Nyonya Kurniawan memiliki dua ponsel: satu untuk suami dan anak-anak, dan satu untuk pacar, yang dalam cerita ini akan kita sebut 'Mas W di kota Y'. Perselingkuhan sudah dimulai sejak satu tahun yang lalu, yaitu saat pernikahannya dengan Tuan Kurniawan memasuki tahun ketujuh, dan kini, karena pagebluk Covid-19 yang menghebohkan seluruh dunia, Nyonya dan Tuan Kurniawan beserta kedua anak mereka harus tinggal di rumah selama berminggu-minggu lamanya. Seperti keluarga kecil bahagia di pamflet bikinan pemerintah: dua anak cukup.
Di antara hal-hal yang membuat Nyonya Kurniawan kesal selama swakarantina, seperti keharusan memasak sarapan-makan siang-makan malam seorang diri (Tuan Kurniawan tidak tahu cara membedakan jahe dan lengkuas, sereh dan daun bawang), menemani anak belajar (bahan pelajaran banyak sekali dan ia sudah lupa kapan terakhir kali menghafal rumus matematika), serta membereskan aneka kekacauan yang ditimbulkan suami dan kedua anak mereka yang manis (Ma, air tumpah, Ma, bajuku mana, Ma, lihat kunciku enggak, Ma, cucikan masker, Ma, mau kopi, Ma, bikinkan susu hangat dong) --tidak ada yang lebih mengesalkan daripada tidak bisa menghubungi Mas W di kota Y.
Mas W di kota Y dengan senyumnya yang manis, dengan tatapannya yang tajam sekaligus lembut, dengan topik perbincangan yang tak habis-habis, dengan keahliannya berciuman, dengan stamina bercintanya yang tak putus-putus sepanjang malam.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Di hari-hari biasa, Nyonya Kurniawan menyimpan ponsel khusus Mas W di laci meja kerjanya. Itu adalah satu-satunya tempat yang aman, kau tahu, karena Tuan Kurniawan penggemar berat Marie Kondo. Dia hobi sekali membongkar-bongkar. Seminggu sekali Tuan Kurniawan bersih-bersih ala metode Konmari, menumpuk semua barang, memegangnya, menyimpannya kalau barang itu masih spark joy dan membuangnya kalau sudah tidak spark joy.
Nyonya Kurniawan tidak bisa mengambil risiko suaminya menemukan ponsel khusus Mas W di laci, lemari, atau gudang. Tidak ada satu sudut pun di rumah mereka yang lepas dari obsesi beres-beres Tuan Kurniawan yang nyaris kompulsif.
"Bagaimana kalau suatu saat aku tidak lagi spark joy buatmu," tanya Nyonya Kurniawan suatu kali. "Apakah kau akan membuangku?"
Tapi, dia sudah lupa apa jawaban suaminya.
Gelombang pandemi yang datang tiba-tiba membuat Nyonya Kurniawan tak sempat menyelamatkan ponsel kesayangan, ponsel yang membuatnya bertahan dari hari ke hari, menjalani rutinitas yang semakin hari semakin membosankan. Biasanya, begitu sampai kantor dia langsung membuka laci, mengeluarkan ponsel dan menyalakannya, bersiap menyapa Mas W di kota Y dengan penuh kemesraan.
"Pagi, Sayang...."
Lalu mereka akan berkiriman pesan sepanjang hari, saling menelepon, mencuri kesempatan video call sekadar saling melihat senyum, dan mengatur waktu untuk pertemuan berikutnya.
"Kamu yang ke sini, ya?"
"Jangan, suamiku mulai nanya kenapa aku bulan ini sudah dua kali ke kota itu-itu lagi."
"Bilang aja kamu lagi riset buat market baru."
"Kamu aja deh yang ke sini."
"Hmm, oke. Tapi kamu yang booking ya, jadi dari bandara aku langsung ke sana."
"Hotel yang kemarin lagi?"
