Maut itu mengepakkan sayapnya pelan dan lembut di jendela kamarku. Aku bisa melihatnya dari atas ambin, tempatku masih berbaring sejak lebih dari seratus hari lalu. Sebelumnya, selama sekian bulan aku masih bisa bangun dan berjalan sendiri meski tertatih. Tapi kemudian berangsur-angsur kesehatanku menurun, kian lemah, sampai akhirnya ambruk.
Aku tahu, saatnya akan segera tiba. Maut, tak seperti yang dulu sering kubayangkan, begitu seram dan menakutkan. Sekarang aku melihatnya --dan juga merasakan sentuhannya, sapaannya yang teduh dan menyejukkan.
"Aku siap kau jemput kapan pun!"
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ia tersenyum. Ada cahaya berkilau, entah dari mana, mungkin dari salah satu sudut bibirnya. Aku tak begitu awas. Mungkin lantaran mataku yang mulai merabun.
"Belum saatnya!"
Aku mendengar kepak sayap itu, yang samar dan perlahan menjauh, lalu hilang sama sekali.
Oh, rupanya hanya membesukku. Ini yang kedua kalinya. Yang pertama, di awal-awal kondisi kesehatanku yang kian buruk. Ia hinggap di jendela kamarku. Aku tak bisa melihat wajahnya. Hanya bulu-bulu berkilau yang tampak olehku. Ia bergeming beberapa saat, tanpa suara dan lalu terbang.
Tiga hari setelah itu, istriku mengabarkan ada tetangga yang meninggal. Aku bertanya siapa. Pak Aziz, kata istriku. Oh, tetangga yang baik dan ramah.
"Bukankah dia sehat?"
"Ada kalanya kematian datang tanpa sebab," sahut istriku. Ia masih tampak cantik dan menawan. Aku membayangkan, senyumnya akan menemaniku sepanjang tidurku di dalam kubur kelak, sembari menunggu hari kebangkitan tiba. Bagaimanapun, senyum itulah yang mula-mula menawan hatiku, membuatku jatuh cinta sejak berpuluh tahun lampau. Sampai sekarang senyum itu masih terjaga dengan baik. Bahkan di hari-hariku yang sakit ini.
Nyatanya memang aku belum dijemput maut. Benar katanya, memang belum saatnya. Tetapi tujuh hari sejak kulihat sang maut hinggap di jendela kamar untuk kedua kalinya itu, kabar kematian datang lagi.
"Anak itu masih delapan belas tahun," kata istriku, yang kemudian dengan nada terdengar melankolis bercerita kalau almarhum bernama Zidane, seperti nama pemain bola asal Prancis yang pernah tanduk Materazzi, pemain Itali di Piala Dunia 2006. Saat itu aku juga menonton Piala Dunia, meski bukan penggila bola. Sama dengan istriku. Ninjanya ringsek. Orangnya juga. Lebih parah.
"Innalillahi...." ucapku.
Zidane tak bisa main bola, kata istriku. Dia lebih suka balap motor. Lebih suka Valentino Rossi ketimbang Cristiano Ronaldo atau Messi. Ayahnya penggemar berat bola, dan agaknya punya obsesi anaknya bisa jadi pemain bola. Tetapi rupanya tak kesampaian. Benar-benar tak kesampaian.
"Aku yang sakit, kenapa tetangga yang meninggal?"
"Maut tak pernah salah alamat, Sayang!"
Aku tersenyum. Sedikit menghibur diri sepanjang menanggung sakit baik juga, walaupun mungkin sakitku tak bakalan sembuh. Orang bilang sakit tua. Dokter yang memeriksaku pernah kasih nasihat aku tak boleh banyak beban pikiran. "Seringlah hati bapak dibuat senang."
