Mata Damba

Cerita Pendek

Mata Damba

Beri Hanna - detikHot
Minggu, 16 Agu 2020 11:05 WIB
ilustrasi cerpen
Ilustrasi: Edi Wahyono/detikcom
Jakarta -

Mus Aleondro satu-satunya anak bapa yang sekolah di Jawa. Dia pintar, selalu dapat prestasi. Kami tahu semua itu dari surat tulisan tangannya selama ini yang ditujukan kepada bapa, kemudian diceritakan bapa dari mulut ke mulut sampai rumah ke rumah. Pokoknya, Mus Aleondro hebat di Jawa. Bapa bangga. Kami pun bangga, serta seisi laut juga bangga, kami dapat merasakannya.

Hari ini musim melaut. Banyak paus mondar-mandir di Luat Sawu. Hasrat menikam sangat besar karena sudah beberapa bulan ini kami hanya menangkap ikan kecil-kecil yang tentu saja tak cukup untuk semua perut orang tanah kampung Lamalera. Sebelum kami berangkat melaut, restu orang tanah kampung serta para bini telah melayang-layang ke udara dan sampai ke tuhan. Tapi, bapa bilang Mus Aleondro akan pulang hari ini.

Hati kami terbelah dua, antara memburu paus atau menjemput anak tanah kampung yang sudah berhasil sekolah di Jawa. Karena kami merasa Mus Aleondro adalah orang yang perlu dibanggakan di tanah kampung sebagai orang terdidik, juga kami sudah anggap dia sebagai saudara, adik, dan keluarga sendiri, kami harus ke Lewoleba menemani bapa untuk menjemputnya. Biarlah paus berkeliaran dulu, karena masih ada hari esok dan perlulah rasanya kita menahan nafsu untuk hal yang lebih mulia.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Dari atas kapal kami lihat Mus Aleondro berdiri sejajar dengan dua orang berkulit putih bersih, melambaikan tangan.

"Lihatlah!" kata bapa, "Mus Aleondro sehat di Jawa sana. Badannya tidak kalah kekar dari orang yang bersejajar dengannya itu. Ah, tidak salah aku jual tujuh turunan babi untuk menyekolahkan dia."

ADVERTISEMENT

"Tapi siapa dua orang itu, Bapa?"

"Tentulah temannya."

Dua orang teman Mus Aleondro ikut berjabat tangan dan berpeluk-pelukan. Mereka berbicara dalam bahasa entah, begitu asing bunyinya di telinga kami. Syukur, karena Mus Aleondro sekolah di Jawa, jadi dia bisa mewakilkan suara kami yang hendak bertanya-tanya. Dari Mus Aleondro kami tahu teman-temannya ini adalah orang dari luar negeri.

"Mari kita abadikan peristiwa ini," kata Mus Aleondro.

Entah dengan maksud apa, teman Mus Aleondro mengeluarkan sebuah kotak kecil bermacam-macam warna dari layarnya. Sekilas kami melihat cahaya penuh warna itu menyilaukan mata.

Dari layar kotak kecil itu, wajah-wajah kusam kami lebih sempurna dari kami memandang wajah satu sama lain. Banyak lagi kehebatan kotak kecil itu, dan luar biasanya pula kotak kecil itu bisa bersuara menyanyikan lagu India beserta gambar penari dan macam-macam lain.

Pagi sekali ketika babi di kandang belum diberi jagung giling, orang-orang tanah kampung dan para bini sudah berbondong-bondong datang ke rumah bapa untuk melihat Mus Aleondro dan temannya.

"Tumben betul semua orang bertamu pagi begini," kata bapa yang kaget melihat tamu-tamu yang datang.

Rupanya, berita kotak kecil itu sudah sampai ke dapur-dapur rumah orang-orang kampung. Semua penasaran dari cerita yang begitu cepat menusuk hati. Bagaikan sepotong kalimat cinta di ujung bibir yang buat keringat dingin bila tak sampai terucap, bagaikan cahaya sepucuk lilin yang jika dibiarkan bermalam akan padam, dan karena tak ingin padam sia-sia itulah, orang-orang tanah kampung memilih terbakar pada kebenaran atas rasa penasaran yang terjawab hanya ketika melihat secara langsung wajah-wajah mereka ditangkap kotak kecil.

