Tetangga baruku bisa bicara dengan orang mati. Aku meyakini itu ketika sedang khidmat membaca buku The World as Will and Representation untuk bahan skripsi. Tiba-tiba telingaku menangkap suaranya sedang bercakap sendiri di kamar sebelah. Sudah beberapa kali dalam empat hari berturut-turut aku memergokinya.
Aku langsung menutup buku dan melihat jam di meja dekat kasur. Dua belas, nol nol. Setelah itu, aku mencoba menguping percakapannya dengan mendekatkan kepala ke dinding antara kamarku dan kamar sebelah.
Aku tinggal di kamar tiga puluh tiga. Di lantai ini, hanya ada lima ruangan. Tiga puluh satu sampai tiga puluh lima. Bersusun dari kiri ke kanan. Sejak empat hari yang lalu, gadis itu menempati tiga puluh lima. Sisanya adalah kamar kosong. Atau, lebih tepatnya: tak ada manusia hidup yang tinggal di sana.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pada hari pertamanya, perempuan tersebut begitu bising mengangkat-angkat barang. Awalnya, aku ingin membantu. Namun, aku kurang suka bekerja seperti kuli. Selain itu, aku takut dia mengira yang bukan-bukan. Jadi aku hanya memasak mie instan sambil merasakan getaran dinding yang dipalu, bunyi kardus yang dilempar, atau suara dirinya yang mengaduh kelelahan.
Baru ketika malam hari, berbenah itu selesai. Saat itu cuaca sedang hujan. Petir beberapa kali menyambar. Aku yang sedang istirahat dari mengetik skripsiku tiba-tiba menyadari bahwa ada suara kucing dari arahnya. Mungkin tetanggaku membawa peliharaan. Kurasa ini waktu yang tepat untuk mencoba berbasa-basi, menawarkan secangkir kopi, sembari bertanya siapa namanya. Namun, ketika aku mendengar lebih saksama, dia sedang bergumam. Kupikir, dia sedang menelepon seseorang. Suaranya yang bercampur derau rintik cukup menenteramkan. Membuatku tak lagi merasakan suram yang mencekam.
Di lantai ini, sunyi telah menjadi rutinitas. Biasanya hanya terdengar jangkrik bernyanyi, geraman pompa air, atau cuitan angin kenyang yang membuat jemuran bergoyang. Jadi, aku bisa mendengar bahwa dia sedang bicara di ujung kamarnya. Namun, aku kurang bisa memastikan apa yang dibahas, karena jarak kamar kami yang terhalang. Lagipula, bunyi mengeong jadi kemusykilan sendiri bagi telingaku untuk mendengar bisik-bisiknya yang menyerupai sebuah ritus. Jujur saja, saat itu aku sedikit senang dengan kehadiran tetangga baru dan kucingnya. Aku berharap mereka bisa mengaburkan sepi yang terbiasa hadir.
Sudah dua tahun aku sendirian di lantai tiga. Aku memilih kos-kosan ini karena yang sebelumnya kurang membuatku nyaman plus terlalu mahal. Waktu itu, hanya tersisa beberapa kamar di paling atas. Sudah disediakan kasur, lemari, meja dan kipas angin. Pemandangannya cukup menarik bagiku: di depan penuh dengan jemuran, di belakang terlihat genteng-genteng dari atas. Yang terpenting, kamar mandinya di dalam. Karena aku tak masalah harus turun dan naik tangga, jadi aku menyanggupi.
Ketika pertama masuk, aku mendengar kabar bahwa di kamar tiga puluh dua, pernah ada seorang perempuan yang meninggal. Aku tak terlalu gamang karena kematian adalah hal yang wajar. Yang membuatku sedikit ngeri adalah caranya menjemput ajal: dihipnotis lalu diperkosa oleh beberapa orang kemudian dibunuh. Jasadnya tak pernah ditemukan. Orang-orang tahu karena ia sempat jadi berita di televisi. Kala itu juga, aku masih memiliki tetangga di pinggir kananku. Seorang lelaki. Aku sempat bertukar hai, tapi belum sempat berkenalan. Seminggu kemudian, ia melompat dari jendela kamarnya. Setelah itu, aku resmi sendirian.
