Matahari mulai meninggi, bertengger di deretan atap perkampungan padat Kampung Randu. Ajok sedang duduk di depan rumah kontrakan yang dijadikannya bengkel pembuatan sofa. Teduh pohon jambu di halaman yang tumbuh sedikit condong dihiasi putik-putik bunga berkelopak putih, menaungi perbincangannya bersama seseorang. Abel, sepupu jauh yang pernah menjadi keluarga dekatnya ketika pertama kali menginjakkan kaki di kota ini, tak jarang mengunjunginya di akhir pekan.
Angin berkesiur menggoyang rumpun bambu di sepanjang bantaran Kali Anyar, melewati pintu dan jendela belakang yang terbuka, meniup bara api di ujung lintingan tembakau yang kini tinggal separuh di jepitan kedua jarinya. Aroma limbah pabrik bercampur bau dari kandang babi menguar bersamaan, ketika ia rasakan setiap hela dan isapan napas sembari duduk bersandar di kursi roda dengan ban geripis dan rangka besi yang terlihat kusam.
Kini, di benaknya sedang berkelindan pertanyaan, semacam hal apa yang lebih mengenaskan dari kesempatan hidup yang disia-siakan? Ah, bukan itu saja, mungkin juga tentang bagaimana cara terbaik menyudahi keputusasaan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Banyaklah bertobat, Jok!" Abel mengawali kalimatnya.
"Haha iya, tak terasa ya, Bel," ia balas dengan segaris getir.
Ingatannya berkelana mengenang perihal hari ini, tanggal dan bulan yang sama ketika dua tahun lalu kemalangan menimpa. Ia teringat saat itu tubuhnya tergeletak di pinggir jalan sebuah tikungan sepi berpasir, bersama sepeda motor keluaran terbaru yang masih hangat mesinnya. Hampir tak tampak cedera berarti selain beberapa lecet di muka dan sebagian tubuh yang tertimpa, diam tanpa gerak dan suara.
Beberapa kali bus malam melintas dengan kecepatan tinggi, membelah kabut dan sepinya dini hari, seolah terburu mendahului pagi yang tinggal beberapa jam lagi.
Belum hilang dari ingatan, saat itu seluruh tubuhnya terasa kebas, membuatnya tak berdaya mengangkat kepala apalagi berdiri. Sedikit pasrah dia merintih minta tolong, berharap seseorang mengetahui keberadaannya. Gonggongan anjing terdengar keras di telinga, saat matanya kembali terpejam, merayapi batas antara mimpi dan kenyataan.
Kejadian itu seperti memaksa ia menerima sisa hidup yang lain daripada sebelumnya. Jangankan merakit papan kayu, memotong busa atau menjahit kain sofa, sedangkan untuk urusan kakus saja ia butuh pertolongan orang lain, atau terpaksa ia lakukan sendiri tanpa peduli hasilnya.
Tetapi semenjak merasa cukup dengan tangan kiri yang bisa mencengkeram geretan, tak ada alasan baginya menahan kemauan istrinya bercerai, harapan terakhir yang ia punya. Untuk selanjutnya, ia sekadar bertahan dengan kursi roda dan sesekali menahan ketegangan di celana, selain melanjutkan usahanya semula bersama tiga pengrajin sofa yang tersisa. Ia beruntung memiliki tetangga yang ringan tangan.
Beberapa dari mereka bergantian mengiriminya makanan dan juga mencarikan orang yang mau dibayar untuk mengurusi kebutuhan belakang. Sejak kenyataan itu, ia merasakan waktu berjalan merangkak hingga tak sedikit keresahan yang tertanam lalu mengendap di kepala.
Kembali ke percakapannya dengan Abel. Orang lain mungkin mengira mereka sedang berbincang akrab, terlebih orang kampung sudah tak asing lagi dengan keberadaan sepupunya itu. Sedangkan sesungguhnya dari sorot mata yang terhunus tajam, sepertinya Ajok mulai sebal dengan cecar kata-kata yang tumpah dari mulut lawan bicaranya sekarang.
Mungkin ia sedang merasakan betapa lebih membahagiakan berbincang dengan seorang pemulung dekil yang kerap menyambangi bengkel sofanya daripada harus meladeni sarjana putus asa yang tak jelas kerjaannya. Setidaknya untuk saat-saat sekarang, di mana merdunya suara burung perkutut tak seberarti kokok ayam jantan, untuk mengawali pagi di mana matahari tiba-tiba terasa menyengat hingga menembus tulang.
Atau sejatinya ia hanya berpikir tentang kursi roda yang telah menjadi saksi bahwa hidup hanya perlu dijaga agar terus menggelinding sampai di tujuan.
"Tak usah muluk-muluk, Jok," sambung Abel serta-merta, "Kamu hanya perlu bikin sofa yang kelihatan bagus luarnya saja, bikin sebanyak mungkin," masih ia tambahi dengan, "Pasti pasar bakal melirikmu dan kelak uang datang sebelum kamu mulai berpikir bagaimana mengejarnya."
Mendengar rangkaian kalimat itu, ia ingin rasanya mengambil nail gun lalu selekasnya menarik pelatuk untuk melesakkan sebutir saja paku tembak --apalagi yang ujungnya sedikit berkarat-- ke leher lelaki perlente yang kepalanya dipenuhi hasrat melacur itu. Ia hanya berharap supaya kalimat-kalimat selanjutnya tersangkut di pangkal tenggorokan, menumpuk hingga membuatnya tersedak lalu mati tertimbun kata-katanya sendiri.
