Perempuan itu berkunjung ke taman saban pagi karena tahu salah satu di antara ratusan teratai itu adalah aku. Ia akan berjalan begitu perlahan menyusuri setapak, duduk di salah satu bangku kayu, kemudian menerawang ke luas serta sunyi kolam. Semua ia lakukan berurutan, khusyuk tanpa terlewat sehari pun. Seperti sebuah ibadah. Yang menjadi pembeda, terkadang ia membawa segumpal rasa sedih yang biru di dadanya.
Lain hari, ia membawa sisa-sisa tangis atau aroma alkohol semalam. Di masa-masa terburuk, hanya penyesalan yang hadir di taman ini namun tidak dengan raganya. Tapi bagaimanapun juga, perempuan itu selalu berkunjung karena tahu salah satu di antara ratusan teratai itu adalah aku.
Mungkin ia mendapatkan pemahaman itu usai kontemplasi panjang di kamar apartemennya. Mungkin juga dari komunitas kecil berisi orang-orang senasib, terpicu melalui satu-dua diskusi yang menabahkan. Yang jelas, perempuan itu akan melakukan apa pun agar bisa mendapatkan sesuatu yang disebut sebagai pelajaran, hikmah, hidayah, atau apa pun sebutannya, dari sebuah peristiwa kehilangan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dan aku terlampau mengenalnya. Perempuan itu. Sebagaimana ia pernah-ini yang ia katakan terus-menerus-bekerja keras dan mengorbankan apa pun dalam hidupnya demi kebaikanku, kali ini ia juga berusaha mati-matian untuk mendapatkan kedamaian tanpa diriku. Sebab sudah cukup lama perempuan itu berlarut-larut dalam duka, juga melewati musim-musim penuh penyangkalan yang kemudian ia sadari tiada guna. Kini saatnya memunguti keping-keping hati yang terserak dan berdiri kembali sebagai manusia yang utuh. Sebagai ibuku.
"Bagaimana caranya agar semua ibu di dunia menyadari bahwa anaknya bunga teratai?" tanyanya.
Pagi ini ia tampak lebih tegar. Meski kesepian dalam pertanyaannya terang-terang mengharapkan teman.
"Buat mereka semua datang ke taman ini," jawabku.
Tentu saja aku tidak secara langsung menjawab, atau bercakap-cakap dengan perempuan itu. Aku tak bisa melakukannya lagi, meskipun sangat ingin.
"Kau benar. Mungkin aku bisa mengundang Jocellyn, Marta, Nyonya Dimar, dan yang lain untuk mengadakan pertemuan di sini kapan-kapan. Kita bisa piknik dan mengobrol tentang bunga teratai."
Semilir angin menjatuhkan helai-helai rambut di pipinya yang pasi. Aku mendengarnya. Ia mendengarku. Kami saling memahami dengan cara paling subtil.
"Tapi itu tidak cukup, Padma. Aku harus menyadarkan semua ibu di dunia."
***
Aku merasa lega ketika kami sampai pada titik yang sama: memahami bahwa tragedi ini bukan salah siapa-siapa. Bukan salah perempuan itu, yang dulu selalu menuntutku untuk menjadi seperti yang ia mau, juga bukan salahku yang akhirnya memilih menyayat sendiri nadiku. Sebab selama ini, kami sama-sama terluka. Sama-sama tak tahu cara meminta apa yang sebenarnya kami butuhkan dari sesama. Jika ada yang patut disalahkan, maka itu adalah pola relasi yang telanjur diturunkan sejak dulu, dari satu generasi ke generasi berikutnya seperti penyakit bawaan. Dan hidup memberikan pelajaran ini justru ketika kami berada di dunia yang berbeda. Melalui kematian.
"Kenapa ya, mereka pergi meninggalkan kita? Tak becuskah kita jadi ibu?" seseorang bernama Marta duduk di samping perempuan itu, dengan mata sembab yang turut memandangi luas serta sunyi kolam. Aku senang ia benar-benar mengajak temannya ke taman ini. Membagi ruang kesepiannya.
"Justru karena kita merasa becus," perempuan itu mengeluarkan kotak berisi kukis buatannya dan menawarkannya pada Marta, "Aku senang kau mau datang kemari. Kuharap yang lain bisa segera menyusul."
"Jocellyn sudah masuk kerja lagi. Semoga dia sudah benar-benar ikhlas, dan bukan menjadikan pekerjaannya sebagai pelarian. Ia baru kehilangan anak remajanya enam bulan lalu."
"Ya, semoga. Bagaimana dengan yang lain?"
"Kita tunggu saja. Fase menyembuhkan diri memang naik-turun. Aku sendiri masih punya jadwal konsultasi dan minum obat agar bisa tidur."
Kedua perempuan itu kembali menerawang jauh.
"Kau sendiri bagaimana?" tanya Marta. "Aku pikir kau jauh lebih baik dibanding yang lain. Apakah gara-gara taman ini?"
"Aku datang ke taman ini justru setelah menyadari semua."
"Menyadari apa?"
