Bapak mengembuskan napas terakhirnya dengan tenang di atas kasur. Kami yang baru saja bangun pagi itu tak menemukannya di tempat biasa, teras tempat bapak berjemur. Ibu sudah bangun terlebih dahulu dan bapak tidak suka jika harus dipaksa bangun. Oleh karena itu kami pun diam saja ketika pukul 10 pagi kami bertiga saling menatap satu sama lain.
"Bapak belum bangun, Bu?" tanya adik.
"Tadi setelah Salat Subuh tidur lagi. Mungkin Bapak kelelahan," kata ibu.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Tapi matahari sudah mau naik, Bu", kata adik lagi.
"Nggak apa-apa. Matahari nggak ke mana-mana. Besok juga terbit lagi," ibu kembali menjawab.
Aku membaca koran Minggu sambil meminum segelas teh susu, mendengarkan percakapan mereka berdua yang berlanjut ke mana-mana. Kuliah, makanan, pekerjaan, hingga pernikahan.
Yang terakhir itu memang sering menjadi topik hangat belakangan ini. Maklum, adik sudah berusia 25 tahun, sedang berkuliah S2, dan memiliki usaha yang cukup mujur. Belum lagi sang kekasih menuntutnya untuk segera datang meminang. Sedangkan aku berusia tiga tahun lebih tua tanpa pekerjaan tetap dan wanita yang bisa dijadikan bahan pembicaraan soal masa depan.
Ibu membelokkan matanya padaku berkali-kali. Aku bisa merasakannya dari balik iklan tentang sebuah mobil keluarga. Berita hari ini tiba-tiba saja berubah menjadi sebuah kata pengingat soal usia, harta, dan wanita. Kuturunkan koran dari wajahku. Baik ibu maupun adik sudah sama-sama menatapku. Kupandangi balik mata mereka satu demi satu. Aku bisa mendengar suara air liurku sendiri yang kutelan. Nasi goreng yang disantap adik berhenti di sendoknya. Cangkir yang dipegang ibu tak beranjak naik ataupun turun. Kulepaskan sedikit napas.
"Iya, iya," kataku pada mereka.
Kukatakan saja pada mereka kalau setidaknya aku akan menikah satu atau dua tahun lagi. Uang tabungan yang kukumpulkan dari hasil pekerjaanku sebagai penulis lepas sudah setengah jalan. Tidak banyak. Butuh waktu yang cukup lama hingga setidaknya aku bisa membeli mas kawin yang layak. Setelah itu baru aku akan mencari pasangan yang kira-kira sudi bersahabat dengan dompet seorang seniman kere sepertiku. Siapapun boleh. Jika harus kembali ke beberapa tahun saat sekolah atau kuliah, rasanya tidak mungkin. Hanya ada satu orang yang hingga kini masih kuajak berkomunikasi. Sebut saja An. Seorang jurnalis yang juga pembaca setia tulisan-tulisanku.
Pekerjaanku sembilan puluh persen kulakukan di rumah. Rasanya seperti berada di pulau terpencil yang dilengkapi dengan koneksi internet. Hanya saja, jodoh tidak bisa ditemukan lewat internet. Atau bisa? Ya, aku pun mencoba yang demikian. Namun untuk seseorang yang bergaya tua sepertiku memilih pasangan hanya berdasarkan gambar dan sedikit penjelasan tak ada gunanya.
Percakapan itu pun berakhir dengan adik yang harus menjalankan rutinitasnya, lapor kepada calon mertua. Ibu beranjak dari meja dan mulai mencuci piring. Aku kembali pada berita di koran. Satu halaman besar berisi pengumuman meninggalnya seorang pengusaha Tionghoa. Aku turut berduka cita.
***
Pemakaman itu penuh sesak. Aku tidak bisa membedakan apakah aku kehabisan napas karena udara yang sudah mau habis atau terlalu lama menahan tangis. Orang-orang berbaju hitam turut memanjatkan doa. Mengucapkan kalimat bela sungkawa dan memintaku untuk sabar. Wajah-wajah itu terlihat sama saja bagiku. Tidak ada yang kukenal dan tidak ada yang tidak kukenal. Sekarang hanya ada aku, tanah yang sudah digali, dan jasad yang sudah dibalut oleh kain kafan. Ibu.
