Hidup ini Pendek, Tapi Kesepian Sangat Panjang

Cerita Pendek

Hidup ini Pendek, Tapi Kesepian Sangat Panjang

Hari Niskala - detikHot
Minggu, 29 Mar 2020 12:25 WIB
ilustrasi cerpen
Ilustrasi: Edi Wahyono/detikcom
Jakarta -

Disodorkannya sepiring nasi untuk saya makan, tapi saya enggan, justru memilih mengawasi sepasang matanya yang mengantuk dan berat untuk dibuka lebih lebar. Mata yang kesepian itu tak pelak membikin saya iba dan mengurungkan makan siang kali ini. Tak berapa lama kemudian saya dapat lihat ia memutar kran untuk sekadar membasuh mukanya yang resah dan kehilangan daya hidup itu. Sesaat saja ia tersenyum, memandangi saya yang keheranan, lalu tak lagi peduli, melangkah ke dalam sembari bersiul-siul lagu Menghapus Jejakmu.

Sesayup suara radio dapat saya dengar sembari mengunyah nasi pemberiannya. Entah mengapa nasi ini berasa lain dari nasi-nasi sebelumnya, lebih enak dan meluncur demikian lancarnya melintasi kerongkongan. Udara sejuk dan kicauan merdu burung-burung membikin selera makan saya membaik, kendati di beberapa bagian tubuh saya masih mengangakan luka selepas pertarungan kemarin. Tak apa, ya, tak apa, untung saja saya menang, dan saya masih merasa menjadi makhluk paling berbahagia. Dan lagipula, rumah ini sedang sepi, hanya ada saya dan majikan saya yang dalam beberapa tahun terakhir menjadi sosok pemurung.

Ya, saya menyebutnya majikan, entah sejak kapan. Padahal jika dikalkulasi, ia jauh lebih banyak melayani saya ketimbang saya melayaninya. Tiap pagi dan sore ia membikinkan makanan dan minuman, sekali-dua-tiga menyuapi saya, mengobati bagian tubuh saya yang ditimpa borok, dan tak segan mengelus-elus punggung dan kepala saya dengan penuh cinta. Saya merasa itu berlebihan, tapi mau bagaimana lagi, saya tak dapat serta merta menolak apalagi menghindar.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Jika di kemudian hari ada seseorang yang bertanya apakah saya menyayanginya, saya tak akan ragu menjawab bahwa saya sangat-sangat-sangat menyayanginya. Dan sungguh durhaka dan terkutuklah saya jika tak berbuat sebagaimana ia mencurahkan perhatian dan kasih sayangnya kepada saya.

Bersamanya saya telah lewati hari-hari terang dan gelap. Saya turut menyaksikan bagaimana sepuluh tahun yang lalu istri dan anak perempuannya pergi meninggalkannya kala ia terpuruk. Namun beberapa tahun sebelumnya ia sempat merasai hidup sebagai orang yang cukup terpandang karena kekayaannya, dihormati, dan jadi buah bibir seantero desa, bahkan pernah dinobatkan sebagai tokoh teladan kendati usianya masih terbilang amat muda. Tiga puluh enam tahun kala itu. Di saat-saat tertentu ia juga merelakan diri menjadi donatur tunggal dalam perhelatan besar hajatan desa, hanya dari sebuah toko kelontong yang dikelolanya bersama beberapa anak buah.

ADVERTISEMENT

Toko kelontong kepunyaannya adalah yang paling maju, juga terbesar di antara toko kelontong-toko kelontong yang hanya menjual barang-barang yang lumrah menghuni kebanyakan toko kelontong. Bayangkan saja, toko kelontong yang saya ceritakan ini bukan hanya menjual aneka sembako atau perlengkapan mandi, namun juga piranti elektronik dan aneka peralatan melukis dan beberapa bahan bangunan dan berbagai jenis pakan ternak serta buku-buku kesusastraan.

Saya tak habis pikir, tapi percayalah, ia dapat menyerap tenaga kerja lebih mudah daripada yang dapat kita lihat di iklan lowongan pekerjaan perusahaan-perusahaan besar. Tanpa mensyaratkan ijazah sekolah atau tampilan fisik "menarik" dari calon karyawannya, ia menerima begitu saja lima belas orang yang dianggapnya ulet dan bertanggung jawab.

