Tuan Black dan Nyonya Grey

Cerita Pendek

Tuan Black dan Nyonya Grey

Eni Lestari - detikHot
Sabtu, 07 Mar 2020 11:04 WIB
ilustrasi cerpen
Ilustrasi: Edi Wahyono/detikcom
Jakarta -

"Cocok sekali. Tuan Black. Sangat menyukai warna hitam."

"Dan, Anda. Nyonya Grey. Sangat menyukai warna abu-abu."

Tubuh tua mereka berguncang karena tawa. Lelucon garing perihal nama itu menyingkap kekakuan keduanya.

Lalu, seperti kawan lama, mereka berbincang tentang apa saja-tentang Andromeda, Roald Dahl, mural di dinding sebelah stasiun, bahkan tentang bikini.

"Musim panas lalu kau pergi ke pantai, lalu memakai bikini?" selidik Tuan Black tak percaya.

Nyonya Grey mengangguk mantap.

"Wah. Kau berani sekali. Aku salut padamu."

"Tentu saja. Sebelum Winny melotot dan menudingku nenek tua binal. Dia bersikeras tidak akan mengajakku ke pantai lagi. Dia tidak suka aku pakai bikini. Kulitku menggelambir. Tak enak dilihat. Siapa pula yang akan tertarik? Begitu katanya."

Tuan Black tergelak. "Dia menyelamatkanmu dari hal konyol yang akan kau lakukan."

"Dia mengejekku."

"Orang seperti kita memang tak menarik lagi, bukan? Kulit keriput, rambut beruban, tubuh renta. Lihatlah. Aku bahkan tak sekuat dulu." Tuan Black menunjuk tongkat berpelitur yang dibawanya. "Segala sesuatu ada masanya. Kita pernah melewatinya."

Nyonya Grey mengangguk. "Kau benar, Tuan Black."

"Sudah menjelang petang. Ayo, pulang!"

Nyonya Grey berdiri seraya melirik Tuan Black. Meski tak lagi muda, tapi kegagahan masih tersisa di tubuh Tuan Black. Bahunya bidang. Tubuhnya pun termasuk tinggi. Nyonya Grey harus mendongak untuk melihat dagu Tuan Black yang ditumbuhi bulu halus berwarna putih.

"Carl akan datang mengunjungiku besok lusa. Kau akan kukenalkan padanya. Dia seorang penulis cerita anak," ujar Tuan Black tiba-tiba.

"Benarkah? Aku akan membeli buku Carl."

"Carl akan senang sekali mendengarnya."

Nyonya Grey tersenyum. Ia menatap ke kejauhan. Seharusnya ia menaiki tangga untuk sampai apartemen. Namun, alih-alih melakukannya, Nyonya Grey berbelok ke kanan. Menyadari hal itu, Tuan Black sontak menggamit lengan Nyonya Grey.

"Kau mau ke mana?" tanya Tuan Black heran.

"Pulang."

"Apartemen kita di sana," tunjuk Tuan Black ke atas.

Kening Nyonya Grey mengerut. "Ah, maaf. Sepertinya aku sedikit mengantuk."

"Kalau sudah sampai apartemen nanti, lekaslah tidur."

Nyonya Grey mengangguk. Meski demikian, alisnya bertaut. Aneh. Ia benar-benar merasa tak harus melewati tangga itu.

***

Tuan Black menutup pintu apartemen. Sejam lalu, ia membantu Nyonya Grey mencari prangko. Nyonya Grey tak ingat di mana ia menyimpannya. Tuan Black pun membantu mencarinya.

"Nyonya Grey pelupa sekali," pikir Tuan Black. Tadi ia juga mendapati kaos kaki yang dipakai Nyonya Grey berbeda warna. Ketika menanyakan hal itu, Nyonya Grey tampak bingung. Ia juga terlihat gelisah, seolah ada sesuatu yang membuatnya resah.

Suara ketukan pintu membuyarkan lamunan Tuan Black. Ia bergegas membuka pintu dan menemukan Winny berdiri di hadapannya.

"Selamat malam, Tuan Black," sapa Winny ramah seraya mengangsurkan sekantong jeruk. "Ini untukmu. Terima kasih sudah mengajak ibuku jalan-jalan."

"Bukan masalah besar buatku," sahut Tuan Black. "Kami cuma ngobrol di taman, lalu pulang."

"Omong-omong, kau perhatian sekali pada ibuku. Apa kau menyukainya, Tuan Black? Ah, jangan salah paham. Bukannya aku membenci hal itu. Sebagai anak, aku hanya ingin ibuku bahagia. Kau tahu ibuku sudah lama menjanda."

"Ya. Aku menyukainya."

"Kau berniat menikahi ibuku?"

