Satu Hari dalam Hidup Perempuan Beriman

Cerita Pendek

Satu Hari dalam Hidup Perempuan Beriman

Nurillah Achmad - detikHot
Sabtu, 09 Mei 2020 10:37 WIB
ilustrasi cerpen
Ilustrasi: Denny Pratama Putra/detikcom
Jakarta -

Di ruang tunggu Taman Kanak-Kanak

Aduh, ibu-ibu. Maaf, saya terlambat. Tadi ada kesibukan mendadak. Tahu-tahu, kucing peliharaan suami saya mati. Padahal itu bukan kucing biasa. Itu kucing Persia yang didatangkan langsung dari negeri para Mullah. Ibu-ibu kan tahu sendiri. Sekarang ini apa-apa mesti syar'i. Tak jilbab, tak sarung, mesti dilihat negara pembuatnya. Jangankan itu, sendok di rumah saja kami ganti. Jika dulunya made in sono, sekarang asli dari Timur Tengah sana. Untung yang dipelihara suami saya itu kucing. Bukan onta. Bayangkan kalau binatang itu ada di pekarangan saya. Betapa repotnya kami berdua.

Tapi, Bu, tidak semuanya milik kami itu syar'i. Televisi, android, mobil masih buatan orang kafir. Itulah mengapa saya tidak seratus persen bahagia. Saya takut, Bu. Takut di akhirat kelak diminta pertanggungjawaban Tuhan. Karena itu, pekan depan, rencananya kami akan ke Timur Tengah lagi. Bukan apa-apa. Kami ingin mencari sendiri produk buatan saudara seiman sehingga nantinya akan terjamin tingkat kehalalan dan amal perbuatan.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Apa? Pesawat yang kami tumpangi itu buatan orang kafir? Dan pilotnya pun orang kafir? Berarti saya dipimpin orang kafir, begitu? Astaghfirullah. Mengapa saya baru sadar. Biar nanti saya bicara dengan suami. Saya benar-benar shock. Sungguh. Saya baru sadar kalau pilot kami belum tentu seagama. Barangkali nanti suami saya bisa mencari jalan keluar. Misalnya, menghubungi departemen perhubungan dan menanyakan pilot muslim yang akan terbang ke Timur Tengah.

Wah, kenapa saya jadi ngelantur, ya. Tadi sampai mana...oh, ya kucing Persia yang tiba-tiba mati. Saya tidak tahu penyebabnya. Padahal kami merawatnya seakan merawat anak sendiri. Kami beri kamar seluas tujuh kali enam meter. Bayangkan, Bu. Untuk seekor kucing yang besarnya seperti paha saya ini saja diberi ruangan seluas itu. Begitulah suami saya. Kalau sudah cinta, apapun akan diberi. Saya buktinya.

ADVERTISEMENT

Dulu, ketika saya bosan berada di rumah yang tugasnya cuman menemani anak-anak sekolah, suami saya itu langsung ngajak liburan ke Eropa. Akhir-akhir ini saja berubah arah. Katanya, sekali dayung dua pulau terlampaui. Ibadah dan hiburan sekaligus. Pahalanya pun dua kali lipat. Duh, saya sungguh-sungguh bahagia membayangkan tabungan amal saya yang berkali-kali lipat. Karena itu, ibu-ibu, tirulah kami berdua. Liburan sekaligus ibadah. Jangan mencari kesenangan duniawi saja. Nanti mati bawa bekal apa?

Saya itu bersyukur memiliki suami yang mendapat hidayah begitu. Awal nikah yang kami tidak begini. Kami sering ke klub malam. Sering minum anggur. Sering dansa. Dan semacamnya. Sekarang, semua itu kami tinggal. Awalnya susah menghilangkan kesenangan yang melarut dalam daging. Akhirnya saya merasa nyaman ketika saya mengingat siksa kubur. Benar kata Nabi, jika sebaik-baiknya nasihat adalah dengan mengingat mati.

Seingat saya, suami saya itu memperoleh hidayah setelah menonton Youtube. Eh, sungguh lho, Bu. Suami saya itu tiba-tiba berubah setelah mendengar ceramah seorang ustad. Saya tidak tahu, bagaimana konten itu tiba-tiba muncul di beranda. Saya yakin itu mukjizat dari Tuhan. Lha, gimana saya tidak menganggapnya sebagai mukjizat, lha wong kerjaan suami saya tiap buka Youtube itu bukan channel agama, tapi channel yang membangkitkan gairah. Kadang kami menikmati bersama-sama lalu mempraktikkannya di atas ranjang.

Ndilalah, malam itu channel ustad muda yang berkoar-koar itu nampang di beranda. Judul kontennya pun, Tuhan tidak menerima amal perbuatan orang yang suka melihat video porno. Aduh, kata suami saya. Ia tiba-tiba menggigil. Badannya gemetar hebat. Saya jadi teringat Nabi ketika menerima wahyu dalam keadaan menggigil. Nah, saya yakin, di tengah-tengah gigil itu suami saya menerima hidayah.

Esok paginya ia langsung salat subuh. Saya terperangah. Tetapi demi menjaga perasaannya, saya tidak berani bertanya. Pagi sebelum kerja ia menunaikan Salat Dhuha. Saya juga tidak bertanya. Siang sampai sore, saya ditelepon sekretarisnya. Katanya, suami saya memerintahkan pegawai mengosongkan satu ruangan dan itu digunakan untuk menunaikan salat dzuhur dan ashar jamaah. Masya Allah. Saya nangis, ibu-ibu. Dari yang semula suka nonton seks, ternyata Youtube jadi jalan hidayah.