Aku dan adik bersama-sama menguburkan orang yang telapaknya menjadi tujuan hidup kami. Memang, tidak ada obat untuk kematian meskipun hari demi hari ibu habiskan untuk membuatnya sehat kembali. Namun apa daya. Jika tidak ada lagi tempat untuk berlari, yang bisa kita lakukan hanyalah menyambut kematian dengan lapang dada.
Setelah bapak selesai dikebumikan, kami naik ke atas. Di sana sudah menunggu seorang wanita dengan wajah yang berusaha supaya tidak meneteskan air mata agar sang suami bisa menumpahkan segala keluh kesahnya tanpa harus memedulikan orang di sekitarnya. Adik berjalan menuju wanita itu. Dipeluknya dengan erat. Aku bisa mendengar dari kejauhan burung gagak yang sengaja menutup mulut supaya seorang laki-laki bisa melenguh karena ia ditinggalkan orang yang mencintai dan dicintainya.
Aku sendiri sudah tidak lagi memiliki tenaga untuk berteriak-teriak. Jasadku sama saja seperti orang mati. Aku iri dengan adik yang bisa dengan lepas mengeluarkan isi di dadanya. Mungkin karena ibu dan adik adalah ibu dan aku dalam imajinasiku. Sejak kecil ia bisa menghabiskan satu hingga dua jam hanya untuk bercerita tentang sepak bola. Sedangkan aku hanya bisa menjawab dengan "ya", "enak", atau setidaknya "ya begitu" ketika ditanya tentang berbagai hal.
Setelah ibu mengandung adik, ia berhenti bekerja. Bapak pun jadi lebih sering di rumah. Menyiapkan kamar. Membeli baju. Pergi ke rumah sakit. Setelah adik lahir ibu tidak kembali bekerja dan bapak jadi lebih sering di rumah. Di halaman belakang rumah kami terdapat sebuah pohon mangga yang cukup tinggi dan megah. Di sanalah aku sering ditemukan. Bermain dengan batang pohon. Memetik mangga matang yang berada di ujung paling atas, dan yang paling sering: melamun. Pikiranku bisa tiba-tiba saja kosong entah ke mana larinya, seperti mesin waktu yang tak tentu tujuan. Terkadang aku memikirkan tentang masa sepuluh hingga dua puluh tahun ke depan. Terkadang aku memikirkan masa di mana aku bahkan belum dilahirkan.
Setelah bapak meninggal, adik memutuskan untuk tinggal menemani ibu dan tidak lagi menyewa rumah. Bahkan setelah ia menikah ia tetap tinggal dan tidak ingin pindah meski ibu sudah mewanti-wantinya kalau seorang istri mempunyai hak untuk tinggal di bawah atapnya sendiri. Namun lagi-lagi adik selalu memiliki alasan untuk membuat ibu setuju dengannya. Aku setuju dengan adik. Ibu yang waktu itu membuka pintu dan menemukan bapak sudah wafat adalah ibu yang tidak ingin kami biarkan seorang diri. Sudah memasuki waktu petang kala itu. Bapak masih belum juga bangun. Ibu pun mau tak mau masuk ke dalam kamar. Gagang pintu hampir tidak berbunyi. Decitan pun tak terdengar meski lantai dan bagian bawah pintu saling bergesekan. Dengan suara yang lembut, ibu memanggil, "Pak!"
Bapak diam. Kaki ibu dan lantai saling beradu. Masih tak ada suara. Ditepuknya pundak sebelah kiri bapak. Kali ini dengan suara yang sedikit lebih pelan. "Pak." Hampir berbisik. Badan bapak bergoyang. Tidak ada respons. Ibu berlutut sambil memegang kening bapak, masih dengan gerak tubuh yang ayu, karena takut bapak bangun secara tiba-tiba. Lalu pipi. Kemudian hidung. Mulut. Lalu pergelangan tangan. Kami bergegas menuju kamar bapak.
Ibu tidak banyak melakukan apa-apa di samping pekerjaannya dulu sebagai seorang guru taman kanak-kanak. Yang ia tahu hanya patuh terhadap kata-kata sang suami. Ia kenakan pakaian terbaik dan riasan yang menawan setiap kali bapak pulang bekerja. Dibuatkannya secangkir kopi dan kudapan sore. Ia siapkan air hangat untuk bapak mandi. Makan malam sudah siap pukul tujuh. Kami sekeluarga berkumpul di ruang makan. Tak banyak bicara. Hanya sekadarnya saja. Sedikit ini dan itu. Lalu kembali ke piring. Selesai makan, ibu mencuci piring. Bapak menonton televisi dan ibu menemani.
