Pukul dua belas malam. Kepalaku adalah benang kusut yang harus kuluruskan.
Kini, usiaku dua puluh tahun. Kurayakan pergantian hari dengan melihat dunia dari titik paling sunyi. Kumatikan gawai, kututup mata dengan kain gelap, bersila, dan membiarkan tubuh sampai terasa melayang hingga bertemu sakralnya: ketika aku berpikir tentang apa yang telah kulakukan setahun mundur, dan apa-apa yang hendak mengisi setahun ke depan.
Barangkali, dunia adalah dering telepon yang tak berhenti berbunyi. Dari pagi hingga malam, semuanya penuh dengan panggilan. Berbagai macam panggilan, seperti panggilan untuk menghamba atau menjemput rezeki, juga, panggilan dari ibu lewat dering gawaiku siang tadi.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Sehat, Nak?" kata ibu dari tempat lain di kota lain.
"Sehat sekali, Bu," kataku, selanjutnya menanyakan kabar balik.
"Ibu juga sehat, Nak. Besok Ibu ke rumah ya? Ingin merayakan ulang tahunmu."
"Benarkah Ibu mau ke sini? Tumben sekali, Bu. Tak masalah kalau pun ulang tahunku tak dirayakan." Mendengarnya, sontak aku berdiri dari kasur. Posisiku langsung duduk. Mata yang tadinya sayu tiba-tiba segar. Aku meyakinkan diri, ini bukan mimpi. Aku masih berada di rumahku. Kupandangi sawang di atas lemari, menempel pada langit kamar. Ya, masih berbentuk sama seperti kali terakhir aku melihatnya sebelum tertidur.
"Iya, Nak. Besok pagi dari sini. Naik bus pukul delapan. Tolong rapikan rumah ya!" pesan Ibu. Nadanya masih sama seperti dulu. Tidak membentak, namun terasa mendikte.
"Siap, Bu," balasku. Aku bangkit dari kasur. Melihat segala yang perlu dirapikan: cucian piring, noda di lantai, puntung rokok yang terbang dari asbak setelah tak sengaja kutendang dan malas kusapu, baju-baju kotor, dan sampah dapur yang tak kunjung dibuang. Ibu tentu marah jika melihat rumah dalam keadaan seperti ini. Mungkin omelannya akan merentet seperti kereta dan tak memberiku kesempatan berbicara sedetik pun.
Dulu, saat kami masih memiliki satu ruang untuk melihat gerak-gerik satu sama lain, ia sering marah karena alasan itu.
Ibu tidak bisa melihat noda barang setitik. Jika saja ada cipratan bekas makanku yang mengotori lantai, buru-buru ia menyuruhku mengambil kain lap dan memberesi itu semua. Jika tidak, panjanglah ceramah Ibu.
Namun, keherananku muncul pada saat kita menghuni ruang yang berbeda, aku tidak lagi serajin dulu. Kewajiban mengelap lantai selesai makan kurasa sudah copot dari diriku, kendati tak ada lagi orang lain yang tinggal di rumah ini.
Aku tidak menyesal meski pada akhirnya rumah ini terkesan bukan rumah: sampah di kolong tempat tidur yang tak kunjung kusapu, bungkus camilan yang menumpuk di kasur, sarung bantal yang butek dan terlepas, kipas yang tak ada lagi angin karena berdebu, serta kabel listrik yang semrawut tak kuberesi.
Aku tak menyesal sebab ayahku juga serupa. Mungkin ini turunan, pikirku. Ketimbang melempar ke mesin cuci, aku sering melihat Ayah menggantung pakaian bekas pakaiannya di gantungan belakang pintu yang kini juga tergantung baju-baju kotorku. Di meja kecil di halaman tempat dulu aku mengganggunya membaca koran, sering kutemui noda kopi yang berbentuk cangkir, tak pula dibersihkan.