"Aduh, Tuhan!" sebut orang tanah kampung saat melihat wajah mereka ditangkap kotak kecil teman Mus Aleondro.

Para bini yang ikut ada di sana dibuat kagum-kagum sampai lupa pulang akibat terlena melihat wajah-wajah mereka sendiri juga melihat video penari bernyanyi dengan busana yang menawan dari dalam kotak kecil itu. Tak ada habis-habisnya, satu video, satu foto mereka, satu pula lagu. Begitu seterusnya.

Sepulang dari rumah bapa, orang tanah kampung berangan-angan hendak menyekolahkan anak mereka di Jawa. "Cepatlah kau besar, Nak. Biar bisa sekolah di Jawa, menjadi pintar, punya teman dari luar negeri yang memiliki kotak kecil surga Tuhan itu. Biar aku dan ibumu tak susah-susah bertamu ke rumah bapa Mus Aleondro sana."

Tak puas hanya semalam, hampir setiap hari banyak desakan orang-orang yang tidak sabar, mereka terus datang memenuhi rumah bapa. Awalnya bapa senang, tapi lama-kelamaan risih juga.

Bapa tidak bisa berangkat melaut, menjemur ikan, memasak, mencuci atau sekadar menengok babi di kandangnya. Bapa disibukkan dengan keriuhan orang-orang tanah kampung yang selalu penasaran akan kotak kecil surga Tuhan itu.

"Ini tidak ada matinya, Bapa. Ada-ada saja, dari tari, joget angsa, belah duren...."

"Sampai juga muka Ina ada di dalam layarnya," potong bapa.

***

Karena orang tanah kampung dan para bini terbiasa membalas budi baik seseorang, maka apa lagi yang dipunya selain daging dan tulang paus. Saat harinya telah tiba, dua teman Mus Aleondro harus pamit kembali ke Jawa atau ke negeri asalnya, masing-masing membawa tulang dan daging paus sebagai hadiah kecil-kecilan sekaligus ucapan terima kasih. Karena tak enak hati menolak, akhirnya teman Mus Aleondro hanya membawa beberapa kantong dari daging dan tulang-tulang yang semula terkumpul lima ton itu. Saat-saat perpisahan adalah saat-saat yang tidak menyenangkan, orang tanah kampung dan para bini, juga bapa bermandi air mata saat itu.

Sebetulnya masih ada hasrat untuk menahan teman Mus Aleondro agar tinggal beberapa hari lagi untuk menikmati olahan daging paus yang khas atau barangkali keliling kampung untuk melihat kegiatan-kegiatan melaut kami, atau mereka tetap pamit tidak jadi persoalan jika kotak kecil surga Tuhan itu diberikan sebagai hadiah kepada orang tanah kampung.

"Semua pertemuan akan tiba pada perpisahan," begitu kata Mus Aleondro mengulang kalimat dua temannya.

Satu hal yang membuat semua bergembira adalah janji teman-teman Mus Aleondro, "mereka berjanji dalam waktu dekat akan kembali dengan membawa kapal sendiri. Tentu dengan hadiah-hadiah yang menakjubkan."

Kira-kira enam bulan setelahnya, Mus Aleondro tampak murung dikerubungi lalat di pinggir laut. Bapa pun juga, seperti sunyi lengkap meringkup di dalam matanya.

Kami berteriak, bukan baleo, tetapi berteriak kapal besar menuju ke bibir pantai. Maka berbondong orang tanah kampung dan para bini muncul entah dari mana saja memenuhi bibir pantai.

Betapa bahagia bapa, kami, para bini, dan orang tanah kampung saat itu ketika mengetahui yang turun dari sebuah kapal besar adalah teman-teman Mus Aleondro tempo lalu. Mereka menepati janji dengan membawa berbagai hadiah. Dari baju, sepatu, piring-piringan yang tidak tahu buat apa, sampai ke benda-benda yang belum pernah terlihat. Juga kotak kecil dulu yang kini lebih banyak menyimpan video kucing makan, tikus mencuri, sampai ke berbagai video yang tidak pernah diduga-duga bermunculan dari layarnya. Indah sekali warna dan gambar-gambar yang ada di dalamnya, membuat orang tanah kampung terutama para bini terpukau tak ingin berpaling selayang pandang.

