Adzan Magrib baru selesai berkumandang. Rumah Munintar masih ramai dikunjungi para tamu. Seorang bajing, Arsumo namanya, bersalaman dengan Munintar, erat sekali keduanya berjabat tangan. Arsumo tersenyum pongah, seolah mengatakan karena jasa dirinyalah Munintar bisa kembali duduk di kursi kepala desa untuk kedua kalinya.
Arsumo masyhur dengan nama bajingnya di kalangan masyarakat. Menatap para tamu pada laki-laki berkumis tebal dengan kulit hitam legam itu. Arsumo menyambut pandangan orang-orang itu dengan anggukan kepala. Terselip sebilah celurit di balik punggung Arsumo. Ia letakkan celurit takabbuwan di sampingnya, kemudian ia mengambil piring, menyendok nasi, menuangkan gulai sapi dan memakannya dengan lahap.
Orang-orang pulang, Arsumo masih berdiam di rumah Munintar. Ia ingin bicara berdua dengan Munintar. Mendekatlah Munintar, menepuk-nepuk paha Arsumo. Berkali-kali Arsumo membolak-balikkan celuritnya. Munintar bereaksi datar. Arsumo membunyikan batuk dengan sengaja.
Munintar sudah tahu isyarat batuk yang dibunyikan Arsumo, bajing yang paling disegani di antara para bajing lainnya di desa Campoan. Munintar masuk ke dalam, mengambil uang di dalam lemarinya, memasukkan ke dalam amplop. Keluar dari kamarnya, tangan Munintar langsung menyulurkan amplop tersebut kepada Arsumo.
"Jangan sampai desa ini kemalingan. Lehermu taruhannya," Munintar tegas berkata.
"Apa pernah desa ini kemalingan?" Arsumo malah balik tanya. Munintar menggeleng.
Arsumo melanjutkan perkataanya, "Selama keamanan desa kau pasrahkan pada saya. Tak akan ada sapi wargamu yang hilang. Saya jamin."
Arsumo membuka amplopnya, menghitung uang, menakar-nakar apakah uang itu cukup dibagikan pada anak buahnya. Sesekali Arsumo menatap wajah Munintar yang sedang mengisap sebatang rokok. Munintar mengangkat alisnya, bertanya.
"Kalau sekarang saya tidak bisa jamin semua dusun di desa Campoan aman dari pencuri." Perkataan Arsumo mengejutkan Munintar.
"Apa maksudmu?" Munintar menekan suaranya. Arsumo memperlihatkan uang yang baru saja dihitungnya. Munintar menggelengkan kepalanya, masuk ke dalam lagi, mengambil uang. Munintar mengumpat dalam hati, "Bangsat!"
"Desa ini pasti aman. Tak akan ada maling yang berani masuk ke Campoan. Mendengar nama saya saja mereka gemetar." Arsumo mengatakan ini setelah ia menerima uang tambahan dari Munintar. Ia pamit. Celuritnya diselipkan di balik punggung. Keresak sandal Arsumo kasar terdengar, kakinya berjalan tergesa.
Sesaat kemudian, Munintar masuk menemui istrinya yang baru saja selesai salat Isya. Munintar memegang kepalanya. Pusing ia rasakan setelah seharian tak semenit pun bisa istirahat. Istrinya membuka mukena, meletakkan di atas gantungan. Ia ambilkan segelas air untuk suaminya.
"Saya bingung mengatasi orang macam Arsumo," tiba-tiba Munintar mengeluh.
Istrinya seketika berkata, "Saya bilang apa, orang bajing seperti dia tak perlu dituruti semua kemauannya. Dikit-dikit minta uang." Jengkel melingkar di wajah istri Munintar.
"Jika tidak begitu, khawatir sapi warga banyak hilang. Coba kau lihat desa lainnya, mereka kecolongan, hampir setiap malam ada sapi yang hilang, itu karena kepala desanya tak mau kerja sama dengan bajingnya." Munintar menghela napas panjang.
Munintar bicara lagi, "Jika ada desa yang warganya kemalingan, itu sama saja menurunkan wibawa dan martabat seorang kepala desa. Orang-orang pasti bicara, kepala desanya itu lemah. Saya tak mau itu terjadi dengan saya."
