu, dirinya sendiri. Kemudian, Ki Kasim Sabandi Purwowasito dari Klaten, Ki Bambang Wiji Nugroho dari Yogya, Ki Wartoyo dari Nogosari, Boyolali, Ki Joko Sartono dan Setyo Margono, keduanya dari Musuk Boyolali. Selanjutnya juga ada dua dalang muda dari Boyolali yakni Ki Kangko dan Anggoro Dwi Sadono.
Dalam ngamen ini, pagelaran wayang pun dilakukan sangat sederhana. Kelir yang dipasang ukuran kecil. Kemudian gamelan yang mengiringi hanya lima, yaitu gender, demung, saron, kendang dan kempul atau gong. Serta terkadang ada satu sinden.
![]() |
Karena yang terlibat semuanya dalang, maka warga yang menanggap pun berhak dan bisa memilih, siapa yang mendalang termasuk dengan lakonnya. Untuk durasi, Joko Sunarno, mengatakan rata-rata selama tiga jam. Namun demikian juga tergantung permintaan yang menanggap.
"Durasi tergantung permintaan, rata-rata 3 jam. Per dalang satu jam. Dengan tiga jam harapan kami tidak melanggar Prokes (protokol kesehatan COVID-19)," imbuhnya.
Baca halaman berikutnya tentang para dalang senior asal Boyolali yang terkena dampak pandemi.
Untuk bayarannya? Joko Sunarno mengatakan, seiklasnya. Pihaknya tidak mematok bayaran karena ini adalah ngamen.
"Karena di alam yang serba sulit ini semua merasakan, masyarakat mencari kebutuhan hidup sehari-hari sulit. Maka kita sukarela," kata Joko Sunarno.
"Budaya ngamen itu sebenarnya simbah-simbah dulu sudah ada. Kalau jaman dulu, upahnya tidak rupiah (uang), punya jagung diberi jagung, punya gabah diberi gabah," lanjut dia.
Pihaknya berharap pandemi ini segera berakhir. Sehingga kehidupan kembali normal dan perekonomian bangkit kembali.
"Wayang kembali normal, InsyaAllah kami tidak akan ngamen. Tapi kalau masih begini yang kami lanjutkan ngamen dengan catatan kami serombongan ini tetap taat protokol kesehatan," harapnya.
![]() |
Ngamen kali ini bukan yang pertama kali. Sebelumnya, beberapa hari kemarin ngamen di daerah Kabupaten Semarang dan di Boyolali. Selanjutnya, juga akan ngamen di Sragen, Karanganyar, Pemalang.
Sementara itu Ki Kasim menambahkan, rencana awal dirinya akan mengamen di lampu traffic light di Klaten. Belum dilaksanakan, ide itu disambut Ki Wartono dan mengumpulkan para dalang-dalang untuk diajak ngamen dari kampung ke kampung.
"Kondisi dalang saat ini, ya banyak yang jual aset wayang atau gamelan untuk membeli beras, untuk kebutuhan hidup sekitar 2 tahun ini," katanya.
(tia/tia)