Tetapi, sesuatu di kepalanya berkata lain; tak ada hebatnya membunuh seseorang hanya karena alasan sepele seperti itu. Harus ada sebab yang lebih celaka dibandingkan luka akibat tersayat kata-kata, semacam meniduri istri saudara sendiri atau merampas hak orang lain dengan cara-cara nista. Meskipun apa yang dikatakan Abel sesungguhnya telah merebut harta miliknya yang tersisa, ketenangan.
Sejenak kemudian ia jentikkan telunjuk kanan, membuang abu rokok yang menggantung, mencoba mengalihkan sedikit perhatian atas hal-hal memuakkan di penglihatannya. Beberapa detik saja, tak sebanyak alasannya terpaksa mengindahkan perjumpaan dengan Abel yang seringkali datang tanpa kepastian tujuan.
"Kerjaanmu sendiri gimana, Bel?" untuk kali ini ia berhasil menunda sesuatu lebih keruh.
"Semalam baru kukirim proposal ke funding," jawab Abel cepat, "Angka-angka kemiskinan dan pengangguran selalu menarik buat mereka," timpalnya sembari membetulkan ujung lengan bajunya.
"Masih sibuk ngurusi gelandangan?"
"Oh ya, tentu. Tapi untuk proyek, sepertinya lebih empuk di desa-desa. Banyak yang mau diajak main," tukasnya.
Tak mungkir, selain muak dengan jawaban Abel, sebetulnya Ajok merasa masih punya utang budi pada keluarganya. Andai saja bukan karena ayah Abel, yang juga pamannya sendiri, mungkin ia sudah jadi santapan preman-preman terminal, hatinya pun tak selunak sekarang. Ia jadi teringat teringat bagaimana setahun lalu pamannya itu meninggal, selang sepekan sejak istrinya memberesi barang-barang, sedangkan ia hanya tergeletak di ranjang.
Ajok masih mengingat dengan jelas pula bagaimana kursi roda ini ia dapatkan dari Abel. Bahkan sepekan sebelumnya ia telah mendengar rencana sepupunya itu mengantarkan benda ini, mendahului kabar pamannya meninggal.
Kepada Abel, Ajok terpaksa mengulang kembali ceritanya bahwa sebagai keponakan, ia merasakan kegetiran yang menurutnya tak mungkin dirasakan anak-anak pamannya, apalagi Abel. Ia mengaku bahwa pamannya punya harapan besar padanya, namun ia sendiri merasa tak mau selamanya bergantung. Bahkan sebelum kakinya meninggalkan rumah, kala itu ia sempatkan berpesan kepada Abel dan adik sepupu lainnya, "Penuhilah kepala kita dengan mimpi, sebelum orang lain mengisinya."
Sedangkan yang terjadi pada hari kepergian pamannya, ia hanya bisa menatap langit-langit kamar, menerka hal-hal lain terkait rencana Abel memberinya kursi roda, serta menghitung kemungkinan-kemungkinan atas dirinya sendiri. Ia tak akan menyesal meratapi kenyataan hari itu tak dapat memberi penghormatan terakhir kepada jasad pamannya, andaikata Abel tak menghubunginya lewat panggilan video di pemakaman.
"Makasih ya, Bel."
"Untuk apa?"
"Entahlah, tapi ada."
"Kursi roda ini? Sudahlah, justru kupikir ayahku telah bahagia di sana daripada tersiksa di kursi roda."
"Iya, memang."
Dalam hati, Ajok membenarkan perkataan Abel. Kelak ia memang akan menyusul pamannya tanpa perlu membawa kursi roda.
Perbincangan itu berakhir saat matahari tepat di atas kepala. Ketika anak buah Ajok pulang dengan bak mobil kosong, selesai mengantar pesanan. Mereka gegas menyiapkan area kerja dan peralatan. Suara kompresor menyala pertanda aktivitas bengkel sofa sebentar lagi berjalan.
Selepas kepulangan Abel, Ajok menjalankan kursi roda ke dalam bengkel seperti biasa, memastikan bahan dan segenap perlengkapan produksi tersedia. Atau sekadar memeriksa hasil pekerjaan yang belum selesai untuk mengarahkan perbaikan seperlunya. Karet ban, mata paku, lem kuning, busa, dan setumpuk lipatan kain pelapis, masih mencukupi untuk beberapa pesanan.
Ia teringat bagaimana satu per satu toko pelanggan mempercayai hasil pekerjaannya selama ini. Berkat kepercayaan itu pula ia masih bisa menjalankan usaha ini. Meski tak bisa lagi melakukan sendiri, ia cukup bersyukur bisa mempekerjakan ketiga anak buah yang masih terhitung tetangga.
Satu per satu mereka minta izin makan siang, memberinya kesempatan menyadari kesendirian. Ia pelan-pelan mencoba lagi kekuatan jemarinya menarik pelatuk nail gun, sembari memupuk harapan datangnya saat sebelum terburu ajal.
Ian Hasan lahir di Ponorogo, bergiat di Sanggar Pamongan Karanganyar
Redaksi menerima kiriman naskah cerpen, tema bebas, disesuaikan dengan karakter detikcom sebagai media massa umum yang dibaca semua kalangan. Panjang naskah sebaiknya tidak lebih dari 9.000 karakter, karya orisinal dan belum pernah diterbitkan di media lain. Kirim ke email mumu@detik.com
(mmu/mmu)