***
Istriku perempuan bersahaja yang menerimaku menjadi suaminya setelah kami menjalin hubungan sebagai sepasang kekasih selama kurang lebih satu tahun. Segalanya terasa begitu cepat. Di toko buku kami bertemu kala itu. Lalu berkenalan. Ia bilang sedang mencari buku untuk kebutuhan skripsi. Ia anak Sastra. Aku bilang aku Jurusan Ekonomi, hanya saja sudah lulus sewindu sebelumnya. Segalanya terasa begitu cepat, walaupun tak bisa juga dibilang mudah untuk kami kemudian saling meyakinkan bahwa aku dan dia sama-sama memendam cinta. Dia bilang aku yang pertama.
"Kau yang ketiga belas," balasku.
Dia tersenyum, dan berkata pelan, "Pasangan yang sial!"
Sudah lewat separuh abad. Segalanya berlalu dengan wajar. Menikmati apa pun yang ada. Bercanda, bertengkar, silih berganti. Kami menyebutnya mengalir bersama waktu. Sampai kami menikah. Sampai detik ini.
Kami sepakat untuk menua bersama. Tetapi nyatanya aku yang lebih dulu rapuh. Tentu saja. Usiaku nyaris sepuluh tahun lebih tua darinya. Istriku masih bugar, meskipun mustahil juga kalau dibilang masih tampak muda.
Mungkin seperti ini pula yang dikehendaki alam, meski tak selalu, bahwa aku yang jauh lebih tua sakit terlebih dahulu. Dan aku menerima kalau memang harus mati lebih dulu pula. Dulu, kami pernah meributkan perihal siapa yang lebih dulu mati di antara kami. Itu sungguh konyol, dan perdebatan berujung dengan menyerahkan takdir kematian kepada Tuhan. Persoalan jadi beres. Lalu kami berjanji untuk tetap saling setia di dalam cinta.
"Kalau aku mati, kau akan sendirian dan kesepian," kataku kala itu.
"Tidak apa-apa. Kau pun akan kesepian di dalam kuburmu!"
Kami tertawa.
Sejak lama, aku dan istri sudah sepakat tak perlu risau perihal kematian. Sebagaimana hidup, kematian adalah hal yang wajar, dan kita tak pernah tahu, siapa yang lebih dulu dijemput maut, ia pernah berkata. Dan aku sepakat pula.
Di dalam sakitku, cinta tetap tumbuh subur. Istriku tak hanya setia tetapi juga memiliki kesabaran lebih dari sekadar yang aku tahu. Ia merawatku dengan telaten, tak pernah kudengar ia mengeluh, bahkan cemberut, bermuram muka, lantaran aku telah membuat hari-harinya terasa sulit dan berat. Ia harus menuntunku ke kamar mandi, membasuh tubuhku, mengganti pakaianku, dan segala macam yang tak bisa kulakukan sendirian. Itulah kenapa aku meminta maaf kepadanya. "Tak ada yang repot dalam urusan cinta!" kata istriku.
Kini aku membayangkan istriku akan kesepian setelah aku mati nanti. Walaupun mungkin aku juga akan kesepian di dalam kuburku. Mendadak aku merasa kasihan kepada istriku. Rasanya berat meninggalkan dirinya. Sebagaimana ia berat melepasku. Aku sangat yakin itu.
Aku panggil istriku dan memintanya untuk membacakan sebuah sajak. Dulu, hampir setiap ada acara sastra, istriku selalu diundang untuk membacakan sajak. Aku tak begitu menyukai sajak. Mungkin karena bukan anak Sastra, walaupun istriku pernah bilang sajak bukan monopoli orang-orang yang belajar di Jurusan Sastra. Tetapi istriku bisa mengerti aku tak pernah menontonnya setiap ia membacakan sajak. Pendeknya kami saling memahami dunia dan kesukaan masing-masing.