Tuan Black termangu. Pantaskah pria tua sepertinya menikah, setelah nyaris 30 tahun menduda? Ia juga tak tahu apa Carl mau menerima Nyonya Grey. Hanya saja, Tuan Black tak bisa memungkiri betapa nyaman berada di sisi Nyonya Grey. Memandang rambutnya yang keabuan serta senyumnya yang manis-meski kerut menyamarkannya dengan lihai. Cinta memang ajaib. Ia tak hanya melihat wujud fisik semata, namun lebih dari itu. Nyaman dan damai. Itulah yang lebih memenuhi lubuk hati Tuan Black.

"Ya, aku ingin menikahi ibumu," ucap Tuan Black. "Apa kau keberatan?"

"Aku tidak akan menghalangi niatmu. Hanya saja..." Kalimat Winny menggantung. "Maaf, Tuan Black. Aku harus kembali. Ibu belum makan malam."

"Ehm, baiklah. Sampaikan salamku untuk ibumu."

"Pasti." Winny berjalan cepat ke apartemen sebelah.

***

Seperti biasa, Tuan Black memakai setelan warna hitam kesukaannya. Musim gugur tahun ini lumayan dingin. Pakaian warna hitam membuat tubuhnya terasa hangat sepanjang hari.

"Tuan Black! Tuan Black!"

Seruan itu membuat Tuan Black terlonjak. Ia membuka pintu dan menemukan Nyonya Grey berdiri di hadapannya.

"Ada apa?" tanya Tuan Black. Ia berusaha menenangkan Nyonya Grey yang tampak kalut.

Nyonya Grey tak menjawab. Sebagai gantinya, ia menunjuk pintu apartemen yang terbuka. Tuan Black lekas pergi. Tak bisa secepat yang ia duga karena harus dibantu tongkat ketika berjalan. Begitu berada di depan pintu, ia menoleh ke belakang. Nyonya Grey terdiam di pintu apartemennya, seolah masih bicara dengannya.

***

"Aku sudah melempar kecoak itu keluar jendela," ujar Tuan Black. "Belilah penyemprot anti serangga, Nyonya Grey. Siapa tahu ada kecoak lain yang bersembunyi."

Beberapa menit lalu, Tuan Black memang berjibaku mengusir kecoak-binatang yang ditakuti Nyonya Grey. Kecoak itu keluar dari kamar mandi, terbang, lalu hinggap di kepala Nyonya Grey. Karena itulah, Nyonya Grey ketakutan dan meminta bantuannya.

"Terima kasih. Aku takut sekali."

"Kau merasa tenang sekarang?"

Nyonya Grey mengangguk. "Aku akan mengambilkan minum untukmu. Tunggulah di sini."

Nyonya Grey bergegas ke dapur. Ia membawa nampan berisi teko dan dua gelas kaca. Setelah menaruhnya di meja, Nyonya Grey meraih teko. Ia menuangkan isinya ke dalam gelas sampai meluber ke bawah meja.

"Nyonya Grey, gelasnya sudah penuh!" seru Tuan Black.

"Maaf, maaf," sahut Nyonya Grey linglung. Ia duduk. Tangannya masih memegang teko. Pandangan matanya kosong.

Tuan Black menatapnya bingung. Entah kenapa ia merasa ada yang aneh dengan Nyonya Grey. Mungkin Nyonya Grey masih shock karena kecoak tadi, pikir Tuan Black.

***

"MENIKAH?!"

Tuan Black menjauhkan gagang telepon mendengar teriakan Carl. "Kau ingin membuat telinga ayahmu rusak?"

"Ayah serius? Dengan siapa?"

"Aku akan mengenalkannya padamu kalau kau datang. Dia tinggal di sebelah. Dia punya putri sebaya dirimu."

Carl terdiam sejenak. "Ayah pernah bilang tidak akan menikah lagi. Ayah lupa?"

"Aku tidak lupa. Aku hanya tidak ingin hidup sendirian, Carl. Apa kau bisa memahami perasaan orang tua sepertiku? Nantinya kau akan menikah juga. Kau akan punya kehidupan sendiri."

"Aku sudah menawari Ayah untuk tinggal bersamaku dan pergi dari apartemen itu!"

"Sudahlah, Carl. Aku tidak ingin berdebat denganmu. Percayalah, dia orang yang baik," pungkas Tuan Black. Ia lalu meletakkan gagang telepon.

Setelah mengikat tali sepatu, Tuan Black mengunci apartemen. Ada sesuatu yang ingin dibelinya malam ini. Sesuatu yang ingin ia berikan pada Nyonya Grey nanti.

