Musim Panen Kopi

Cerita Pendek

Musim Panen Kopi

Arianto Adipurwanto - detikHot
Sabtu, 15 Agu 2020 11:04 WIB
ilustrasi cerpen
Ilustrasi: Edi Wahyono/detikcom
Jakarta -

Musim panen kopi telah tiba. Pedagang tahunan mulai berdatangan. Menyunggi bakul besar. Satu dua menjinjing juga kresek besar berisi aneka jajan-jajanan. Setiap waktu terdengar teriakan dari arah kebun-kebun kopi. Teriakan para pemetik kopi, para pemburu, warga yang pergi mandi ke Sungai Keditan, atau para pengangkut kayu.

Maq Merdip baru saja masuk jebak rumah Naq Colaq. Ia terbungkuk-bungkuk. Tangan kanannya menenteng botol plastik besar berisi tuak. Seekor anjing yang meringkuk di bibir tungku mengangkat kepala dan tidur dengan malas kembali setelah melihat siapa yang datang.

Rumah Naq Colaq sepi. Beberapa ekor ayam berjalan-jalan di halaman mencocok-cocok tanah mencari makan. Di berugak bertiang bantenan dan beratap daun kelapa yang telah mulai lapuk, ada tiga gelas yang ditelungkupkan, sebuah cobek, dan parang yang patah ujungnya. Di pojok, satu gulungan besar; tikar pandan dan bantal tanpa sarung di dalamnya.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Baru saja duduk, Maq Merdip meraih sebuah gelas, menuangkan tuak ke dalamnya, dan langsung menenggaknya habis. Wajahnya berubah segar begitu tuak masuk ke dalam kerongkongannya. Wajah yang tadi tampak lesu sekarat kini dialiri semangat hidup lagi. Setelah melayangkan pandangan ke sekeliling dan tidak melihat tanda-tanda keberadaan Naq Colaq, ia mengisi gelasnya sekali lagi dan langsung menandaskannya. Sampai gelas ketiga, ia telah mulai berbicara dengan dirinya sendiri.

Naq Colaq baru saja sampai di Sungai Keditan. Ia dari kebun salah seorang warga dan memungut kopi-kopi yang jatuh dari tangan para pemetik kopi. Ngengorek. Pergi dari tadi pagi ia dapat hampir satu bakul berukuran sedang.

ADVERTISEMENT

Semut-semut hitam menyembul dari tumpukan kopi berwarna merah darah dan terlihat tergesa-gesa memanjat tepian bakul. Tentu hal itu tidak diperhatikan Naq Colaq. Ia tidak juga memperhatikan dua ekor capung merah yang tengah bersenang-senang di atas sebuah batu. Ia hanya memandangi aliran sungai, tampak memikirkan sesuatu.

Lama ia seperti itu baru kemudian mendekat ke tempat ia biasa mandi. Mula-mula ia melepaskan kebaya lusuh tanpa kancing, lalu jejeret yang mengikat pinggangnya, terakhir kain lusuh bermotif bunga-bunga kembang sepatu. Hanya itu yang menutup tubuhnya, selanjutnya terpampang tubuh penuh kerut-merut, ringkih, mirip sebatang pohon tua yang sebentar lagi akan tumbang.

Ia membasuh tubuhnya, menggosok-gosok dengan tangan, tanpa sabun. Satu-dua kali ia terbatuk. Batuk kering. Mengagetkan dua ekor capung yang tengah bertengger di pucuk pakis dan segera terbang. Rendah. Seekor ulat hitam mengilap seukuran telunjuk tengah bergerak pelan di sela-sela rumpun pakis.

"Mandi?" terdengar suara menyapa tiba-tiba. Naq Colaq segera melihat ke arah sumber suara, dan di sana berdiri Naq Kerinying; Kerinying dan empat orang adiknya berdiri di belakangnya. Empat anak itu telanjang dan tampak mirip satu sama lain.

Mereka memandang ke arah Naq Colaq dengan biji mata mereka seperti tidak memandang ke satu titik. Mereka memiliki ciri-ciri yang sama, kepala hampir botak dan penuh boke, di bagian lutut dan betis banyak luka bernanah, yang mengundang lalat-lalat bersuka ria.

"Baru pulang dari ngengorek," jawab Naq Colaq sambil menggosok-gosok bagian bawah pahanya dengan sebongkah batu kecil.

Naq Kerinying baru saja meletakkan panci-panci hitam legam di tepian sungai. Menimbulkan suara kecil saat panci-panci itu berbenturan. Bagian dalam panci itu penuh sisa-sisa kuah santan. Kuning tua. Salah seorang anak melihat ke arah panci itu dan menelan ludah. Tampak seperti ada hewan kecil tengah meluncur turun di kerongkongannya.