Ia memang tak salah memilih lima belas orang itu, sebab semuanya benar-benar sanggup melayani pembeli dengan cara paling ramah. Dua-tiga-empat dari mereka ada yang secara khusus ditugasi memijiti pelanggan yang datang dengan menampakkan wajah lesu, maka tak diragukan lagi toko kelontong itu mengundang pelanggan lebih banyak, dan tentu saja majikan saya memanen pemasukan lebih banyak dari sekadar yang dapat ia bayangkan sebelumnya. Dari situlah ia kemudian mengenal saya, menawar saya dengan harga tinggi, lalu membawa saya pulang ke rumahnya yang berukuran lebih besar dari rumah kepala desa.

Apakah saya senang? Tentu saja. Tiap pagi dan sore ia mendongengi saya perihal kesuksesannya meraup pundi-pundi, juga kisah-kisah lucu mengenai lima belas karyawannya yang sering bertingkah konyol demi menyenangkan hati para pelanggan. Lalu di suatu sore, tak kurang dari dua jam saya dibikin tertawa oleh cerita-ceritanya, dan acara mandi sore itu jadi demikian syahdu kala majikan saya memercikkan air ke tubuh saya sembari bernyanyi lagu My Heart Will Go On dengan suaranya yang parau dan sumbang dan nir-penghayatan. Ah, tapi saya dibikinnya terharu dengan nyanyian itu, semenjengkelkan apapun bunyinya.

Perhatiannya yang keterlaluan itu sempat membikin istrinya cemburu, juga anaknya yang kala itu berusia enam tahun, dan mereka pernah berniat menggorok leher saya. Seketika itu juga saya kehilangan selera makan, dan baru pulih tiga hari kemudian, sebab pada akhirnya saya masih diperbolehkan hidup. Dan pada malam-malam berikutnya majikan saya dan istrinya kembali akur.

Sesekali saya dapat mendengar erangan dan lenguhan kala mereka bercinta, juga suara derit dipan yang menopang tubuh-tubuh berpeluh yang saling menekan selama beberapa menit itu. Saya tak dapat tidur hingga beberapa jam kemudian, sementara mereka telah pulas selepas berjibaku. Diam-diam saya mulai menyimpan berahi, tapi saya mesti menunggu hingga menemukan betina yang layak saya setubuhi.

Namun sebelum keinginan itu tercapai, saya dipertemukan dengan kenyataan yang mengejutkan dan menyayat hati. Di suatu Minggu sore ia membawa saya ke pasar induk tak jauh dari stasiun kereta yang sudah lama tak beroperasi. Di belakang pasar telah berkumpul banyak orang, tak terkecuali seorang anak yang mengenakan celana seragam sekolah berwarna merah hati. Ini bukan hari masuk sekolah, tentu saja, tapi anak bercelana merah hati itu adalah yang pertama-tama saya ingat dari kerumunan orang-orang itu.

"Mulai hari ini kau mesti berlatih," ucap majikan saya.

Saya tak dapat menolak, pun ia tak menarik kata-kata yang berlaku nyaris seperti perintah suci bagi saya itu. Sore yang hangat, suara tepuk tangan yang meriah, dan aroma sayuran busuk dan beberapa pasang mata itu menjadi saksi yang menerangkan betapa saya masih sangat hijau. Saya tak mampu mengelak maupun menangkis serangan lawan yang sedang saya hadapi. Betapa tidak, ia bertubuh lebih besar, dan tampak dari sorot matanya bahwa ia adalah sosok yang berpengalaman. Lima belas menit saja wajah saya dibuat babak belur, tak dapat bernapas, dan persendian saya serasa dijatuhi beton besar.

Tak mau lagi main-main, saya memutuskan lari meninggalkan lawan tak sepadan itu. Orang-orang yang berkerumun itu menertawakan saya, kecuali majikan saya; ia hanya menggeleng-gelengkan kepala, lalu memberi kata-kata penghiburan demi meredakan sengkarut saya.

"Tak apa. Besok berlatihlah lebih giat. Aku akan memberimu makan lebih banyak," ucapnya sebelum mencium bagian wajah saya yang lebam.

Basa-basi yang menyenangkan, pikir saya, dan saya hargai usahanya memberikan penghiburan. Namun alangkah menyebalkan, sebab ia tak juga tahu betapa saya memerlukan lawan jenis demi menyalurkan berahi. Ia tak tahu betapa menderitanya terkurung berhari-hari --hanya mendapat makanan dan minuman dan suplemen kesehatan-- tanpa mendapatkan kesempatan berkembang biak.

