Pergi. Apa yang kau tunggu?
Aku menunggunya di bawah pohon ketapang. Daun-daun ketapang itu kaku dan tidak cantik bentuknya, tapi mereka yang jatuh ke tanah berwarna-warni layaknya musim gugur: merah terang, kuning, dan cokelat kusam. Srek. Kuhancurkan timbunan daun dengan ujung sepatu. Mereka terus menimbulkan bunyi gemerisik. Aku sengaja tidak berhenti.
Suasana di sekitar sini sepi meski baru pukul delapan malam lewat sedikit. Daun-daun itu menemani dan membuat perhatianku teralihkan. Atap pohon ini membuatku terlihat seperti bayangan hitam tinggi di pinggir jalan. Sudah berapa lama aku menanti? Cepatlah datang, sebelum aku betul-betul sendirian.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Bareng?" tanyanya. Aku hafal wajah dan suara pemuda itu sebab dialah yang paling aktif selama pelatihan. Pakaian dan gaya rambutnya seperti tertinggal lima belas tahun dari masa kini. Motornya malah lebih lama lagi. Tapi bukan itu alasanku menolak tawarannya. Aku sudah meminta orang asing lainnya untuk menjemput. Lagi pula rumahku jauh dari sini. Dengan betah dia menemani, bercerita padaku bahwa dia pendatang baru dari pulau lain pergi kemari untuk mencari pekerjaan.
Huh, satu lagi pendatang. Satu lagi saingan. Satu lagi hilangnya peluang. Aku meringis sebab tak tahu mesti bereaksi apa saat bertemu orang yang berharap. Di sini tidak ada apa pun untukmu. Kalau aku tega dan sinis mungkin akan kuucapkan itu keras-keras. Sebab kota ini tidak memberikan apa pun untukku.
Coba lihat sekeliling. Betapa cantiknya kota ini! Begitu bersinar pada malam hari, membuat bintang di langit seakan pindah ke bumi. Begitu ramai pada siang hari, siap pamer diri pada pendatang dan penghuni. Kalau kau tiba dari udara, bandara pinggir laut akan menyambut. Bandara standar internasional, luas, dan tampilannya modern.
Sesekali akan kau jumpai pohon dan taman tiruan yang tersebar di berbagai sudut, dengan orang utan bergelantungan, burung enggang mendongak congkak, dan beruang madu duduk manis. Meski hanya patung, kehadiran mereka di sana menggambarkan kotaku: kami tidak melupakan hutan. Jadi tengoklah jendela pesawat saat hendak mendarat. Warna hijau tak hanya menghiasi pinggiran namun juga pusat kota.
Jika kau tiba dari laut, kau akan disambut dengan para pedagang asongan dan kaki lima yang berkerumun di luar pelabuhan. Tapi tenang, lingkungannya cenderung bersih dan rapi. Mungkin kau akan terkejut melihat betapa teraturnya kota ini. Masih ada jalan lebar untukmu lewati dan mengenalnya lebih dalam lagi.
Pergi sajalah. Apa, sih, yang ditunggu?
Aku sudah mengenal kota ini sejak dilahirkan. Udara lautnya yang pertama kuhirup. Kemurahan hati penduduknya yang membesarkanku. Mereka pula yang membuatku belajar mengenal kecewa dan ironi. Sayangnya kekecewaan itu telah berlangsung lama. Kota ini kaya dan punya segalanya. Tengok saja gedung-gedung perkantoran dan perhotelan bertingkat megah serta pusat perbelanjaannya. Namun yang diberikannya padaku justru penolakan demi penolakan. Apa yang kucari tidak kutemukan di sini.
Apa lagi yang kutunggu? Mestinya aku hijrah saja seperti pemuda yang kukenal di pelatihan. Tapi aku terlalu takut. Aku terbuai dengan kenyamanan familier yang ditawarkan kota ini. Aku kelewat mengenalnya sampai tidak bisa meninggalkannya.
"Sebenarnya apa yang kau cari?" tanyanya saat kami berdua bersama-sama menjadi seonggok bayangan ganda di bawah pohon ketapang, merobek-robek daun dari ruas karena iseng. Aku berpikir lama. Tentu saja aku ingin mencari banyak uang sebab itu ukuran kesuksesan dunia. Tapi jawaban itu bahkan terdengar tidak jujur bagiku.
"Jabatan tinggi? Pengakuan dari orang lain?" dia terus mendesak sampai serpihan daun membukit di depan sepatu kami. Aku ingin semuanya. Tapi yang paling penting, aku ingin melakukan suatu hal setiap hari dan itu bisa membuatku semakin menghargai diri sendiri. Aku ingin kota ini membantuku, menyediakannya untukku. Sialnya, hari ke hari aku justru semakin merasa payah dan keruh.