"Ayo dong cuci!" lengking Naq Kerinying kepada Kerinying, anaknya yang paling besar, satu-satunya perempuan. Kedua matanya yang jaraknya berjauhan memandang ibunya dengan marah, meskipun begitu tetap saja ia mau melaksanakan perintah. Ia raih panci-panci itu dan segera merendamnya. Empat adiknya mulai berhamburan. Memungut batu dan melempari capung-capung.

Naq Colaq melayangkan umpatan-umpatan untuk mereka karena berkali-kali membuatnya terkejut.

"Banyak dapat?" tanya Naq Kerinying tiba-tiba.

"Goyo."

"Yang penting ada buat makan sehari."

Naq Colaq terbatuk-batuk.

"Saya ini, Manluh minum tuak tiap hari, semua-semua saya yang kerjain."

Bukannya mandi atau membantu anaknya, Naq Kerinying justru duduk di sebongkah batu dan mulai melayangkan keluhan demi keluhan; bertubi-tubi. Ia menyampaikan semua itu seakan Naq Colaq dapat meringankan beban hidupnya. Ia berkata akan menyerahkan anak-anaknya kepada siapa pun yang mau mengambil mereka. Untuk menghidupi dirinya saja ia mulai merasa tidak mampu.

Naq Colaq terbatuk-batuk selama Naq Kerinying berkeluh-kesah. Naq Kerinying semakin bersemangat dan disertai amarah ketika anak-anaknya semakin tidak terkendalikan. Melempar-lempar capung yang tengah hinggap di atas batu dengan batu-batu kecil disertai teriakan-teriakan ketika salah satu lemparan mereka hampir berhasil.

"Anjing! Mati, mati kalian!" umpat Naq Kerinying.

"Kalau ada yang mau saya mau serahin mereka itu!" katanya lagi, setengah mengancam.

Naq Colaq diam saja. Hanya batuk-batuk kecil yang keluar dari mulutnya. Setelah tubuhnya mulai merasa dingin, ia bangkit dan berpakaian. Memasang kain, mengikatnya dengan jejeret, terakhir ia memakai kebaya lusuhnya tanpa kancing, memperlihatkan kedua susunya yang telah melorot jauh, kisut.

"Bilang sama orang kalau ada yang mau ambil anak saya suruh ke rumah!" teriak Naq Kerinying ketika Naq Colaq berjalan pulang. Ia sedikit terbungkuk, bakul kecil bertengger di atas kepalanya.

"Dia tua masih cari makan, ayah kalian segar bugar ndak bisa cari apa-apa," kata Naq Kerinying kepada anaknya setelah Naq Colaq menghilang.

Kerinying yang tengah berada di sampingnya, diam saja, tangannya menggosok-gosok pantat panci dengan potongan serabut kelapa. Empat adiknya kini bersama-sama melempari seekor capung yang hinggap di atas sebongkah batu besar.

Dari arah rumah mereka terdengar teriakan dan salakan seekor anjing. Terdengar lagi teriakan dari arah yang lebih jauh; sahut-sahutan. Selang beberapa saat setelah itu, muncul beberapa orang laki-laki dan perempuan. Yang laki-laki memikul dua karung kopi, perempuan membawa sekarung di atas kepala mereka.

"Petik kopi?" tanya Naq Kerinying. Mereka menjawab sambil berusaha pelan-pelan melewati sungai. Setelah mereka berhasil menyeberang, mereka mempercepat langkah kembali karena hari sebentar lagi akan malam. Seolah baru saja ingat, Naq Kerinying tiba-tiba teriak. Mengagetkan para pemetik kopi dan mereka langsung berhenti.

"Kalau ada orang yang mau ambil anak saya suruh datang ke rumah!" teriaknya.

Sepanjang perjalanan pulang mereka membicarakan tentang kata-kata Naq Kerinying itu. Tentang orang-orang Lelenggo yang sering melepas anak-anak mereka. Saling mengingatkan satu sama lain untuk menyampaikan cerita itu kepada orang-orang di desa. Mereka membahas Maq Kerinying yang hanya bisa membuat anak dan tidak turut serta dalam membesarkan mereka.

"Laki-laki kayak dia kenapa ndak mati aja."

Banyak orang yang mendoakan Maq Kerinying mati. Para warga yang tidak tahan melihatnya hanya duduk-duduk saja sepanjang hari dan membiarkan istrinya pergi menyadap nira, dengan anak-anak mereka mengikuti di belakang. Warga yang memiliki kebun telah kapok untuk melibatkan ia dalam pekerjaan. Ia lebih dulu menenggak tuak ketika pekerjaan baru ia mulai dan terlalu mabuk untuk bisa menyelesaikan pekerjaannya.