Apa? Penemu Youtube orang kafir? Lha, itu kan perantara, ibu-ibu. Sekarang suami saya sudah tidak pernah buka Youtube. Facebook. Apalagi Instagram. Kami memilih membaca buku karangan ustad kami tadi. Tulisannya, ibu-ibu. Masya Allah, benar-benar lugas dan mengena. Bagaimana tidak, beliau itu secara gamblang menjelaskan, mana yang halal dan mana yang haram. Hidup itu harus hitam atau putih. Selain keduanya, itu bid'ah. Jangan dilakukan! Masak mau melakukan yang tidak Nabi lakukan. Junjungan saya kan Nabi, bukan orang lain.

Aduh, maaf-maaf. Saya kok ngelantur lagi ya. Tadi sampai mana? Kucing Persia. Nah, itulah sebabnya mengapa saya terlambat. Saya dan suami masih harus memandikan, mengafani, menyalatkan, dan mengubur kucing itu di belakang rumah. Nanti malam kami juga akan mengadakan tahlilan. Ya, tentu untuk kalangan keluarga sendiri. Bagaimanapun kucing itu makhluk Tuhan. Apalagi Nabi penyayang binatang terutama kucing. Barangkali dengan begitu saya memperoleh syafaatnya kelak di hari kiamat. Amiiin....

Lho, sebentar-sebentar. Mbak Ratna, kok, tidak ada, ya. Maaf-maaf. Saya baru sadar dia tidak ada. Padahal kan biasanya duduk di pojok sana. Sibuk main gawainya sendiri. Padahal kita-kita ada di sini. Duh, begitu kalau pikirannya sempit. Menganggap diri paling baik dan tak mau bersosialisasi.

Keponakannya sakit? Oh, pantas dia tidak ada. Siapa yang mau diantar, lha wong dia tidak punya anak. Kasihan sekali nasib Mbak Ratna itu. Menjelang kepala empat belum diberi keturunan. Apa mungkin karena telat nikah ya? Kalau tidak salah, dia kan nikah sewaktu umur 32. Mungkin rahimnya terlalu keras. Tidak lagi lunak memelihara sperma. Jadi, spermanya keluar semua. Hihihi.

Sebetulnya saya kasihan sekali melihat Mbak Ratna. Bayangkan kalau dia tidak punya keturunan. Bagaimana kelak saat tua? Tak ada yang merawat. Beruntunglah kita-kita ini yang ditakdirkan Tuhan melahirkan keturunan dari rahim sendiri. Karena tidak semua perempuan memiliki rezeki semacam itu. Mbak Ratna buktinya.

Oh, ya, ibu-ibu. Saya ini sebetulnya punya uneg-uneg. Saya ingin minta saran terbaik dari ibu-ibu semuanya. Begini. Saya ini punya pembantu. Oh, maaf. Bahasanya saya ganti hamba sahaya. Sebulan lagi dia melahirkan. Saya tidak tahu siapa yang menghamili. Lha wong, saya bawa dari kampung dalam keadaan single. Tak ada yang punya. Dan masih dalam keadaan gadis. Kok, sekarang malah jadi bunting. Saya benar-benar shock. Pingsan. Setelah siuman, suami saya menghibur. Katanya, Nuning harus tetap di rumah. Jangan diusir. Sebagai orang yang beragama, kita harus memaafkan kesalahan orang lain. Apalagi manusia kan mahalul khata' wan nisyan. Tempatnya salah dan lupa. Sudah jadi kewajiban kami sebagai tuannya untuk memaafkan. Saya disuruhnya membayangkan jika saya jadi Nuning. Tak punya orangtua. Tanah di kampung direbut paman. Masih punya anak tanpa lelaki.

Saya pun mengalah. Saya memaafkan kesalahan Nuning bahkan saya ikut mengantarnya sewaktu periksa kandungan, kecuali kemarin petang karena badan saya tiba-tiba meriang. Saya yakin, ia melakukan perbuatannya dengan tukang sayur. Saya tahu, Nuning selalu lama-lama ketika berbelanja. Duh, biarlah. Setiap orang punya aib dan kesalahan. Saya tidak mau gunjing. Nanti dosa.

Nah, karena saya kasihan melihat nasib anak Nuning nanti ketika menanyakan sosok bapak, saya ingin meminta Mbak Ratna mengadopsi anak itu. Kan sama-sama bahagia. Nuning tidak akan kelimpungan ketika anaknya menanyakan sosok bapak, dan Mbak Ratna pun senang memiliki momongan meski bukan dia yang melahirkan. Bagaimana, ibu-ibu? Setuju, tidak?

Semua mengangguk setuju. Tetapi, seorang anak yang baru datang dari kamar mandi dan melintas di depan mereka tiba-tiba nyeletuk.

"Tante. Tante. Kemarin sore saya melihat Mbak Nuning duduk berdua dengan suami Tante di taman kota. Suami Tante megang-megang tangan Mbak Nuning. Terus megang perut Mbak Nuning. Terus megang dada Mbak Nuning. Terus megang bibir Mbak Nuning. Terus dicium deh."

Apa?

Suasana tiba-tiba riuh. Anak kecil tadi tiba-tiba dipanggil sang guru, tetapi sesampainya di pintu, dia malah menoleh.

"Oh, ya, Tante. Menurut Ustad di Youtube, Aisyah istri Rasulullah tidak memiliki keturunan. Berarti beliau bernasib sial seperti Mbak Ratna, begitu?"

Nurillah Achmad menyantri di TMI Putri Al-Amien Prenduan, Sumenep; alumni Fakultas Hukum Universitas Jember. Emerging writers dalam Ubud Writers & Readers Festival 2019. Saat ini tinggal di Jember, Jawa Timur




(mmu/mmu)

Hide Ads