Maka di waktu-waktu menjemukan itu saya lebih banyak melamun dan membayangkan sesosok betina yang cantik, yang jika saya setubuhi akan berpura-pura cerewet dan memberontak, tapi diam-diam dalam hati mengakui keberadaan saya sebagai pejantan idaman. Saya bayangkan pula betina lain, yang baru tumbuh dewasa layaknya bunga baru mekar, yang jika saya setubuhi akan berkaok demi melindungi keperawanannya, lalu diam-diam minta tambah pada keesokan harinya.

Itulah kemewahan satu-satunya-membayangkan perkara-perkara menyenangkan yang jadi naluri dasar saya, sebab saya tak bisa berpelesiran seperti yang banyak dilakukan oleh majikan saya di akhir pekan. Ya, di akhir pekan itu, juga akhir pekan-akhir pekan yang lain, majikan saya akan mengajak lima belas anak buahnya minum-minum di sebuah tongkrongan mewah di dekat pusat kota. Mereka boleh makan apa saja, berkaraoke di ruang VIP, lalu memesan minuman beralkohol beraneka jenis.

Mereka kemudian akan mabuk, dan saat waktu mendekati tengah malam, sebuah truk akan mengantar tubuh-tubuh mabuk itu ke rumah atau tempat kos masing-masing. Truk yang sebenarnya biasa beroperasi mengangkut pasir itu telah jadi langganan majikan saya demi menggenapi pesta akhir pekannya. Setelahnya, para anak buah itu akan bekerja kembali pada Senin hingga Sabtu sore. Begitulah hari kerja dan pesta minuman keras telah diatur berdasarkan jadwal yang telah disepakati.

Tak hanya pesta minuman keras, ada kalanya mereka menonton konser dangdut dan menyewa seorang biduan untuk menemani tidur salah satu atau dua dari mereka-anak buah-anak buah yang kebanyakan masih lajang itu. Tapi tidak dengan majikan saya. Majikan saya adalah seorang yang memegang teguh ikrar pernikahan, dan tak terbersit satu keinginan pun untuk berselingkuh, walau terkadang ia pernah bunya pikiran berpoligami.

Suatu hari ia pernah minta izin pada istrinya agar dibolehkan meminang istri kedua, namun sang istri tak mengizinkan, dan majikan saya tak sampai merengek agar permintaannya diluluskan. Ia makin menyayangi istrinya, juga anaknya yang perlahan tumbuh menjadi gadis remaja.

Ia juga makin menyayangi saya, membikin badan saya lebih gemuk, dan melatih saya bertarung secara rutin. Hingga kemudian saya tahu, ia ingin kembali membangkitkan kegemarannya di masa remaja. Kegemaran yang bukan sembarang kegemaran, yakni berjudi di arena sabung ayam. Ia ingin manyalurkannya lagi, memunguti serpihan itu dan melibatkan saya lebih jauh. Dan lagi-lagi saya mesti bertarung, bukan sekadar latihan, namun lebih menyerupai sayembara yang memperebutkan hadiah besar.

Majikan saya telah mempercayakan sayembara itu untuk saya menangi, dan saya tidak mau membikinnya kecewa. Saya memenangkan pertandingan pertama dan kedua, lalu saya dipaksa berlatih lagi tanpa ia tahu luka-luka di tubuh saya belum sembuh. Ia dan kawannya yang bernama Benu Buntung kemudian membikin persekongkolan, membawa saya pada seorang dukun ilmu hitam yang hidup di kampung J, semata-mata agar tubuh saya lebih kuat dan tahan pukul.

Setelahnya, bisa ditebak, saya mulai merasa aneh dengan tubuh saya sendiri. Ada sesuatu yang tiba-tiba membikin tubuh saya sangat ringan, namun tiap kali saya memukul lawan, lawan itu akan terseok dan tak lagi berani memandang mata saya. Saya jadi lebih percaya diri. Lalu, adakah yang dapat mengalahkan saya?

Rupanya getah dari sesumbar itu mengenai diri saya sendiri. Di pertarungan berikutnya saya kalah dari piaraan seorang polisi bernama Bajuri Pistol, kendati saya sempat menghajarnya hingga sepuluh kali. Ia hanya memanfaatkan kelengahan saya yang merasa hampir menang, lalu tanpa saya sadari tajinya yang runcing menyerang leher saya hingga saya tak dapat lagi meneruskan pertandingan. Harus saya akui saya ceroboh, dan majikan saya mulai kecewa pada kecerobohan saya. Majikan saya mesti merelakan beberapa lembar uangnya masuk ke kantong Bajuri Pistol.