"Misal pun ada warga kita kemalingan, selagi kita kerja sama dengan bajing pastilah ketemu sapi itu."
Munintar tidak bicara apa-apa lagi. Ia rebahkan tubuhnya, terpejam matanya. Tak lama kemudian, sekitar dua puluh menit istrinya membangunkan Munintar untuk salat Isya. Munintar bangun, menguap mulutnya, menguak matanya, dikucek tiga kali. Bergegas ia ke kamar mandi, mengambil wudhu dan langsung mengerjakan salat Isya.
***
Tallib membakar amarah, menyerapahi Munintar yang sudah dua kali mengalahkannya dalam pemilihan kepala desa. Munintar, satu-satunya lawan yang membuat Tallib teramat sakit menanggung malu lantaran kekalahannya kini mencapai sembilan puluh persen. Istri Tallib duduk di sampingnya, sabar ia berusaha memadamkan bara api dalam dada suaminya.
"Munintar akan merasakan akibatnya," Tallib bicara, geram terdengar oleh istrinya. Perempuan itu belum mengerti maksud dari perkataan suaminya.
Tallib berdiri. Meregang tubuh. Pandangan matanya mengitari halaman. Ia mengangguk bahagia setelah Durahem, lelaki berusia tiga puluh lima tahunan, yang tak lain keponakannya sendiri memasuki halaman rumah Tallib. Durahem mencium tangan Tallib. Istri Tallib masuk ke dalam, membuatkan kopi hitam kesukaan Durahem.
"Apa rencana Paman?" Durahem memulai perbincangan. Tallib berpikir sejenak.
"Malam ini kau harus bisa curi satu atau dua sapi warga, itu saja. Gampang kan?"
"Untuk apa? Saya tak berani. Ada Arsumo yang memegang keamanan desa Campoan ini. Celaka aku kalau sampai nekat."
"Kau takut sama Arsumo, apa tak mau bantu pamanmu ini, hah?" Tallib menepuk-nepuk dadanya, menunjukkan kepada Durahem, betapa ia teramat sakit hatinya dikalahkan Munintar.
Istri Tallib datang dari dapur, membawa dua cangkir kopi. Ia ikut duduk di kursi, tak jauh dari mereka. Durahem tak punya pilihan, demi sang paman akhirnya ia mengangguk, menuruti perintah Tallib.
Istri Tallib hanya mengelus dada, tak dapat berbuat apa-apa selain berdoa, semoga Tallib sanggup menerima suratan takdir yang telah digariskan padanya.
Keesokan harinya, terkejut orang-orang dengan hilangnya sapi milik Saprawi. Semalam sekitar jam sembilan, ia masih mendengar suara sapinya dari dalam kandang. Kini Saprawi hanya bisa menahan sesak dalam dadanya, sebab itu satu-satunya sapi yang akan ia sembelih dua puluh lima hari lagi untuk seribu tahun almarhum orangtuanya.
Mengadu Saprawi kepada Munintar. Garis bergelombang di kening kepala desa Campoan itu. Jantungnya hampir lepas dari tangkainya. Tak pernah ia menyangka kecolongan seperti ini. Munintar memanggil Arsumo ke rumahnya. Bajing itu datang tepat waktu, celurit menyembul dari balik bajunya.
Saprawi duduk terdiam di dekat Munintar.
"Siapa yang mencuri?" Munintar langsung bertanya, tanpa perlu ia beritahu kalau Saprawi baru kehilangan sapi semalam.
"Saya pastikan nanti sore sapi itu sudah kembali." Arsumo meyakinkan, meski ia belum tahu siapa yang berani menantangnya dengan mencuri di desa yang ia jaga keamanannya.
Saprawi pamit pulang, lima menit kemudian Arsumo juga berpamitan pada Munintar. Jika sampai Arsumo tak dapat membuktikan ucapannya barusan, maka dapat dipastikan wibawanya sebagai bajing tak akan berguna lagi di mata Munintar. Selain itu, martabat Munintar sebagai kepala desa Campoan ikut dipertaruhkan.