Maka, ketika perempuan itu jadi tetanggaku, aku berpikir dia bisa menghilangkan suasana hening yang kadang membuat bulu kuduk berdiri. Atau minimalnya, membuatku punya teman. Aku berniat menyapa pada hari kedua kedatangannya. Namun, pagi-pagi sekali, bahkan sebelum kicau burung hadir, gadis tersebut telah lenyap. Waktu itu, aku masih melek karena bergadang demi mengkritik 'keinginan untuk hidup'-nya seorang filsuf bernama Schopenhauer. Lalu kudengar suara sepatunya merebak menjauhi kamar dan turun tangga. Aku mengamati dari jendela kamarku yang dipenuhi stiker-stiker kampus dan pergerakan. Dia memakai kaos hitam dibalut kardigan putih dan celana jin. Dari penampilannya yang sekelebat itu, aku merasa tak asing.
Aku semakin semangat mengajaknya berkenalan, karena bayangan sekilasnya mengganggu kepalaku. Seolah ada aura akrab yang keluar darinya. Seolah ada serimba rahasia dari caranya berpakaian. Bahkan sesuatu yang terasa kultus hanya dari suara langkah kakinya. Mungkin aku memang mengenal dirinya.
Bisa saja dia teman sekampusku, atau teman masa laluku. Jadi pada hari itu, aku menunggunya pulang hanya untuk memastikan hal tersebut. Aku menunggunya sambil sesekali mengerjakan skripsi, mendengarkan kucingnya mengeong, sesekali menatap bentangan jemuran yang tergantung di depan kamarku. Aku menunggunya sampai ketiduran.
Ketika terbangun tengah malam, aku mendengarnya berbicara. Suara itu tidak datang dari arah kamarnya. Namun, sebaliknya. Lampu sedang mati. Aku mencoba beberapa kali menyalakan saklar, tapi tak kunjung menyala. Dalam hawa kegelapan, aku mendengar dia terkekeh. Aku mencoba menguping pembicaraannya. Aku bisa menerka suaranya, dan kurasakan nada yang lembut tapi serak di ujung kalimat itu begitu kukenal. Namun nihil untuk kuingat suara siapa. Bunyi kucing yang begitu berisik membuatku lagi-lagi kurang bisa menerka apa yang tengah dia bicarakan. Sejak saat itu, aku mengira dia memiliki halusinasi atau teman khayalan. Maka kuurungkan niatku mengenalnya lebih dekat. Aku lebih baik sendirian mengurusi syarat sarjana dibanding mencoba berkenalan orang aneh sepertinya.
***
Prasangkaku tentang teman khayalan atau halusinasi hanya berjalan sehari. Setelah suatu malam, aku mendengarnya kembali bicara sendiri. Kala itu, aku sedang bercanda ria di WA, 'Misa Keluguan'-group kelasku. Kami membicarakan tentang teman seangkatan yang gila dan kemarin terlihat telanjang di terminal. Juga mengutuk beberapa dosen pembimbing yang begitu lambat merespons. Tiba-tiba pintu kamar tiga puluh empat diketuk. Aku terkaget. "Boleh saya masuk?" Suara perempuan itu terdengar.
Aku pikir itu untukku. Tadinya ingin kujawab, kau salah kamar. Atau langsung saja kubuka pintuku. Namun, kudengar pintu kamar sebelah terbuka dan dia berkata lagi: "Terima kasih". Aku langsung menyimpan ponselku. Mencoba untuk mengupingnya. Kebetulan sekali kucing sialannya itu sedang tidak berbunyi malam ini. Jadi aku bisa mendengar samar-samar obrolannya. Dia terkesan seperti bicara dengan seseorang. Dia menjeda ucapannya. Lalu berkata lagi. Seolah-olah bercengkerama.