Beberapa bulan kemudian majikan saya kembali mendaftarkan saya di sayembara, kali ini dengan jaringan yang lebih besar, dengan taruhan besar dan hadiah yang jauh lebih besar. Disangkanya saya akan memenangi sayembara ini, namun ia salah; saya tak kuat terus-menerus bertanding dengan jadwal yang amat padat. Saya tersingkir di pertandingan kelima. Maka sekali lagi, majikan saya mesti merelakan uang taruhannya yang besar itu masuk ke kantong seorang bandar. Dengan demikian kepercayaannya pada saya telah berakhir. Namun ia masih saja berjudi dengan mempercayakan taruhannya pada ayam Bajuri Pistol.

Ia yang telanjur kepincut dengan ayam Bajuri Pistol kemudian membeli ayam itu dengan harga sangat tinggi, setara dengan gaji lima belas anak buahnya dalam satu bulan. Saya tak habis pikir, mengapa majikan saya rela membelanjakan uang demikian besar hanya untuk mendapatkan binatang dari golongan saya itu?

Kini saya mafhum, bahwa manusia tak bisa dengan mudah lepas dari perjudian. Dan majikan saya, kendati telah gagal beratus-ratus kali, masih saja tak mau jera dan terus diliputi penasaran akan kemenangan yang entah kapan datangnya. Tak puas dengan ayam yang dibelinya dari Bajuri Pistol, ia mendatangkan lagi ayam-ayam lain. Halaman depan yang semula hanya diisi bunga alamanda dan melati dan kenanga hasil istrinya menanam bertahun-tahun perlahan berubah.

Kurungan-kurungan ayam berjumlah lebih dari dua puluh buah lebih banyak terlihat, menutup pemandangan bunga-bunga, mengonggok bersama ayam-ayam jantan yang sekali-dua berkeruyuk pamer suara. Sang istri sering cerewet hanya agar majikan saya memindah kurungan-kurungan itu ke halaman belakang, tapi tak digubris. Bau tahi ayam dan konsentrat sering terbang ke udara bebas, membikin para tetangga diam-diam menutup hidung sambil menggunjingkannya. Tak lama kemudian citra tokoh teladan yang semula dielu-elukan padanya berangsur-angsur memudar seiring dengan makin merebaknya bau tak sedap di pekarangannya.

Selagi majikan saya mendapat cibiran dari para tetangga, saya bisa sekali-dua menyetubuhi betina-betina yang kebetulan lewat. Saya tak peduli biarpun mereka hanya betina kampung, asal libido saya terpuaskan, itu saja. Lalu belakangan saya sadari bahwa keadaan telah banyak berubah. Majikan saya tak lagi memperhatikan saya, dan ayam-ayam baru itulah yang kemudian jadi perhatiannya. Saya menaruh sedikit iri pada mereka, tapi saya nikmati saja, toh saya masih dapat jatah makan sehari dua kali. Toh ia tak lagi terlalu mengungkung kebebasan saya, termasuk dengan siapa saya mesti bersetubuh.

Dalam masa-masa senang itu saya dapat nikmati tubuh saya yang makin gemuk, sementara majikan saya justru bertambah kurus akibat terlalu sering begadang. Beberapa orang berganti-ganti bertamu pada majikan saya, satu di antaranya adalah Bajuri Pistol. Tiap kali mereka mengobrol, saya selalu tak mengerti. Dan apa yang tersimpan di balik mata mereka yang resah adalah teka-teki tersendiri bagi saya. Jiwa binatang saya sama sekali tak ingin menaruh curiga atau apa pun yang berkaitan dengan dua orang bersahabat itu.

Dua minggu kemudian kota dilanda sebuah wabah aneh yang menewaskan banyak unggas. Beberapa unggas di rumah majikan saya pun mati. Beberapa yang masih tersisa, yang terbangun di pagi hari, belum tentu dapat melihat waktu sore. Kebanyakan dari mereka akan mati dengan tubuh kaku dan mata membelalak, juga suhu tubuh yang tinggi seperti terkena demam. Bagi saya itu adalah hal wajar, dan tak lama lagi saya juga akan menyusul binatang-binatang yang jadi bangkai itu.

Di sisi lain, pemandangan orang bermasker sama sekali tak perlu diherankan, sebab diam-diam saya pun bermasker mengikuti tren orang-orang yang takut terjangkiti demam unggas itu. Burung-burung dan bebek-bebek --yang tak pernah berpikir mengenakan masker-- kemudian sama mengatur siasat agar demam itu segera selesai. Namun sebelum siasat itu diwujudkan, mereka telah jadi bangkai, kemudian dibakar bersama sampah-sampah plastik di dekat lapangan bola.