Orang-orang kampung menelusuri kemana arah jejak sapi itu dibawa. Melewati lembah, semak belukar, semua orang bersama-sama membantu mencari sapi milik Saprawi. Adzan dzuhur berkumandang ketika mereka menyudahi pencarian. Di hari sesiang ini, mereka belum melihat tanda-tanda di mana sapi itu berada. Mereka kehilangan jejak, lelah mendera, keringat membasuh tubuh mereka.
Saprawi menyiapkan makanan bagi mereka yang ikut mencari keberadaan sapinya. Semua orang balik ke rumah Saprawi dengan hampa. Sia-sia pencarian dilakukan. Mereka makan nasi jagung, ikan tongkol, sambel terasi, kuah daun kelor buatan istri Saprawi. Mereka coba menabahkan hati Saprawi, semoga diganti rezeki lain, begitulah ucapan semua orang.
***
"Di mana sapi itu kau sembunyikan?" Arsumo muncul tiba-tiba di rumah Durahem. Kaget bukan kepalang Durahem mendapati Arsumo, dan langsung ditodong pertanyaan yang membuat debar jantungnya berhenti sebentar. Durahem baru keluar dari dalam kandang, memberi pakan sapi ternaknya sendiri.
"Saya tidak tahu apa-apa. Saya bukan bajing, saya bukan maling. Kok malah tanya pada saya."
Arsumo mengalungkan celurit di leher Durahem, mendesak ponakan Tallib itu mengakui perbuatannya semalam. Bila dipikir-pikir, Durahem bias dibilang cukup sakti juga karena ia sanggup membuat sapi milik Saprawi luluh, padahal sapi itu akan berontak kalau bukan pada pemiliknya. Mantra pangserep yang digunakan Durahem terbilang ampuh sampai Saprawi, si pemilik sapi juga ikut tersirap.
Terpaksa Durahem mengaku, dikatakan kepada Arsumo, jika apa yang dilakukannya semata-mata demi sang paman. Keringat mengalir dari leher Durahem. Celurit Arsumo lepas dari lehernya. Durahem tahu betul watak Arsumo, karena itulah ia tak ingin mati sia-sia di tangan bajing nomor satu di desa Campoan.
Matahari hampir tenggelam ketika Arsumo membawa langkahnya ke rumah Tallib. Tiba di sana, berteriak Arsumo dari luar. Tallib keluar, mengenakan sarung, bertelanjang dada, berusaha tenang ia menghadapi Arsumo.
"Di mana sapi itu kau sembunyikan?"
"Saya bukan maling. Kenapa bertanya pada saya. Kau bajing, mestinya kau yang lebih tahu."
"Karena saya tahu sapi itu ada di sini. Makanya saya datang ke sini."
"Jangan sembarang menuduh."
"Pantang bagi bajing seperti saya menuduh tanpa ada bukti."
"Apa buktinya?"
Secepat kilat, gerakan tangan Arsumo sudah mengalungkan celurit di leher Tallib. Istri Tallib yang melihat adegan mengerikan itu langsung berteriak histeris dari bibir pintu.
"Kau mau mati di tangan saya atau mati di tangan penduduk?"
Durahem muncul dari balik pohon siwalan di depan rumah Tallib. Saat itu juga Tallib mohon ampun pada Arsumo. Tallib merasakan tubuhnya gemetar, napasnya terputus-putus. Dan tiba-tiba seekor sapi berlari kencang dari dalam rumah Tallib, menabrak istrinya hingga tersungkur ke lantai.
Pulau Garam, April 2020
Zainul Muttaqin lahir di Batang-Batang, Sumenep, 18 November 1991 dan kini tinggal di Pamekasan, Madura. Buku kumpulan cerpennya yang telah terbit berjudul Celurit Hujan Panas (Gramedia Pustaka Utama, 2019)
Redaksi menerima kiriman naskah cerpen, tema bebas, disesuaikan dengan karakter detikcom sebagai media massa umum yang dibaca semua kalangan. Panjang naskah sebaiknya tidak lebih dari 9.000 karakter, karya orisinal dan belum pernah diterbitkan di media lain. Kirim ke email mumu@detik.com
(mmu/mmu)