"Besok juga sekalian kita mampir ke makam Ayah. Sudah lama tidak dibersihkan, kan?" tanya Ibu menceraikan lamunanku. Aku menghitung dengan jari. Ah, bahkan kesibukan dunia telah merampas waktuku untuk menjenguk Ayah. Aku terdiam untuk beberapa saat.
"Nak? Kenapa?" suara Ibu datang lagi.
"Oh, iya tak apa, Bu. Iya, aku sudah lama tidak berziarah ke makam Ayah," jawabku. Lalu kuberanikan diri melanjutkan, "Bapak ikut, Bu?"
"Pasti ikut, kebetulan dia libur besok. Jadi, bisa sekalian pulang ke rumah sana. Apa itu mengganggumu, Nak?"
Aku hanya tersenyum. Tak apa. Tak masalah.
Aku berjalan meninggalkan kamar dengan gawai masih menempel di telinga. Aku teringat adikku. "Si Eneng sudah terima rapor, Bu?"
"Sudah, nilainya juga bagus. Pasti nanti di sana dia bakal minta hadiah ke kamu, Nak."
"Ha ha ha, berapa pun nilainya, kalau dia pulang juga akan kukasih hadiah, Bu." Tanpa sadar, aku berjalan ke ruang tamu. Tempat figura kami terpajang di dinding di atas sofa. Aku ingat, foto itu diambil ketika usiaku sepuluh. Eneng baru lahir. Diambil di studio foto kenalan Ayah yang jaraknya hanya sepuluh menit dari rumah.
Figura itu berdebu. Kusingkap dengan jari, dan kini noda hitam memenuhi telapak tangan. Ketidaksadaranku menggiringku melangkah ke tempat lain. Kini, ke ruang kecil yang ada di sebelah kamarku.
"Mau ngobrol sama Eneng?" tanya Ibu.
"Iya," jawabku. Terdengar suara Eneng menyambut telepon. Di saat yang bersamaan, aku telah sampai di depan pintu kamar yang tertutup. Di pintunya tertempel kertas dengan tulisan cakar ayam: Cita-cita Eneng menjadi dokter.
"Eneng dapat ranking?" tanyaku lagi.
Dia hanya menyuruhku untuk melihat langsung di rapornya nanti. Kalau sudah begini, nilainya pasti bagus. Sebab ia berani menampilkan hasilnya ke hadapanku. Biasanya, kalau nilainya jelek, dia hanya menyembunyikannya di balik tumpukan bajunya.
"Ada pelajaran yang susah, Neng?" tanyaku. Tanganku pun sambil membuka pintu kamar itu. Baju yang belum kusetrika bertumpuk di kasur tempat Eneng dulu sering ditimang Ayah-Ibu. Jika lagu tidur sudah mengalun, maka tak perlu menghitung sampai lima menit, Eneng akan pulas.
"Matematika," jawabnya. Itu adalah jawaban yang diulang-ulang.
"Ah, matematika mah, gampang!" aku meledek. Dia pun protes. Aku tertawa. Batinku, rindu akan anak ini. Terakhir kali ia menghubungiku untuk menanyakan tugas matematika. Tentunya kuberi bercandaan yang serupa, sebelum kuberitahu cara yang seharusnya.
Langkahku berjalan lagi ke ruang rumah yang lain: Di depan pintu kamarku, ada pintu lagi yang tertutup. Dulu, dari dalam ruang itu, Ayah atau Ibu sering muncul ketika Eneng menangis; ketika aku berteriak minta tolong dibantu mengerjakan PR. Tapi kini, pintu itu kubiarkan tertutup. Sebab jika terbuka pun, hanya kenangan menyerupai Ayah-Ibu yang keluar dari sana.
Selesai berbincang dengan Eneng, telepon siang itu ditutup.
Perayaan malam ini pun usai. Mataku terbuka perlahan. Pukul satu dini hari. Tadi adalah bentuk di mana aku harus menjumpai diriku yang baru. Semacam penyambutan yang tak akan dimengerti oleh siapa pun. Namun, hanya satu hal yang bisa dipahami: Aku tidak lagi butuh perayaan apa-apa setelah melaksanakan keheningan tadi.