"Jangan ah, terlalu ramai. Aku kan, banyak teman juga di kotamu."
"Ya sudah nanti aku cari yang agak sepi."
Nyonya Kurniawan pertama kali bertemu Mas W di kota Y untuk urusan pekerjaan. Setelah dua hari riset lapangan, pada hari ketiga Mas W mengajak Nyonya Kurniawan minum bir untuk sekadar merayakan kerja sama mereka yang berakhir gemilang. Nyonya Kurniawan setuju, dan meminta Mas W menjemputnya di lobi hotel. Malam itu, ketika pipi mereka bersentuhan kiri dan kanan, Mas W menyentuh pinggang Nyonya Kurniawan, lembut dan ringan dan perempuan itu merasa seperti kejatuhan bulan. Kapan terakhir dia disentuh dengan cara demikian? Dari bir ke bibir, dari bibir ke kamar, dari kamar ke hati, dari hati ke komitmen. Mas W di kota Y telah menjadi bagian dari kehidupan Nyonya Kurniawan yang gersang. Sebuah oase, sebuah telaga, sebuah surga.
"Aku pulang dulu, ya. Hape kumatikan. Sampai ketemu besok, Sayang."
Atau sampai ketemu Senin kalau kebetulan itu Jumat sore. Dan esoknya, sepanjang hari, Mas W merenungkan kata-kata seorang penyair, "malam minggu adalah saat, ketika para kekasih pulang ke rumah tangganya masing-masing...." *)
Kantor Nyonya Kurniawan memberlakukan kerja dari rumah alias Work From Home alias WFH (alias Wait For Him, pikir Nyonya Kurniawan sendu) dan dia tak berani membawa ponsel khusus Mas W ke rumah. Sialnya, baru saat di rumah itulah dia tersadar bahwa dia tak hafal nomor ponsel kekasihnya itu. Dia hanya ingat Mas W pakai Simpati karena nomornya 0813, tapi lanjutannya berapa? Tiga dua tiga enam? Delapan empat satu tiga? Sial. Tidak ada jejak sama sekali. Bahkan di ponsel khusus Mas W saja, Nyonya Kurniawan menggunakan aplikasi berkirim pesan yang memiliki fasilitas self-destruct alias terhapus sendiri dalam waktu 1x24 jam. Nyonya Kurniawan mematuhi aturan emas dalam perselingkuhan: hancurkan semua bukti (tidak usah sok sentimentil menyimpan pesan dan foto) dan bayar semuanya secara tunai (termasuk taksi dan hotel).
Selama satu tahun penuh, hubungan terlarang berjalan aman. Tuan Kurniawan tidak mencurigai apa pun. Rumah tangga mereka berjalan seperti biasa: bangun pagi, mengurus anak-anak, sarapan bersama, kecup kening, dadah aku berangkat dulu, bekerja, kecup kening, halo aku pulang, bagaimana harimu, ya biasa-biasa saja, bermain bersama anak-anak, membantu mereka mengerjakan pe-er, menonton Netflix (Nyonya Kurniawan), bermain game online (Tuan Kurniawan), berhubungan seks (semakin jarang), tidur-bangun pagi, mengurus anak-anak, sarapan bersama, kecup kening, dan seterusnya, dan seterusnya, untuk selamanya.
Lalu korona hadir mengubah segalanya. Nyonya Kurniawan membiasakan diri dengan kehadiran suaminya di rumah, dua puluh empat jam bersama-sama, sembari mengatur siasat untuk mengontak Mas W di kota Y. Ponsel utamanya dia bongkar, siapa tahu ada nomor Mas W di situ: nihil. Nyonya Kurniawan sudah memindahkan nomor Mas W ke ponsel khusus pacar dan menghapus nomornya di ponsel utama Tidak ada jalan lain, Nyonya Kurniawan terpaksa melanggar aturan yang dibuatnya sendiri: mengontak Mas W lewat surel. Itu pun dia lakukan setelah hampir seminggu. Tidak ada waktu. Pekerjaan rumah, pekerjaan kantor, anak-anak yang belajar daring, semua jadi tanggung jawabnya. Nyonya Kurniawan kewalahan.
