Sejak datang, kamar yang ada di belakang itu sudah membuatku bertanya-tanya. Untuk sampai ke depan pintunya, yang tidak pernah terbuka sejak aku datang, mesti turun tiga anak tangga dari samping kamar mandi, sehingga ketinggian lantainya yang paling rendah dan paling dekat dari permukaan air laut. Dari sana selalu terdengar suara batuk yang aneh; aku katakan aneh, karena suara batuk seperti itu tidak pernah kudengar sebelumnya.
Ada pula usikan lain yang membuat mata sulit memicing dan telinga dibuat waspada sepanjang malam. Papan lantai rumah panggung sepupuku ini di beberapa tempat agak renggang, sehingga gerak air laut di bawah dapat terlihat. Di samping suara embus angin dari laut lepas di belakang rumah menggidikkan, ombak juga tak henti menggoyang tiang-tiang rumah.
Esoknya ketika kuceritakan, sepupuku tertawa. "Sudah sepuluh tahun kami di sini. Dua ponakanmu kami produksi di rumah ini. Dan kami baik-baik saja," ujarnya sambil terkekeh.
Untuk sampai rumahnya, mesti melewati gang di samping pasar ikan. Kelok gang yang hanya bisa berpapasan sepeda motor itu, kureka-reka ada seratus meter, dengan deretan rumah panggung di sisinya yang didirikan tanpa tataan. Setiap teras rumah dihubungkan titian kayu; baik antar-rumah, maupun dari rumah ke badan gang, karena air laut sampai di bawah kolong rumah.
Rumah sepupuku paling belakang, di ujung gang. Kuduga ia dan keluarganya yang paling belakang datang bermukim, sampai mendapat kaveling terujung pada perkampungan di atas air itu.
Sudah lima belas tahun rentang waktu memisahkan kami, sejak ia merantau ke Kalimantan, meninggalkan kampung kami di pesisir selatan Sulawesi. Selepas empat puluh hari ibu mertuanya meninggal, ia mengadakan kenduri sunatan anak keduanya. Meski sudah sepekan lewat, kedatanganku tetap kumaksudkan untuk itu, seraya mengisi waktu luang selepas wisuda.
Lantai kayu rumahnya berundak-undak. Setiap peruntukan lantai berbeda ketinggian tiga anak tangga. Lantai tempat tiga kamar berjejer setinggi ruang keluarga. Tiga undak turun dari situ bila ingin ke ruang makan dan dapur. Di sisi dapur, turun tiga undak, terdapat kamar mandi, dan mesti turun tiga undak lagi bila ingin ke kamar yang sedang kuceritakan ini.
Ditempatkan terpisah dengan kamar lainnya, berada paling belakang dan paling bawah, membuatku merasa kamar itu agak lain. Sekira ada jendela di dinding belakangnya, tentu betapa deras angin dari laut lepas mengenainya. Dan bila air pasang, atau ombak sedang tinggi, bisa jadi lantainya terendam air laut.
Aura aneh kamar itu makin terasa karena suara batuk --kian menjadi-jadi saat malam hari-- yang aku katakan tidak seperti yang biasa kudengar.
***
Saat matahari meninggi dan gerah mulai memerangkap, aku dibuat terkejut dengan tambahan suara lain dari kamar itu. Ada suara ribut, seperti sesuatu yang dihempas-hempas ke lantai papan. Merasai getar badan rumah yang diakibatkannya, sontak aku menduga-duga sesuatu itu berukuran cukup besar. Tak tahan berspekulasi, kusisihkan rasa sungkan dan bertanya, "Yang tidur di kamar belakang itu, siapa?"
Sepupuku tidak menjawab, pun istrinya. Keduanya hanya tersenyum dan berkemas-kemas hendak ke pasar. Sepupuku punya sepetak tempat menjual di los ikan. Istrinya juga punya kios tempat berjualan kopi seduh dan teh. Kedua anaknya yang masih SD, telah lebih dulu ke sekolah.