Istriku riang mendengar permintaanku, mirip gadis kecil mendapat boneka kesayangan. Mungkin ia mendapatkan panggungnya kembali, setelah sekian tahun tak lagi ada pentas baca puisi, yang sebenarnya jarang juga. Di sini panggungnya, dengan penonton tunggal yang tak lagi berdaya, bahkan sekadar memberikan aplaus, pikirku.
"Tahu tidak, kalau kau bersedia mendengarku membaca sajak, aku tak peduli lagi apabila tak ada orang yang memintaku untuk membaca sajak!"
Istriku tak bertanya mengapa tiba-tiba aku memintanya membaca sajak. Tetapi kalau ia bertanya, aku akan jawab, barangkali saja sajak akan meringankanku dari rasa sakit. Dan kubayangkan ia menyahut dengan kelakar, "Memangnya kau pikir sajak itu sejenis analgesik?"
Istriku semringah. Senyumnya tampak lebih cerah menghias wajahnya, menumpas keriput yang mulai menggurat di sana. Ia segera mengambil buku, mungkin buku kumpulan puisi, lalu duduk di dekat kepalaku dan mulai membacakan sajak. Aku menyimak kata demi kata, bait demi bait dengan khidmat. Aku tak memahaminya. Tetapi suara istriku melantun lirih, merambat sampai menyentuh ke detak jantung. Dan kubayangkan beberapa ekor kupu-kupu keluar dari kepala istriku, terbang melayang-layang di langit-langit kamar.
"Indah sekali," kataku begitu istriku selesai.
Istriku mengusap kepalaku. Ada yang terasa aneh dari situasi semacam itu. Mungkin gara-gara sajak yang dibacakan istriku. Mungkin sekadar perasaanku saja. Perasaan orang yang sedang sekarat. Mendadak aku ketakutan. Entah dari apa. Mungkin dari kesepian. Aku ingin sekali didekap erat-erat oleh istriku, tetapi itu tak kukatakan. Aku malah bilang terimakasih dan ia mengecup keningku.
"Istirahatlah, sayangku!" ucapnya, dan lalu berbaring di sampingku. Tak lupa memberikanku sekulum senyum.
Aku memejamkan mata. Rasa takut masih menyertaiku. Itu yang membuatku sulit lelap. Dan tatkala lelap baru sejenak, aku terjaga lantaran mendengar kepak sayap. Saat kelopak mataku terbuka, kulihat ia berdiri di dekat jendela.
"Siapa lagi yang bakal kau jemput? Apakah sudah saatnya giliranku?"
Ia bergeming. Lekat aku memandanginya. Masih samar bagai gumpalan kabut. Perlahan aku kembali diserang rasa takut. Berangsur menguat dan terus mencengkeramku. Kupanggil istriku. Aku mencari tangannya, kugenggam sembari berbisik, "Bangunlah sayang. Bacakan aku sebait sajak!"
Sayap itu mengepak. Terbang. Subuh berkumandang. Saat itu aku baru sadar tangan istriku terasa dingin. Begitu dingin. Ketakutanku kini benar-benar nyata, dan mulai ketemukan sebabnya. Lalu samar kudengar sisa suaranya semalam:
Di ujung musim
dinding batas bertumbangan
dan kematian makin akrab *)
keterangan:
*) penggalan sajak Subagio Sastrowardoyo
Y Agusta Akhir aktif di komunitas sastra Kawan Semua, Solo. Novel pertamanya Requiem Musim Gugur (Grasindo, 2013). Novelnya yang berjudul Kita Tak Pernah Tahu ke Manakah Burung-burung Itu Terbang pemenang ketiga sayembara novel Penerbit UNSA Press 2017
Redaksi menerima kiriman naskah cerpen, tema bebas, disesuaikan dengan karakter detikcom sebagai media massa umum yang dibaca semua kalangan. Panjang naskah sebaiknya tidak lebih dari 9.000 karakter, karya orisinal dan belum pernah diterbitkan di media lain. Kirim ke email mumu@detik.com
(mmu/mmu)