Karma

Cerita Pendek

Karma

Afryantho Keyn - detikHot
Sabtu, 04 Apr 2020 12:20 WIB
ilustrasi cerpen
Ilustrasi: Edi Wahyono/detikcom
Jakarta -

Bapak seorang dirilah yang menerima lautan pelayat. Diam-diam berutang ke mana-mana. Hingga kematian kakek genap seribu hari, pegawai bank mulai mampir dengan ancaman penyitaan rumah. Sementara Totu Kus tetap tak dapat dihubungi. Ia seakan bersembunyi di dalam hutan Malaysia, menghindari tanggung jawabnya sebagai anak tertua. Ia mulai merantau sejak aku masih berusia sebelas bulan, tetapi sama sekali tak mengirim kabar apa-apa sampai akhir hayat kakek.

Beruntung jati kakek telah berusia matang. Hasil penebangannya pelan-pelan melunasi utang. Kakek meninggalkan tanah luas tempat tumbuh ratusan jati, tanah yang seutuhnya sudah ia serahkan kepada kami, seturut wasiat yang bapak terima.

"Kakek sakit hati sampai mati karena ulah Totu Kus," berulang kali bapak mengatakan seperti itu.

Namun, kehidupan kami yang perlahan membaik harus kembali terusik setelah kepulangan Totu Kus yang tiba-tiba. Aku semula tak percaya jika Totu Kus kakak kandung bapak. Ia dan bapak sungguh berbeda. Tubuhnya tinggi dan gempal. Lima kali ayunan tangannya bisa saja mengancam hidup seseorang. Bekas jahitan menutup robekan panjang di pelipis kirinya. Konon ia dikeroyok di penjara Malaysia karena banyak memprotes dan susah diatur. Perawakannya sungguh menakutkan bagi anak SD sepertiku waktu itu.

Ia dan tahanan lain yang dideportasi karena tak berdokumen, diturunkan kapal TNI Angkatan Laut di Larantuka. Istrinya yang sebetulnya belum mati paspornya, terpaksa menyusul dengan kapal Bukit Siguntang, membawa tiga kotak besar berisi peralatan tukang, dari pahat paling kecil hingga mesin pemotong kayu. Ia ingin memulai kembali hidup mereka dengan membuka bengkel mebel. Merantau bertahun-tahun telah memberinya keahlian di bidang itu. Ia lalu membidik pohon-pohon jati di tanah peninggalan kakek.

Apa yang aku khawatirkan akhirnya terjadi. Tangan Totu Kus menyentuh bapak. Teriakan kepanikan ibu cepat mendatangkan orang-orang. Halaman sempit di antara rumah kami dan rumah Totu Kus penuh sesak. Bapak maju lagi ingin membalas, tetapi perkelahian itu cepat dilerai. Meski mulut berdarah-darah, bapak tetap tak melunak soal isi wasiat. Totu Kus apalagi. Ia lalu melapor masalah itu ke kantor desa keesokan harinya.

Setelah adu mulut yang panjang antara bapak dan Totu Kus, kepala desa akhirnya memutuskan tanah penuh jati itu dibagi dua sama luas. Mataku sembab bukan karena kekalahan bapak. Ia memang harus kalah sebab tak ada saksi yang turut mendengarkan wasiat kakek. Totu Kus sejak awal tak henti menuding bapak hanya mengarang cerita.

"Boleh senang tapi ingat karma!" telunjuk bapak menusuk lawan-lawannya.

***

Aku kelas dua SMP ketika orang-orang mengira karma itu benar-benar tiba. Totu Kus sakit keras. Pelirnya membengkak.

Rumah Opa Ola, sang dukun kampung, ramai. Orang-orang menunggu pengakuan Totu Kus sambil menggelar sebuah taruhan kecil. Masing-masing menyodorkan selembar lima puluh ribu rupiah disusul menyebut penyebab sakit Totu Kus.

"Rakus tanah!" Sebagian besar yakin pada ancaman bapak di kantor desa dulu.

Hanya Tiu Tobias yang menjagokan hal berbeda. Ia yakin Totu Kus telah berkali-kali menggauli Ina Perada, perempuan paruh baya yang kerap dikira janda, sebab suaminya merantau ke Malaysia sejak mereka baru menikah, tanpa berkabar dan pulang-apalagi memberikannya anak.

Petaruh lain ciut ketika Tiu Tobias menerangkan jika ia sering berpapasan dengan Totu Kus di kompleks rumah mereka. Rumah Ina Perada terletak di ujung jalan menuju pantai, tak jauh dari rumah Tiu Tobias. Totu Kus sering lewat di sana memikul pendayung dan keranjang alat pancing ketika hari mulai gelap. Padahal, ada jalan dari rumahnya menuju pantai, yang jauh lebih dekat, lebih wajar, dan tak menimbulkan kecurigaan.

"Baru, bukan sekali dua kali," cibir Tiu Tobias.

Terakhir kali setelah berpapasan, Tiu Tobias menyusul ke pantai. Sampan Totu Kus belum juga ditarik ke laut, masih dirantai dan digembok. Kecurigaan Tiu Tobias sempat hilang keesokan paginya disita tangkapannya yang melimpah sebelum istrinya yang baru pulang menjual ikan membawa cerita. Istri Totu Kus membeli banyak ikan, sebab ia ingin mempermalukan suaminya yang hanya membawa keranjang kosong setiap kali pulang melaut.