Sekalian ia mengajakku jalan-jalan ke pasar. "Dari pasar, kamu bisa keliling-keliling ke kota. Di depan pasar, banyak ojek kenalanku bisa mengantarmu."
Meski sudah dua malam di sini, perjalanan laut yang juga dua hari dua malam masih membuat langkahku seakan oleng. Seharusnya aku di rumah saja tiduran. Namun, suara-suara aneh dari kamar belakang yang tak henti-henti membuatku memilih ikut ke pasar. Sukar menepis rasa takut tinggal sendirian di rumah.
***
Tak tahan menanggung kantuk, akhirnya aku pulang duluan, mumpung anak-anak sepupuku juga sudah pulang dari sekolah. Sebelum masuk kamar, refleks aku menoleh ke kamar belakang itu. Entah kenapa aku bergidik. Untung kamar yang kutempati ada kamar mandinya sendiri, jadi tidak perlu mendekat ke sana bila ingin berkemih. Agak geli, aku berharap dua ponakanku itu tidak tahu, agar tidak berkomentar, "Om ternyata cowok penakut, ya?"
Aku berdiam saja di kamar, tak juga memicing mata, karena dari belakang tak henti-henti pula terdengar 'sesuatu' yang dihempas-hempas ke lantai papan. Aku baru bernyali keluar dari kamar ketika sepupuku dan istrinya pulang. Istri sepupuku sedang memotong-motong ikan besar di lantai dapur, kemudian sepupuku memasukkan potongan-potongan ikan itu ke dalam baskom dan membawanya turun ke kamar itu.
Kulihat sepupuku merapatkan pintu kamar itu. Bersela jenak saja, suara gaduh dari sana tidak terdengar lagi. Malamnya, ketika kami mengopi di teras rumah, barulah sepupuku mengurai sedikit misteri kamar belakang itu.
"Itu kamar nenek mertuaku."
Kian bingung, aku bertanya, "Tubuhnyakah yang selalu dihempaskan ke lantai?" Kupikir sekuat apa seorang perempuan tua, sampai hempas tubuhnya bisa menggetarkan badan rumah?
Sepupuku tertawa. "Seperti itulah caranya menunjukkan kekesalan. Biasanya bila ada maunya yang tidak terpenuhi. Mungkin dia bosan makan telur lalu ingin ikan yang jenisnya lain dari yang biasa kami berikan. Atau, biasa juga kalau merasa gerah dan ingin mandi. Kujarangkan mandinya, karena beberapa hari ini dia batuk. Makin berumur, kesehatannya makin gampang terganggu. Eh, besok-besoklah kuceritakan yang lengkap, sudah larut malam ini."
***
Merasa mulai membiasakan diri, berumah di atas air ternyata bisa juga nyaman. Tiupan angin yang masuk lewat celah atau lubang dinding papan, dengan nada-naik turun, pada malam keempat mulai terasa serupa siulan menyenyakkan. Aku terbangun, meski belum terlihat terang langit, karena di luar kedengaran ada aktivitas yang lebih sibuk dari kemarin-kemarin.
Mulai menjadi kebiasaan bila keluar dari kamar, langsung aku menatap ke kamar belakang. Kulihat pintunya sedikit terbuka. Sepertinya ada pula kesibukan di dalam sana; aku mendengar ada suara air yang disemprotkan.
Aku mendekat, tapi tidak turun ke lantai dapur. Istri sepupuku yang sedang memasak menjelaskan, "Nenek sedang dimandikan."
Dari sumber air di dekat dapur, ada slang terulur masuk ke kamar itu. Jadi seperti itu cara memandikan nenek mertuanya: disemprot air langsung dari slang!
Sepupuku keluar dan tersenyum begitu melihatku. Tentu ada rona idiot di wajahku yang ia lihat. "Waktu masih hidup, ibu yang lebih sering memandikan mamanya itu. Sekarang hanya aku dan kakak iparmu yang mengurus. Kalau ponakanmu, malah pada takut, mendekat saja tidak berani. Padahal itu moyangnya sendiri," jelasnya.