Untuk menyambut kedatangan sekaligus membalas kebaikan teman Mus Aleondro ini, kami adakan pesta, kami keluarkan semua arak dari rumah-rumah orang-orang tanah kampung. Teman Mus Aleondro tidak mau kalah, mereka juga mengeluarkan arak dari botol-botol kaca yang ditutup erat dengan lapisan plastik bertulis tulisan yang rumit yang tidak bisa dibaca. Maklum, kami, bapa, para bini, dan orang tanah kampung tidak sekolah; yang dapat membaca dan memberi tahu hanya Mus Aleondro, "Ini minuman khas mereka."

Semua bertukar minum dan bertukar gelas, saling bergelut berguling-guling di atas pasir pantai. Mabuk berat. Hingga teman Mus Aleondro pamit diri, tak dapat berlama-lama karena keperluan lain yang tidak mereka sebutkan. Karena tidak enak rasanya membiarkan mereka pergi dengan tangan kosong, kami mewakilkan seluruh orang tanah kampung termasuk bini yang sejak dari pertama menatap kotak kecil surga Tuhan tak pernah melepas barang selayang mengubah pandang, menanyakan apa ingin mereka dibekali oleh kami.

"Tidak perlu," kata mereka.

"Harus. Ini persoalan budaya, balas-membalas," sahut kami.

"Wah, kalau begitu apa saja," sebut mereka.

"Seperti biasa saja," sebut para bini menyempat-nyempatkan diri.

Kami pun melaut. Setelah menikam satu paus sejenak kami berpikir, kali ini tentu saja teman Mus Aleondro bisa membawa lima ton daging dan tulang paus, bahkan lebih. Karena mereka membawa kapal sendiri. Akhinya, keputusan membulat ketika menggeret paus itu ke pantai, kami serahkan begitu saja seluruhnya. Bukan main girang wajah-wajah teman Mus Aleondro terlena-lena, terbuai-buai.

"Kapan-kapan kita akan mampir lagi," sebut mereka yang diartikan Mus Aleondro.

"Tentu saja. Harus! Harus hukumnya! Kami akan merindukan kalian! Kami, orang-orang tanah kampung, termasuk babi dan anjing-anjing di kandang akan merindukan kalian! Apalah arti hidup tanpa kalian."

Satu bulan setelahnya, teman-teman Mus Aleondro datang lagi, kali ini tidak tanggung-tanggung, lima kapal berukuran besar yang masing-masing memuat hadiah macam-macam terparkir di bibir pantai. Seperti biasa pula, seluruh orang tanah kampung berdatangan.

"Wah, kalian terlalu baik rupanya. Izinkanlah kami membalasnya pula," kata bapa.

"Tidak perlu, bapa. Mereka senang datang ke sini. Mereka juga senang dengan paus kita. Ternyata mereka pemakan paus," balas mereka yang diartikan Mus Aleondro.

"Kalian dengar," kata bapa kepada kami. "Mereka senang dengan paus kita." Kami ikut tersenyum, kecuali orang tanah kampung dan para bini yang sudah mabuk pada layar kotak kecil surga Tuhan. "Mereka pemakan paus rupa-rupanya. Eh, Aleondro, bilang pada teman kamu, kalau para lamafa kita akan membalas mereka dengan yang setimpal."

"Oh, jelas. Tentu saja dengan senang hati," kami menambahi apa yang dikatakan bapa.

Sudah tugas kami sebagai lamafa untuk melaut. Dan tidak tanggung-tanggung pula, seakan tak mau kalah pada teman Mus aleondro, sepuluh paus kami hadiahkan.

"Datanglah kemari kalau kalian ingin paus, berapa banyak tinggal sebut. Seratus dua ratus, akan kami tikam untuk kalian yang baik!" Meledak tawa kami semakin menghangatkan persaudaraan ini.