Mereka berdua berbincang. Tentang hal yang hanya mereka yang tahu. Saling bertatap. Lalu mata kembali ke layar kaca. Tangan saling bersentuhan. Pundak saling beradu. Terkadang bapak tertidur saat menonton acara debat. Ibu tidak ingin membangunkan. Katanya, biarkan saja. Padahal, mata ibu sudah berat dan punggung ibu sudah kaku. Pada pagi hari, ibu selalu bangun terlebih dahulu. Terutama di akhir pekan. Disiapkannya sarapan di atas meja. Bapak datang mengambil secangkir kopi dan ubi goreng lalu pergi ke teras. Mencari matahari. Menjemur diri.
Sekarang, ibu tidak tahu harus melakukan apa lagi. Ia seperti kehilangan fungsi. Padahal, ibu sangat pandai memasak dan menjahit. Ia bahkan bisa kembali mengajar. Namun ibu butuh waktu. Itu yang kupikir. Begitu pula aku. Setelah adik pindah, aku pergi dari rumah. Berjalan menyusuri pulau-pulau asing. Rasanya kelam dan terlalu penuh dengan duka. Adik melawan. Katanya, aku harus di rumah juga, menemani ibu. Kataku, aku sudah terlalu lama di rumah. Katanya, tidak ada alasan; ini bukan waktu yang tepat. Kataku, aku perlu waktu. Katanya, waktu kita sekarang buat ibu. Kataku, ke mana saja ia selama ini. Katanya, ia selalu datang mengunjungi setiap pekan. Kataku, itu tidak cukup. Katanya, selalu di rumah tidak membuatku prihatin terhadap ibu. Kataku, dia kurang ajar. Katanya, aku yang lebih kurang ajar.
Aku sudah kehabisan kata-kata. Lebih banyak yang keluar lagi dari mulutnya.
Ibu menyaksikan kami dari kejauhan. Tidak ada lagi kataku dan katanya. Hanya ada kata ibu. Dan kata ibu terserah kami. Jadi, aku memutuskan untuk pergi. Adik menghampiri ibu dan memeluknya. Pundak adik basah. Ibu dan adik adalah aku dan ibu dalam imajinasiku.
***
Aku melewatkan beberapa momen penting. Lamaran adik. Pernikahan adik. Ulang tahun pertama keponakanku. Check-up ibu ke rumah sakit. Kemoterapi ibu. Sakaratul maut ibu. Pesan panjang dengan penuh makian masuk ke dalam telepon genggamku diiringi kabar bahwa ibu sudah tiada dan akan segera dimakamkan. Aku segera bergegas membeli tiket pesawat. Pulang. Memandikan ibu. Menyalati ibu. Mengebumikan ibu.
Orang-orang silih berganti masuk ke rumah kami. Keluarga yang aku sudah lupa wajah-wajahnya. Kawan-kawan adik dan kerabat istri adik. Aku duduk di halaman belakang seorang diri, memandangi halaman kosong dengan pohon mangga yang sudah ditebang. Menyalakan rokok. Sesekali bersalaman dengan orang-orang. Kembali merokok.
Rumah sudah sepi. Pukul sembilan malam. Aku mengenakan jaketku lalu menyalakan sepeda motor. Kulihat adik di depan pintu. Matanya merah. Napasnya kencang. Kutundukkan pandanganku. Bunyi knalpot menyelubungi teriakan orang yang memendam amarah. Yang satu lagi tenggelam dalam penyesalan. Angin malam kala itu benar-benar kencang. Meskipun sudah mengenakan lapis dua, tubuhku tetap saja kedinginan. Jalanan seperti tidak ada ujungnya. Setiap kali aku berbelok cabang demi cabang terus bermunculan. Kuambil jalur kiri, bercabang tujuh. Kuambil jalur kanan, juga bercabang tujuh.
Pada akhirnya aku terus berjalan lurus, mengikuti arah bulan yang redup tertutup awan. Mataku tak sanggup menatap jalanan. Maka kupejamkan saja. Perlahan, pikiranku kembali ke pekarangan rumah tempat bapak biasa berjemur. Dapur tempat ibu biasa memasak. Halaman dengan pohon mangga yang menjulang. Ada aku di sana, berusaha memetik buah yang matang. Namun, tak sampai. Kakiku terpeleset. Kepalaku terbentur dengan keras. Kudengar suara-suara penuh rasa panik. Kubuka kembali mataku. Bulan tak lagi tertutup oleh awan.