Tiu Tobias menang taruhan. Tak ada sakit yang datang karena karma tanah. Jika pun ada, siapa yang bisa melawan Opa Ola? Jika kau mengakui kesalahanmu sejujur-jujurnya pada laki-laki berjenggot keperakan itu, sesaat setelah hewan tumbal dikurbankan, sakitmu seketika lenyap!

***

Karma baru kembali ramai diperbincangkan empat tahun kemudian ketika aku tahun terakhir di SMA. Totu Kus membawa pulang sakit setelah berburu dari Otan. Kali ini jauh lebih keras.

Opa Ola pun seakan menyerah. Ia yakin, Totu Kus telah membuat seseorang yang lebih sakti darinya sakit hati. Lagi pula, tak ada pelir yang membengkak sebagai petunjuk Totu Kus telah meniduri perempuan. Tak ada satu pun keanehan pada bagian tubuhnya yang bisa dipakai menduga-duga. Hanya panas yang terus membara. Kerumitan makin bertambah karena Totu Kus seakan hilang kesadaran, terus menutup mulut, tak mengakui apa-apa.

"Mampus kau, binatang!" maki sanak Ina Perada. Mereka meyakini, karma tanah yang bapak ucapkan dulu benar-benar menyata. Saking senangnya, mereka sampai berkumpul di rumah kami, minum tuak bersama bapak merayakan penderitaan Totu Kus. Aku tak tega, benar-benar tak tega, memilih berlalu ke rumah sebelah.

"Dia harus akui salah! Itu jalan satu-satunya untuk selamat!" saran orang-orang yang datang menjenguk Totu Kus, termasuk Tiu Tobias dan komplotannya. Mereka pun diam-diam kembali menggelar taruhan. Sebagian besar kembali menjagokan masalah tanah. Mereka yakin tak meleset lagi. Sebagian lain yakin, nafsu penjahat kelamin itu kembali kambuh. Ia tentu kembali meniduri seseorang. Begitu pula Tiu Tobias. Ia menyebut sebuah nama yang membuat teman-temannya bergidik.

"Komar punya anak nona selalu jaga kebun sendirian di Otan."

Menjelang sore, istri Totu Kus meraung-raung dari dalam kamar. Opa Ola telah berterus-terang. Suaminya mungkin tak akan bisa bangun lagi. Ia menarik-narik kerah baju suaminya dengan segenap kesedihan bercampur kemarahan, berharap ada suara yang terdengar di saat-saat terakhir itu.

***

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Ia akhirnya mati setelah menderita sakit yang cukup lama. Aku menerima kabar duka itu ketika sedang menjalani KKN di pelosok Yogyakarta. Aku tak begitu terkejut. Barangkali beginilah cara karma bekerja: berlama-lama membiarkan seorang pendusta menderita, sebelum akhirnya mencabut hidupnya yang merupakan tumbal satu-satunya.

Bapak sendirilah yang menerima lautan pelayat. Diam-diam berutang ke mana-mana. Ia berjalan di sisiku sepanjang perarakan ke pemakaman. Ketika riwayat hidup mulai dibacakan, ia menggenggam tanganku erat-erat. Sampai peti diturunkan ke liang kubur, aku tetap tak bersedih. Mungkin karena merasa beruntung, mendapati diriku tak berurusan sama sekali dengan karma.

Sepuluh tahun lalu, aku bocah kelas lima SD yang telah mengambil keputusan besar dengan tepat: melawan perintah untuk menjadi saksi wasiat palsu! Ketika mulut kubur ditutup pun aku tetap tak merasakan keharuan apa-apa, sementara orang-orang makin memasang wajah duka yang seakan tak habis-habisnya.

Sebulan lalu pun kampung berduka. Tiu Tobias, petaruh andal itu, mati setelah kelaminnya hancur membusuk. Dari Opa Ola, orang-orang akhirnya tahu, Tiu Tobiaslah penjahat kelamin sesungguhnya. Ina Perada ternyata simpanannya. Sementara Alina, anak Komar, boneka mainannya.

Kematian Tiu Tobias baru kudengar tadi dari cerita para pekerja di bengkel mebel ketika memeriksa kesiapan peti. Mereka diperintah menghasilkan peti terbaik. Majikan mereka seorang laki-laki tinggi gempal yang dulu dibuat sakit hampir mati hanya karena anak panahnya meleset dari babi hutan, malah berbelok ke kandang kambing Komar, menghunjam seekor. Mereka memanggilnya Bos Kus. Aku memanggilnya bapak.

Nuhalolon, Maret 2020

Afryantho Keyn bermukim di Nuhalolon, Flores Timur, Nusa Tenggara Timur. Cerpennya tergabung dalam buku antologi Tsunami! Tsunami! (2018)

ADVERTISEMENT

Redaksi menerima kiriman naskah cerpen, tema bebas, disesuaikan dengan karakter detikcom sebagai media massa umum yang dibaca semua kalangan. Panjang naskah sebaiknya tidak lebih dari 9.000 karakter, karya orisinal dan belum pernah diterbitkan di media lain. Kirim ke email mumu@detik.com




(mmu/mmu)

Hide Ads