Lanjutan penjelasannya malah membuat idiotku bertambah, "Sebenarnya, sudah tiga kali kami pernah membawa, atau lebih cocok dibilang memulangkan, nenek itu ke habitat sebenarnya. Anehnya, atau misteriusnya, saat kami sampai di rumah, dia malah sudah lebih dahulu tiba di kamarnya yang ada di belakang itu."
Kulirik jam. Pagi ini jadwal kapal Pelni yang akan kutumpangi pulang. Menjadi penumpang kapal tentu harus tepat waktu tiba di pelabuhan, kalau tidak mau ditinggalkan. Aku mesti segera berkemas.
"Lain kali kamu datang, tinggallah lebih lama. Banyak misteri yang mau kuceritakan di seputar kehidupan nenek kami itu. Jangan sekarang, butuh waktu sampai di pelabuhan, kamu bisa ketinggalan kapal," bilang sepupuku sekalian menggoda, "Biar kamu juga penasaran, dan nanti bela-belain mau datang lagi ke sini. Nah, sebelum pulang, ayolah, kamu berkenalan dulu dengan nenek. Dia pasti tahu kedatanganmu. Bisa jadi dia rewel, sampai menghempas-hempaskan tubuh, karena ada tamu jauh dari pulau seberang, tapi tidak pernah menengoknya."
Sepupuku ternyata bisa membaca yang sedang kupikirkan; aku memang ingin sekali melihat neneknya itu.
"Apa kamu tidak pernah mendengar cerita tentang to ri wae?" tanyanya, ketika dengan sangat hati-hati aku menuruni tiga anak tangga menuju kamar itu.
"Umumnya to ri wae dilahirkan kembar. Kembarnya tetap berwujud manusia. Jarang yang mengaku melihatnya langsung ketika lahir. Orang-orang tua hanya bilang, to ri wae itu menyusul setelah saudara kembarnya yang manusia lahir. Kata mereka, besarnya hanya seperti cicak."
Di kampung, aku memang pernah mendengarnya, tapi kupikir itu hanya dongeng.
"Nenek istriku di dalam kamar itu to ri wae. Saudara kembarnya, yang manusia, meninggal empat tahun lalu. Usianya ketika meninggal, menurut hitungan keluarga istriku, sembilan puluh tahun lebih. Berarti nenek yang ada di dalam itu, usianya juga segitu."
Jadi selama ini cerita orang-orang tua tentang to ri wae, yang aku pikir cuma dongeng itu, ternyata memang ada! Kurasai tubuhku jadi gemetar.
"Dia sedang tidur," bisik sepupuku, setelah mendorong pintu. "Sehabis dimandikan, tidurnya memang sangat lelap."
Sepupuku masuk lebih dulu. Aku hanya berani sampai di dekat pintu. Saat melihatnya, refleks kubekap mulut menahan kaget. Di dalam sana, sedikit agak ke pojok, aku melihat seekor buaya besar.
Catatan:
To ri wae (Bahasa Bugis) adalah penamaan yang dilekatkan pada 'buaya tertentu' yang diyakini sebagai manusia meski berwujud buaya. Frasa to ri wae arti harfiahnya 'orang di air'.
Pangerang P. Muda menulis cerpen di beberapa media cetak dan daring. Buku kumpulan cerpen terbarunya Tanah Orang-Orang Hilang (Basabasi, 2019). Mengajar di SMK dan berdomisili di Parepare
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Redaksi menerima kiriman naskah cerpen, tema bebas, disesuaikan dengan karakter detikcom sebagai media massa umum yang dibaca semua kalangan. Panjang naskah sebaiknya tidak lebih dari 9.000 karakter, karya orisinal dan belum pernah diterbitkan di media lain. Kirim ke email mumu@detik.com
(mmu/mmu)