Unggas-unggas itu, juga ayam-ayam yang biasa menghiasi halaman depan rumah majikan saya, habis tak bersisa. Namun, entah mengapa, saya adalah satu-satunya yang selamat hingga wabah itu pindah sama sekali ke kota lain. Saya tak dapat mengingat dengan baik, namun yang saya tahu badai demam unggas itu turut mengiringi cerita hidup majikan saya. Entah bagaimana bisa toko kelontongnya yang megah dan unik itu bangkrut, ditambah lagi lima belas anak buahnya pergi meninggalkannya. Juga istri, juga anak gadisnya yang akan memasuki usia sembilan tahun.

Ia kemudian dilanda murung hebat selama beberapa purnama, lalu diam-diam merencanakan sebuah bunuh diri yang kemudian gagal. Saya sengaja menggagalkan usahanya memotong nadi di pergelangan tangan. Ya, saya berlari menyerbu dan segera mematuk sebelah tangannya yang memegang pisau hingga ia menjatuhkannya ke tanah. Dengan kesadaran dan penyesalan ia lalu menangis, lalu pada saat itulah Bajuri Pistol datang dan membelikannya minuman keras.

Mereka berdua mabuk dan bernyanyi-nyanyi lagu sedih hingga tak sadarkan diri. Lalu jika Bajuri Pistol tak bertamu, majikan saya hanya akan membeli minuman keras murahan yang ia tampung dalam sebuah jerigen plastik. Sambil mabuk dan menuangkan isi jerigen ke mulutnya, saya sering mendengar ia melantunkan lagu-lagu rindu sambil menangis, lalu ia memanggil-manggil nama anaknya.

"Aku rindu anakku, tapi entah mengapa aku tak merindukan istriku," ucapnya dibarengi sendawa berat.

"Berapa usiamu, ayam? Ah, berapa pula usia anakku sekarang?"

Sambil menghitung dengan jari ia menyerang saya dengan tatapan sayu, namun tak lama kemudian pergi dengan langkah sempoyongan. Saya hendak menjawab pertanyaannya, namun saya tak tahu berapa usia anaknya sekarang, tapi yang pasti anaknya telah tumbuh menjadi seorang gadis dewasa, itu pun jika masih hidup.

"Anakku pasti masih hidup, ayam. Jangan kau berpikiran yang tidak-tidak!" teriaknya dari dalam rumah.

Kalaupun anaknya memang masih hidup, saya sengaja menyusun cerita ini agar anak itu sudi menengok ayahnya yang sebatang kara dan sering murung. Setidaknya anak itu perlu tahu bahwa ayahnya bukan orang jahat --kebetulan saja ia hanya doyan mabuk dan gila judi. Tapi apa daya saya, anak itu telanjur membela ibunya yang tega memberikan sertifikat toko kelontong kepada selingkuhannya. Ya, demikianlah, saya pernah menemani majikan saya itu melabrak dan memukuli Benu Buntung kala bergandengan mesra dengan istri majikan saya. Saya masih tak dapat mengira, mengapa pengkhianatan selalu hadir menimpa cerita manusia.

"Biarlah, ayam, biar saja. Hidup hanya sependek ini," ucapnya pada saya sembari memamerkan jari kelingkingnya.

Saat itu saya benar-benar tak paham, namun beberapa hari yang lalu majikan saya itu menerangkan maksudnya melalui sebuah ungkapan berbahasa Latin: Vita Brevis, Ars Longa. Saya berusaha mengingat-ingat kalimat asing itu, namun tetap saja nalar pikir dan daya ingat saya hanya sekuat tahi yang keluar dari anus. Dan sebelum saya menutup cerita ini, majikan saya mengulang ungkapan itu dengan gaya berbeda: Vita Brevis, Suwung Longa. Saya hanya bisa celingukan memandangi sekeliling yang berubah hening.

"Hidup ini pendek, tapi kesepian yang melingkupinya sangat panjang. Bravo orang-orang kesepian!" pungkasnya seraya menuangkan isi jerigen ke dalam mulut.

21:01
27012020

Redaksi menerima kiriman naskah cerpen, tema bebas, disesuaikan dengan karakter detikcom sebagai media massa umum yang dibaca semua kalangan. Panjang naskah sebaiknya tidak lebih dari 9.000 karakter, karya orisinal dan belum pernah diterbitkan di media lain. Kirim ke email mumu@detik.com




(mmu/mmu)

Hide Ads