"Kamu mungkin benar. Hidup bagi saya juga kurang lebih hanyalah petualangan yang nista." Kemudian dia tertawa nyaring menyerupai dentingan gelas yang dipukul. Aku masih tetap menyimaknya sambil menatap jaring laba-laba di sudut kamarku. "Alasan yang bagus untuk hidup terkadang jadi alasan yang bagus untuk mati. Bunuh diri adalah bentuk pengakuan bahwa hidup ini tak bermakna dan tidak bisa dipahami."
Kurasakan tubuhku bergetar. Sepertinya, dia sedang bercakap-cakap dengan seorang lelaki yang pernah tinggal di sana. Semakin kusimak obrolannya, semakin deras keringat yang turun dari sekujur tubuhku. "Saya turut berduka atas hidupmu yang nahas." Lampu kamarku pecah. Aku langsung berlari ke arah kasur dan mengerubungi tubuhku dengan selimut. Kucoba pejamkan mata dan tak memikirkan apa-apa. Sejak malam itu, aku mengerti bahwa tetangga baruku ini bisa bicara dengan orang yang mati, atau dia adalah hantu.
Dan kemarin, dia kembali bicara dengan seseorang. Tepat tengah malam di pinggir kiri kamarku. Lampu telah kuganti dan aku mendekatkan kuping ke dinding. Benar-benar berniat menguping. Aku mencoba untuk memberanikan diri. Dia berkata, "Jadi kamu masih tidak tenang? ... Saya tak bisa membantumu jika inginmu begitu ... Kamu harus membalaskan dendammu sendiri ... Tidak, tidak. Saya tak ingin mengusirmu ... Bagi saya mencoba mendamaikan hal-hal yang tidak bisa didamaikan itu sia-sia ... Bukan, saya bukan suruhan lelaki itu ..."
Suara kucing mulai mengeong. Aku mendegus kesal. Meski sedikit takut, tapi aku penasaran dengan apa yang dilakukan perempuan itu. Kemudian tangis bayi terdengar begitu keras. Seketika, aku merinding. Kurasakan ada dingin yang menelusuk ke dalam kerangkengku. Bulu kudukku langsung berdiri. "Siapa namanya? Lucu sekali ... Boleh saya gendong? ... Saya hanya ingin berteman. Percayalah ... Kita sama-sama perempuan, jadi saya pikir kita bisa berteman ..." Suara tangis itu memelan. "Cup cup cup, dede bayi jangan nangis ..." Akhirnya suara itu pun menghilang. "Dia tidur?"
Gadis itu diam sejenak lalu tertawa. "Saya memang lebih suka bicara pada orang mati. Orang lain adalah neraka." Berani-beraninya dia mengutip Sartre! "Yang hidup terlalu banyak masalah. Terlalu banyak berpura-pura. Saya tidak suka ... Yang mati hanya punya satu tujuan. Mungkin satu dendam. Atau satu keinginan sederhana. Setelah itu terjadi, dia akan tenang. Sedangkan yang masih hidup punya banyak tujuan, punya banyak dendam, punya banyak keinginan. Mereka tak pernah tenang." Pintu kamarku perlahan terbuka. Aku sontak melihat ke arah sana. Seekor kucing hitam masuk. Mengeong dengan keras.
***
Tengah malam kini, pintuku diketuk. Pasti gadis itu. "Boleh saya masuk?" Aku tidak menjawab. Pintu terus diketuk. "Halo". Aku tetap tidak menjawab. Sudah bulat tekatku untuk tak akan menganggapnya ada. "Saya tahu kamu di dalam. Boleh buka pintunya?" Aku langsung mencari-cari pisau. Pintuku dibuka secara paksa. Aku telah menggenggam pisau. Kuarahkan ke mukanya.