"Bahwa semua anak-anak adalah teratai."
Marta terdiam. Namun sepertinya ia mulai memahami kenapa perempuan di sebelahnya suka mengunjungi taman ini. Seekor prenjak hinggap di pagar pembatas yang mengelilingi kolam, bercuit-cuit sebentar, lalu terbang kembali menuju entah. Selama ini, yang kutahu pertemuan komunitas hanya dilakukan di salah satu rumah anggota yang bersedia. Pertemuan di ruang terbuka bukanlah ide yang buruk.
"Aku memberinya nama Padma. Tapi aku tak pernah memperlakukannya demikian. Kau tahu? Setiap anak sesungguhnya terlahir seperti bunga-bunga itu, dengan kelopak-kelopaknya yang menguncup. Semesta menugasi kita untuk membantunya terbuka satu per satu selagi ia dewasa, menemukan mutiara di dalamnya berupa cita-cita, tujuan, keinginan, dirinya sejati. Sesuatu yang bahkan sudah ditanamkan sebelum ia lahir ke bumi."
Marta mendengarkan. Barangkali teringat Jo, anaknya yang mengakhiri hidupnya setahun lalu. Kemudian aku teringat anak-anak lain sepertiku. Belakangan ini kasus depresi yang berujung bunuh diri meningkat seperti wabah tak kasat mata. Sesuatu dihela udara tiba-tiba membuat Marta tampak terkesiap.
"Aku memperlakukan Padma seperti segumpal tanah liat. Kubentuk-bentuk sedemikian rupa sampai jadi sesuatu yang kumau. Aku memberikan semuanya, merawatnya sejak bayi sampai dewasa, memberinya makan dan minum terbaik, melarangnya ini-itu, mendorongnya agar masuk sekolah dan universitas favorit supaya dapat pekerjaan bagus, supaya bergaji tinggi, dan lain sebagainya. Marta, aku takut banyak sekali ibu yang telah salah memperlakukan anaknya, namun tak disadari. Bagaimana jika aku melakukan semua hanya agar aku mendapatkan sesuatu kembali darinya?"
"Sesuatu apa?"
"Kepercayaan diri. Kebanggaan. Perasaan berguna. Semua yang tak pernah kudapatkan dari orangtua semasa aku kecil. Atau dari mantan suamiku sendiri," suara perempuan itu bergetar, seperti hendak menangis, tapi ia bergegas melanjutkan, "Dan aku membungkus rapi semua itu di hadapan Padma dengan kalimat aku mengorbankan segalanya demi kebaikanmu."
Di pangkuan perempuan itu, tergenggam sebuah buku sketsa kepunyaanku yang pernah kubuang ke tempat sampah. Dulu sekali. Diusapnya halaman demi halaman seperti mengusap ujung kepalaku penuh kasih, meski itu tak pernah ia lakukan semasa aku masih hidup.
"Padahal ia hanya ingin melukis."
Ada ekspresi tak nyaman di raut muka Marta. Kalimat demi kalimat yang keluar dari bibir wanita itu seakan memaksanya menimbang-nimbang. Apa yang diam-diam ia harapkan kembali dari Jo? Ia kemudian membagi kisahnya, tentang wajah kedua orangtuanya yang terngiang, berpuluh-puluh tahun yang lalu, bagaimana mereka begitu mendambakan seorang cucu. Ia juga teringat para tetangga yang bertanya-tanya apakah gerangan yang terjadi. Kenapa belum hamil? Yang mana yang bermasalah, Marta atau si suami?
Marta kemudian tersadar. Ia menginginkan seorang anak bukan karena anak itu sendiri, melainkan demi membuat orangtuanya senang dan sebagai pembuktian kepada orang-orang. Validasi. Itu yang ternyata ia inginkan. Lima belas tahun berlalu, Marta pun tak pernah tahu apa yang benar-benar diinginkan Jo. Ia tak mengenali anaknya, sebagaimana ia tak mengenali dirinya sendiri.
***
Pagi ini taman diselimuti kabut. Semacam kelembutan yang disisakan dari deras hujan semalam. Para perempuan itu berkunjung kemari karena tahu salah satu di antara ratusan teratai itu adalah anaknya. Mereka menggelar tikar di atas rerumputan teki, duduk melingkar, dan mulai menyajikan apa saja yang dibawa: teh jahe, kue-kue, sup, radio lawas, album-album foto. Pertemuan itu kemudian diisi dengan makan bersama dan gelak tawa. Dan yang terpenting, adalah bagaimana mereka juga menyusun rencana-rencana. Pelan namun penuh keteguhan, mereka berharap komunitas ini dapat kian berkembang dengan caranya sendiri.
Lalu mereka tampak seperti teratai-teratai, sama sepertiku dan anak-anak lain yang terlebih dahulu pergi, teratai yang kelopaknya juga belum sempat bermekaran namun bukan berarti tidak cantik.
Blitar, Maret 2021
Putri Brilliany lahir di Kediri, 11 Agustus 1994, berdomisili di Blitar dan aktif di komunitas Prosatujuh
(mmu/mmu)