Lama-kelamaan semua orang terbiasa dengan kedatangan dan kepergian teman Mus Aleondro, kami hanya perlu menyiapkan paus sebagai ucapan terima kasih pada mereka yang telah memberi orang-orang tanah kampung, terutama para bini kemanjaan benda-benda berbagai macam yang sungguh tidak pernah terbayangkan bentuk-bentuknya dalam kepala, serta video-video yang melenakan.

"Lihat, kita su bisa menari India, aca-aca." Melihat para bini begitu senang, kami pun ikut-ikutan senang.

Di tengah laut terlihat lima puluh kapal besar mendekat. Ombak terbelah-belah melompat lima kali lipat lebih tinggi. Suara-suara kapal besar itu mengguncang ketenangan. Satu per satu terkejut-kejut melihat pemandangan ini. Ternyata setelah begitu dekat mereka adalah teman Mus Aleondro.

Bapa terbengong, orang tanah kampung bengong, para bini termasuk kami dan Mus Aleondro juga. Mereka turun dari kapal besar itu dengan muka tersenyum. Mereka mengeluarkan berbagai macam hadiah yang besar-besar pula dan lebih banyak jumlahnya. Pasir pantai mendadak jadi tumpukan benda-benda.

"Kita tidak punya arak untuk teman Mus Aleondro yang sebanyak ini."

"Aduh, bodoh sekali, Ama! Kita tidak perlu arak!"

"Terus kita perlu apa?"

Kami tidak bisa mengeluarkan sepatah kata saat mendengar Mus Aleondro berbicara pada teman-temannya itu. Setelah Mus Aleondro mengartikannya pada kami, baru kami paham kalau teman Mus Aleondro akan memasang internet di kampung. Gunanya kelak, berhubungan dengan kotak kecil surga Tuhan yang bisa melakukan apa saja.

"Termasuk melaut?" tanya kami.

"Oh, tidak. Tugasnya untuk mengetahui dunia ini. Mulai dari bermacam-macam sampai pula bermacam-macam lain," jawab Mus Aleondro.

"Aduh, aduh! Tapi, maaf. Kalau lima puluh kapal, perlu berapa paus kami tikam buat mereka?" tanya kami. Mus Alendro berbisik-bisik cukup lama.

"Seratus apa dua ratus. Di negara mereka, semua pemakan daging paus. Jangan khawatir, besok setelah lima puluh kapal ini sampai di negara mereka berasal, masing-masing kita akan mendapat satu kotak kecil surga tuhan beserta internetnya," kata Mus Aleondro.

Para bini menganga, begitu juga orang tanah kampung. Mata mereka bagaikan buah ranum terjuntai di atas pohon. Sayang bila tidak dipetik, membiarkannya jatuh berarti membiarkannya pecah dan membusuk.

Dalam hati kami sebagai lamafa tentu mustahil rasanya menikam seratus dua ratus paus. Lagi pula, kalimat yang pernah kami ucapkan tempo lalu adalah gurauan saja.

Bini kami sudah termakan video tarian India dan lain-lain dalam kotak kecil surga tuhan itu, maka mereka merengek pada kami untuk menikam paus, saat itu juga.

"Tidak banyak. Cukup seratus dua ratus ekor, saja," kata para bini dan orang tanah kampung menggantung harapan pada kami dengan mata damba. Kami menoleh ke wajah teman Mus Aleondro, mereka mengangguk. Kami menoleh ke bapa, bapa terdiam. Kami menoleh ke laut, lima puluh kapal itu bergoyang-goyang.


Keterangan bahasa Lamalera

Ina: panggilan perempuan
Baleo: teriakkan khas sebagai tanda melihat paus. (semua lamafa harus turun ke laut).
Lamafa: nelayan.
Su: sudah
Ama: panggilan laki-laki.

Beri Hanna bergiat di Kamar Kata Karanganyar & kelompokseseme

Redaksi menerima kiriman naskah cerpen, tema bebas, disesuaikan dengan karakter detikcom sebagai media massa umum yang dibaca semua kalangan. Panjang naskah sebaiknya tidak lebih dari 9.000 karakter, karya orisinal dan belum pernah diterbitkan di media lain. Kirim ke email mumu@detik.com




(mmu/mmu)

Hide Ads