Surat yang dia kirim singkat dan formal, isinya menanyakan kabar dan meminta nomor ponsel. Hal ini merupakan langkah antisipasi: kalau suaminya kebetulan melihat layar laptopnya terbuka, dia akan mengira itu urusan pekerjaan. Dalam perselingkuhan, kau tahu, tidak ada istilah 'terlalu berhati-hati'. Dalam hitungan menit, Mas W di kota Y mengirim pesan, langsung ke ponsel utama Nyonya Kurniawan.
"Kok kamu bisa kirim pesan ke sini?"
"Aku hafal semua nomormu."
"Kenapa enggak dari kemarin-kemarin?"
"Kamu pernah bilang, dilarang kontak ke nomor ini, kan?" Mas W terkekeh. "Aku selalu mematuhi kamu dan aturanmu, meskipun aku tersiksa lantaran kangen setengah mati."
Maka hari-hari Nyonya Kurniawan kembali berwarna. Ia mengunduh aplikasi pesan yang bisa self-destruct dalam hitungan menit dan menyembunyikannya dengan password. Semua diatur secara rapi. Untuk sementara, mereka tidak bisa telepon, tidak bisa ketemu, dan tidak bisa video call dan harus puas dengan hanya berkirim pesan teks. Nyonya Kurniawan membawa ponselnya ke mana-mana: ke dapur, ke kamar mandi, ke ruang kerja, saat masak, saat belanja ke tukang sayur, saat menemani anak-anak belajar, dan saat tidur (ponsel ditaruh di bawah bantal).
"I miss you."
"I miss you, too."
Seorang penulis pernah berkata, "Jangan memasukkan hal-hal klise dalam karanganmu, biarkanlah klise menjadi urusan yang berhak: tukang foto."
Tetapi cinta, apa boleh buat, memang selalu klise.
Entah bagaimana Nyonya Kurniawan lupa menutup aplikasi pesan dan entah bagaimana Mas W mengirim pesan di malam hari saat kekasihnya sudah tertidur dan entah bagaimana Tuan Kurniawan kebetulan melihat ponsel istrinya menyala malam-malam ("ya ampun, kasihan sekali dia jam segini masih direpotkan urusan kerjaan") dan meraih ponsel itu dengan maksud mematikannya dan terbukalah pesan dari Mas W di kota Y: mesra, penuh gairah, romantis, penuh cinta....
Tuan Kurniawan murka. Ia bangunkan istrinya, dengan wajah merah, jantung berdegup kencang, air mata yang tak bisa lagi ditahan. Pengkhianatan. Kemarahan. Delapan tahun pernikahan. Dua orang anak perempuan. Dan akhirnya terucaplah kalimat itu:
"Kamu mau cerai?"
Nyonya Kurniawan diam.
"Anak-anak ikut aku."
Nyonya Kurniawan masih diam.
"Apa sih kurangnya aku?"
Nyonya Kurniawan memandang suaminya.
"Kamu tidur sama dia?"
Nyonya Kurniawan memeluk suaminya, menciumnya, terasa bibir Tuan Kurniawan bergetar menahan tangis. Nyonya Kurniawan bertahan. Dikecupnya terus bibir suaminya, dan ada rasa asin dari air mata yang mengalir, mengalir, dan membanjir.
Di kota Y, Mas W memandangi layar ponsel sambil tersenyum. Ia membaca ulang pesan yang baru saja dia kirim untuk kekasihnya: mesra, penuh gairah, romantis, penuh cinta....
Mungkin kekasihnya sudah tidur, dan akan membalas pesan itu keesokan paginya.
Keterangan:
*) dari tweet @sudjiwotedjo, 9 Agustus 2014
Andina Dwifatma penulis novel Semusim, dan Semusim Lagi (2013)
(mmu/mmu)