Selain itu, ia juga lelaki yang agak tuli. Ketika ia memetik kelapa ia membuat kelapa-kelapa yang belum waktunya dipetik berjatuhan, lantaran ia sendiri tidak bisa mendengar suara air kelapa meskipun ia menggoyang-goyangkan tundunan kelapa sedemikian rupa.

Sekarang ia terus berteriak-teriak memanggil istrinya. Meminta dibuatkan sambal mentah untuk sedak minum tuak. Sebelum berangkat ke kali, istrinya telah mengambilkan ia sepiring ikan sisa kemarin yang masih tulang-tulangnya saja. Tulang-tulang itulah yang ia isap setiap kali segelas tuak masuk ke dalam tenggorokannya. Ketika telah benar-benar tidak ada yang ia makan, ia berteriak-teriak meminta istrinya pulang.

Istrinya tentu saja mengenal suara itu dan mengetahui apa yang suaminya inginkan. Setengah membentak ia meminta anak-anaknya memetik pakis. Gagal menangkap capung, anak-anak itu berlarian ke rumpun pakis dan berlomba mendapatkan pakis paling banyak. Saat mereka berebutan memetik pakis itu, seekor ulat hitam mengilap seukuran telunjuk mati di kaki salah satu dari mereka. Tentu tidak ada yang tahu tentang kematiannya.

Melihat anak-anaknya, Naq Kerinying terus berpikir akan melepas mereka ke tangan siapa saja yang berkenan. Ia ingat pada Maq Dermat yang memberikan anak-anaknya dengan cuma-cuma kepada seorang pedagang reraon yang datang ke Lelenggo bertahun-tahun lalu.

Sumir juga telah melepaskan anak satu-satunya kepada salah seorang yang sengaja datang untuk mencari seorang anak yang bisa dibesarkan. Anak itu laki-laki dan tidak menolak ketika orang baru itu membawanya pergi. Kehidupan Sumir pun tidak berubah sama sekali. Bahkan ia tampak lebih lega karena beban hidup yang harus ditanggung berkurang.

Naq Colaq begitu sampai di rumah menyampaikan juga apa yang disampaikan Naq Kerinying kepadanya. Tepat setelah ia menurunkan bakul berukuran sedang berisi kopi miliknya di teras rumah. Napasnya masih tersengal-sengal ketika ia mengatakan itu.

Maq Merdip tengah duduk bersila. Sebotol tuak di depannya sisa setengah. Satu-dua lalat hinggap di cobek yang tergeletak di depannya. Setiap habis menenggak tuak ia berdecap-decap dan mengagumi nikmat hidup yang ia rasakan.

"Apa sedak?" tanya Naq Colaq.

"Tahi ayam," jawabnya bergurau, menunjuk tahi ayam di atas cobek. Naq Colaq hendak mengatakan sesuatu, tetapi lebih dulu terdengar teriakan dari seberang Sungai Keditan; dari arah rumah Naq Kerinying, disertai lolongan anjing dan lengking seorang perempuan.

Setelah diam beberapa saat, Maq Merdip kembali mengisi gelasnya dan mengirim seluruh isinya ke dalam perutnya. Sendawa kecil keluar dari mulutnya. Naq Colaq meminta satu gelas setelah napasnya mulai tenang. Pembicaraan dari mulut mereka mulai mengalir, tetapi tentang musim panen kopi, bukan tentang teriakan-teriakan di seberang Sungai Keditan yang semakin terdengar riuh saja.

2018-2020

Keterangan

jebak: gerbang
sedaq: makanan tambahan
jejeret: kain kecil panjang yang biasa dililitkan di pinggang oleh perempuan
boke: borok di kepala

Arianto Adipurwanto lahir di Selebung, Lombok Utara, 1 November 1993. Kumpulan cerpennya berjudul Bugiali (Pustaka Jaya, 2018) masuk 5 besar prosa Kusala Sastra Khatulistiwa 2019. Berkegiatan di Komunitas Akarpohon, Mataram, NTB

Redaksi menerima kiriman naskah cerpen, tema bebas, disesuaikan dengan karakter detikcom sebagai media massa umum yang dibaca semua kalangan. Panjang naskah sebaiknya tidak lebih dari 9.000 karakter, karya orisinal dan belum pernah diterbitkan di media lain. Kirim ke email mumu@detik.com




(mmu/mmu)

Hide Ads