Kunyalakan kembali gawaiku. Aku kembali menyambut dunia luar. Lima belas pesan masuk tentang selamat ulang tahun dari teman-temanku. Dua panggilan tak terjawab dari kekasihku. Segera kutekan tombol telepon di nomor kekasih. Ia pasti marah dan aku harus segera mencari alasan.
"Besok mau jalan-jalan?" kata kekasihku. "Nanti aku yang bayarin."
"Tidak usah, besok Ibu mau ke rumah. Kau datang ke sini ya? Sekalian mau ziarah makam."
"Wah, tumben," kata kekasihku. "Si Eneng ikut?"
"Semua," balasku.
Esoknya, pukul dua siang mereka tiba di rumah. Aku sudah menunggu dengan kekasihku. Eneng membawa kue di tangannya. Aku menyalami Ibu dan Bapak. Kemudian kami berbincang cukup lama. Menanyakan segala hal: Bagaimana aku makan, apakah masih mencuci sendiri, dan masih seringkah aku begadang.
Aku membalasnya dengan jawaban terbaik yang kubisa: Perihal makan, aku suka masak sendiri. Mengingat-ingat bagaimana ibu mengiris bawang atau mengolah bumbu. Ya, walaupun pasti tidak sebaik masakannya. Sedangkan tentang aku mencuci dan begadang, aku hanya menganggukkan kepala.
Selesai perbincangan itu, kami menuju makam Ayah.
Aku merasa paling berdosa sesampainya di makam Ayah, karena sudah selutut ilalang di sana. Langsung saja kucabuti sampai permukaan tanahnya terlihat. Setelah cukup rapi, kami baru menabur bunga.
Ibu yang menabur bunga paling awal. Sekaligus berdoa dengan masing-masing cinta. Kuperhatikan setiap irisan pandan yang jatuh. Wanginya menguar dan mengingatkanku pada bubur kacang hijau yang diaduk ibu, pada hari yang jauh di belakang. Kembang berjatuhan. Mawar, melati, dan wijayakusuma, dan kembang lainnya yang dulu pernah dirawat Ayah di depan rumah. Kuingat saat itu Ayah membeli tiga pot bunga. Dirawatnya sampai berbunga. Setelah berbunga, ia tak lagi merawatnya. Ia jatuh sakit, hingga menemukan rumahnya yang terakhir.
Ayahlah yang memulai kami untuk menemukan rumah yang baru. Sehingga satu per satu dari kami menemukan rumah sendiri: Ia yang menetap di sini, Ibu dan adik yang menemukan ruang baru bersama Bapak, dan aku yang bertahan di ruang tempat dulu kami pernah berkumpul.
Sejak itulah, rumah bagiku menjadi tak sama lagi. Aku telah lama jadi penghuni waktu, sementara rumah telah menjelma menjadi sekadar ruang transit*. Kujumpai banyak rumah yang berbeda-beda. Rumah untuk kembali melihat Ibu dan Eneng. Rumah untuk bercerita dengan Ayah. Dan rumah untuk memikirkan kembali apa itu rumah --yang membuatku ingin di rumah saja, menyatukan kembali perasaan yang terpencar-pencar.
Seperti saat ini.
Tangerang, April 2020
Sakti Ramadhan penata-letak bebas, aktif di komunitas menulis Prosatujuh
Keterangan:
*) kutipan dalam buku Arsitektur yang Lain, Avianti Armand
Redaksi menerima kiriman naskah cerpen, tema bebas, disesuaikan dengan karakter detikcom sebagai media massa umum yang dibaca semua kalangan. Panjang naskah sebaiknya tidak lebih dari 9.000 karakter, karya orisinal dan belum pernah diterbitkan di media lain. Kirim ke email mumu@detik.com
(mmu/mmu)