"Tenang. Tenang." Dia mengangkat kedua tangannya.
"Kesendirian adalah altar kebebasan. Jangan menggangguku." Aku masih mengangkat pisau ke arahnya.
"Jadi kamu sedang bertapa?" Dia tertawa. Ini adalah kali pertama aku melihat wajahnya langsung. Aku merasa benar-benar mengenalinya.
"Hanya sedang menghayati kehidupan," jawabku sambil menurunkan pisau.
"Tidakkah kamu rindu kematian?"
"Kau siapa?"
"Nama saya Susan." Dia pun perlahan menurunkan tangannya. Aku mencoba mengingat-ingat adakah aku kenal dengan Susan. "Jadi saya boleh di sini?"
"Aku pikir aku mengenal kau. Apakah begitu?"
"Tidak, kamu tidak kenal saya. Namun, kamu akan melihat saya seperti apa yang ingin kamu lihat."
Kembali aku todongkan senjataku padanya. "Kau ini apa? Kudengar sejak ke sini, kau bicara dengan orang mati."
"Ya. Saya memang bisa berkomunikasi dengan roh." Dia tersenyum. Aku mulai melihat wajahnya sedikit berubah. Tak seperti orang yang kukenal lagi. Wajah ini begitu pucat.
"Lalu kenapa aku akan melihat kau seperti yang kuingin?" Kurasakan keringat mulai turun.
"Mungkin karena penyebab masalah semua manusia adalah kenangan. Bisa tolong turunkan pisau itu? Jika kamu berpikir saya hantu, apakah kamu bisa membunuh saya?"
Aku menurut. Kuturunkan pisau itu dan kusimpan kembali. Dia hanya diam,
"Duduklah," pintaku.
"Terima kasih." Dia duduk. Aku pun ikut duduk.
Kami saling diam beberapa jenak. Dari luar kucing hitam mulai masuk ke kamarku. Dia mengelus-ngelus kucing tersebut. Angin malam masuk membelai tubuhku. Aku merasakan dingin di ulu hati. Sedangkan dirinya tetap diam dan membuatku bosan. Aku pun mencoba bicara. "Jadi kau ..."
"Bukan," jawabnya memotong. "Saya memang bisa bicara dengan roh. Namun, saya manusia. Malah, saya tidak suka bicara dengan yang hidup." Kucing itu sekarang lepas dari elusannya.
"Lalu kenapa kau bicara padaku?" Hening. Aku tak mendengar apa-apa selain suara detak jantung.
Kucing hitam itu mendekatiku. Sedangkan dia menjawab, "Apakah kamu hidup?"
Pertanyaan itu terngiang dalam kepalaku. Tiba-tiba aku merasa mual. Kesunyian benar-benar jatuh berdebum di sini. Kucing hitam melewati tubuhku. Aku melihat diriku sendiri. Berdiri. Melihat ke arah cermin. Tak ada apa-apa. Semua yang kutatap dalam kamar ini berubah menjadi puing. Aku mencoba mengingat semua tentang hidupku. Cara matiku. Skripsiku yang tak pernah rampung. Berapa lama aku telah mati. Apa yang terjadi dengan hidupku. Siapa perempuan itu. Semua. Semua. Semua.
Hening. Dia menatapku tajam dan tersenyum. Kucing itu mengeong. Tiba-tiba saja, aku merasa sedih.
Jein Oktaviany lahir di Ciwidey saat Friday's 13th. Aktif di grup kepenulisan Prosatujuh dan Kawah Sastra Ciwidey
Redaksi menerima kiriman naskah cerpen, tema bebas, disesuaikan dengan karakter detikcom sebagai media massa umum yang dibaca semua kalangan. Panjang naskah sebaiknya tidak lebih dari 9.000 karakter, karya orisinal dan belum pernah diterbitkan di media lain. Kirim ke email mumu@detik.com
(mmu/mmu)