Hei, dengarkan! Itu adalah bunyi geraman mesin mobil dan motor serta langkah para pekerja. Kendaraan mereka berjubel di jalan pada pagi dan sore hari. Wajar saja kalau perjalananmu terhambat sementara. Kau harus mengalah pada karyawan perusahaan yang melintas di penyeberangan pejalan. Jangan naikkan motor dengan tak sabar ke trotoar, sebab beberapa pegawai bank yang bersepatu hak tinggi berjalan di atasnya.
Jangan pula kau rusak kebahagiaan pedagang sapu lidi keliling dengan menawar berlebihan. Mereka adalah orang-orang yang punya pekerjaan; orang-orang yang bernasib lebih mujur dibandingkan sebagian warga kota lainnya.
Pergi! Jangan menunggu lagi!
Hari terakhir pelatihan ditutup dengan sesi pengambilan gambar untuk dokumentasi penyelenggara dan pembagian sertifikat peserta. Hari lain, pelatihan lain dan sertifikat lain bagiku. Aku manut saja disuruh berpose seragam, geser ke kiri atau kanan, hadap lurus atau menyamping. Pemuda berambut ikal itu dengan riang menyuruh kami mengepalkan tangan kanan penuh tekad sambil tersenyum lebar. Dari belakang barisan bisa kulihat rahangnya yang rileks.
Beruntunglah dia, tinggal beberapa minggu di kota ini belum melunturkan antusiasmenya. Ingin aku berkata, percayalah, sertifikat di tangan kita ini hanya akan menjadi tumpukan dokumen berkategori penting lainnya. Dokumen yang kita jaga baik-baik sebab siapa tahu masa depan membutuhkannya sebagai pengiring lamaran kerja yang lain. Setiap aku melihat isi bundelan dokumen itu bertambah, aku malah semakin gelisah.
Kebahagiaan pemuda yang kini menjadi temanku itu membuatku bertanya untuk kesekian kali, kapan kiranya dia akan memutuskan untuk pergi dari sini dan berhenti jadi orang yang bergantung pada asa. Harapan saja takkan membuatmu bertahan di sini. Aku buktinya.
Tapi lagi-lagi dia memberikan jawaban yang sama, "Aku selalu yakin setiap orang punya tempatnya di dunia ini." Bedanya, kali ini dia menambahkan, "Begitu pun kau. Pergilah ke tempatmu semestinya berada. Berhentilah bersembunyi." Tak kusangka ucapannya itu juga bermakna sebagai pesan perpisahan.
"Pergi! Jangan menunggu lagi!" gumamku sedikit nyaring untuk memberi semangat. Kuucapkan empat kata tersebut berulang-ulang seiring tiap saat tumit sepatu menapak lantai agar aku segera bebas-bebas dari bayang-bayang kota ini dan dari diriku yang kemarin. Aku tidak akan mengharap sesuatu yang mungkin saja ada di tempat lain menungguku untuk diraih. Pilihan yang kumiliki tidak seperti jumlah warna daun ketapang gugur-cuma ada dua: tinggal atau pergi.
Kenyataannya masa depan tidak ada yang pasti. Lebih baik aku keluar dari sini walau akan benar-benar sendirian-seperti pemuda yang seminggu ini membuat hariku kurang membosankan. Selamat tinggal, Kawan. Semoga kota ini bisa memberikanmu apa yang tidak diberikannya padaku.
Ssst... Biarkan orang utan, burung enggang, dan beruang madu itu beristirahat. Hari sudah malam. Relakan mereka yang pergi menggeret koper dengan enggan sehingga bunyi gluduk roda pun bernada muram. Bagaimanapun perpisahan tidaklah mudah meski harapan sedikit meringankan lara. Sesampainya pesawat di daratan yang lain, lama kemudian baru kita tahu bisakah mencapai bahagia.
Elsa Malinda lahir di Balikpapan, 18 Maret 1994. Telah menerbitkan buku kumpulan cerita anak berjudul Pangeran Tikus (2017)
Redaksi menerima kiriman naskah cerpen, tema bebas, disesuaikan dengan karakter detikcom sebagai media massa umum yang dibaca semua kalangan. Panjang naskah sebaiknya tidak lebih dari 9.000 karakter, karya orisinal dan belum pernah diterbitkan di media lain. Kirim ke email mumu@detik.com
(mmu/mmu)