***
Terkadang cara seseorang membawa pikirannya ke tempat-tempat yang belum diizinkan membuat ia tenggelam di dalamnya. Seperti masa depan. Aku sendiri memberanikan diriku untuk melangkah dan membuka tirainya. Tidak ada apa-apa di sana. Setidaknya apa-apa yang membuatku yakin bahwa hari esok bukan sesuatu yang perlu dikhawatirkan. Namun tetap saja, jika tidak berhati-hati, udara akan hilang begitu saja dan aku pun mati dibawanya. Kulihat arlojiku. Pukul enam pagi. Aku baru bisa memejamkan mataku pukul tiga. Sungguh bukan saat yang tepat untuk kekurangan waktu tidur.
Serah terima janji suci akan segera dilaksanakan pukul sembilan. Mataku suntuk. Lenganku berkeringat. Kuambil kembali catatan tentang ijab kabul dan kubaca berulang-ulang. Kudengar suara seseorang menuruni tangga. Langkahnya tidak tergesa-gesa. Semakin mendekat. Kubuka pintu sebelum sempat diketuk. Seorang wanita berdiri di hadapanku. "Bagaimana?" tanyanya. Kubilang saja bahwa aku sudah siap. Wanita itu mengusap pipiku. Kupeluk ibu dengan erat.
Di depan pintu gerbang mobil keluarga keluaran Jepang sudah menunggu. Adik berada di kursi kemudi berdampingan dengan sang istri. Kumasukkan barang yang penting-penting ke dalamnya. Kami semua berangkat menuju masjid. Adik menggodaku. Katanya syukur pada akhirnya ada juga yang ingin menerima pinanganku. Kalau tidak, mungkin aku akan kabur mengelilingi pulau-pulau asing dan tidak akan kembali hingga hari kiamat nanti. Kami semua tertawa. Kuarahkan pandanganku ke jendela. Janur kuning sudah menggantung.
Kuucapkan nama, sebut saja An, dalam ijab dan kabul. Juga nama panjangnya dan nama bapaknya. Setelah kutandatangani surat nikah, aku mencium keningnya. Kulihat wajahnya yang bundar dan berseri-seri. Tidak banyak dipoles bedak. Seorang jurnalis dan pembaca setiaku. Kualihkan pandanganku ke utara. Adik, ibu, dan bapak di sana. Mereka kemudian menghampiri. Memelukku secara bergantian. Kurasakan hangatnya. Bapak berpesan sangat banyak. Tentang bagaimana menjadi seorang suami dan kelak bagaimana jika menjadi seorang bapak. Soal harta bisa dicari. Yang penting lakukan saja yang kamu bisa, begitu katanya.
Memang menakutkan bagaimana pikiran tentang masa depan membawa kita pada ketidakpastian. Kepada hal-hal yang bahkan kita belum tahu akan terjadi. Kepada jalan-jalan yang terlalu bercabang sehingga tak tahu yang mana yang harus diambil. Kepada kehidupan dan kepada kematian. Di mana hanya Tuhan yang memiliki kuasa untuk menentukan.
Di atas pelaminan aku dan An menerima orang-orang untuk bersalaman. Kulihat ke sebelah kiri. Bapak dan ibu tersenyum, juga menyalami tamu satu demi satu. Di bawah, adik dan sang istri memotret momen-momen kami. Aku mengembuskan napas panjang. Kugenggam tangan An dengan erat. Aku bersyukur, mereka semua belum mati.
Aditya Ramadhan menulis cerpen dan sesekali puisi, terkadang kritik dan opini. Karyanya tergabung dalam kompilasi buku kumpulan cerpen bersama alumni Kelas Menulis Cerpen Kompas 2018
Redaksi menerima kiriman naskah cerpen, tema bebas, disesuaikan dengan karakter detikcom sebagai media massa umum yang dibaca semua kalangan. Panjang naskah sebaiknya tidak lebih dari 9.000 karakter, karya orisinal dan belum pernah diterbitkan di media lain. Kirim ke email mumu@detik.com
(mmu/mmu)