***

Cincin itu sederhana. Tuan Black tidak sabar memberikannya pada Nyonya Grey. Ia sudah memantapkan tekatnya untuk menikahi wanita itu.

"Apa Anda serius, Tuan Black?" tanya Winny. Mereka duduk berhadapan. Beberapa saat lalu, mereka tak sengaja bertemu di toko perhiasan waktu Tuan Black memilih cincin. Rupanya, Winny bekerja di sana. Ketika tahu cincin itu akan diberikan pada ibunya, Winny minta Tuan Black untuk bicara sebentar di cafΓ© yang tak jauh dari toko tempatnya bekerja.

"Tentu saja. Aku serius ingin menikahi ibumu."

Winny tercenung. Tuan Black merasa ada sesuatu yang merisaukan gadis itu.

"Ada apa? Apa ibumu mengatakan sesuatu?"

Winny menggeleng. "Ada yang ingin kutanyakan. Bagaimana kalau seandainya suatu hari nanti ibuku bersikap tak wajar dan mengalami depresi akut? Kau masih mencintai ibuku?"

"Apa maksudmu?" Tuan Black bingung. "Tentu saja aku mencintai ibumu. Apa kau meragukan ketulusanku?"

"Bahkan kalau ibuku tak ingat lagi apa pun tentangmu dan menganggapmu orang asing?"

"Aku tak mengerti."

Winny menghela napas. "Ibuku mengidap Demensia Alzhaimer, Tuan Black. Kondisinya memburuk. Apa kau tak merasa ada yang janggal dengan ibuku?"

Tuan Black teringat hal-hal aneh yang terjadi --Nyonya Grey lupa jalan pulang, memakai kaos kaki beda warna, bahkan menuangkan air ke dalam gelas sampai isinya meluber ke bawah meja.

"Penyakit itu tak bisa disembuhkan." Ucapan Winny membuyarkan lamunan Tuan Black. "Kau tahu, ibuku sering lupa kalau aku anaknya. Rasanya sedih diperlakukan seperti itu. Setelah tahu hal ini, apa kau masih mau menanggung resiko dianggap orang asing oleh ibuku? Mungkin tidak sekarang. Tapi, pasti itu yang akan terjadi."

Tuan Black menelan ludah. Kotak cincin yang dipegangnya terlepas dari genggaman, membentur lantai, dan menubruk sepatunya.

Sungguh. Ia merasa gundah sekarang.

***

"Hari ini adalah hari terakhirku bekerja. Aku memutuskan merawat ibuku. Kau tahu, ibuku harus diurus tiap waktu. Dia harus diingatkan semua hal yang terjadi di sekelilingnya. Dia juga harus rutin minum obat untuk mengurangi gejala Demensia. Meski berat, aku akan menjaga ibuku, Tuan Black. Cuma ibu yang kupunya di dunia ini. Saudaraku tak mau mengurus ibuku karena berpikir ini sangat merepotkan."

Tuan Black berdiri di depan apartemen Nyonya Grey. Ia terngiang ucapan Winny kemarin.

"Kenapa Ayah diam saja?" Carl menyikut Tuan Grey. "Ayah mau mengenalkanku padanya, kan? Jadi, tunggu apalagi?"

Tuan Black memandang putra semata wayangnya. "Carl, apa kau akan mencampakkanku kalau aku tak mengingatmu lagi?"

"Apa yang Ayah bicarakan?"

"Jawab saja, Carl."

"Aku tak peduli Ayah akan mengingatku atau tidak. Bagiku keberadaan Ayah sudah cukup. Kalau Ayah tak mengenaliku lagi, aku akan membuat Ayah mengingatnya. Bukannya kita punya banyak video, juga foto? Aku akan memperlihatkannya pada Ayah tiap hari. Kalau kenangan tak bisa diingat, seharusnya diabadikan, kan? Sebagai bukti kalau kenangan itu pernah ada."

Tuan Black tertegun. Seketika senyum mengembang di bibirnya. Ia telah menemukan jawabannya. Jawaban yang ia cari sejak mendengar penyakit Nyonya Grey.

"Ayo, Carl. Mari bertemu calon ibumu," ucap Tuan Black. Ia mengetuk pintu apartemen Nyonya Grey. Pintu calon mempelainya.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Eni Lestari gemar menulis cerita pendek. Beberapa karyanya pernah dimuat di sejumlah media cetak maupun online

Redaksi menerima kiriman naskah cerpen, tema bebas, disesuaikan dengan karakter detikcom sebagai media massa umum yang dibaca semua kalangan. Panjang naskah sebaiknya tidak lebih dari 9.000 karakter, karya orisinal dan belum pernah diterbitkan di media lain. Kirim ke email mumu@detik.com




(mmu/mmu)

Hide Ads