Alien

Cerita Pendek

Alien

D. Hardi - detikHot
Minggu, 01 Mar 2020 09:20 WIB
ilustrasi cerpen
Ilustrasi: Edi Wahyono/detikcom
Jakarta -

Sejak kecil aku selalu penasaran dengan bintang-bintang jauh di langit. Apakah ada kehidupan di atas sana? Membayangkan polah kerlipnya, sesekali cahaya meluncur entah ke mana dan mengapa, tak mungkin sesunyi dan seiseng itu adanya kupikir. Tidak pula segegap gempita mal, atau pasar malam yang kerap ngejogrok di belakang rumahku saban triwulanan. Lebih seperti nyala api di rumah-rumah Iglo Kutub Utara. Sepi, tapi hidup. Dan ada. Seperti kamu.

Aku tak paham mengapa orang-orang menyebutmu alien. Kulitmu tak hijau, matamu berukuran sedang --antara ciri Mongoloid atau Veddoid. Bentuk kepalamu proporsional dengan tubuh yang sedikit ramping. Bulu-bulu tipis berbaris di tubir wajahmu laiknya pepohonan bakau yang selamat dari abrasi. Mungkin bahasamu kadang sulit dimengerti. Tapi gambaran alien yang kuingat (dari sebuah film) tak memiliki segurat senyum, laiknya hidangan penutup kecil yang manis.

Aku mempelajarinya sedikit demi sedikit. Mengapa kamu tersenyum di saat lazimnya orang sulit untuk tersenyum; hari-hari buruk seakan badai bergulung silih berganti. Membahasakannya dengan tegar tanpa lantunan kata-kata bernada, seiring tatapan dalam meneduhkan-yang tak seluruhnya hitam itu. Ibarat hening; hikmat tersendiri.

Bahasa itu menggurat di wajahmu saat kita jumpa pertama kali. Bukan semacam maksud tersembunyi. Mungkin orang lain tak menangkap arti. Mereka hanya tak menyadari kehadiranmu. Sebagian bahkan menganggapmu tak pernah ada. Aku yang menangkap sinyalmu, miliaran tahun cahaya jaraknya dari keacuhan. Tanpa teleskop raksasa penangkap semburan radio cepat. Tanpa ladang jagung yang rusak karena pola aneh.

Awalnya sedikit rikuh. Bukan memperebutkan sumber daya mentah di planet asing. Perpustakaan adalah pilihan yang langka dari pergaulan, kecuali kau tak punya rencana apa pun karena bokek atau teman akrab satu saja yang sejalan dengan rencana itu.

Waktu itu kamu duduk sendirian dengan tumpukan buku di depanmu. Aku pun seorang diri, melihat-lihat isi rak novel tak jauh di seberangmu. Matamu lekat menatap halaman buku sekian menit lamanya, tak lepas dari intipanku yang sedang menyisir judul-judul nan terbalik itu. Ruangan cukup sempit, momentum begitu singkat, tapi segala kemungkinan selalu ada. Kepada pustakawan, kita bertanya judul buku yang sama. Hanya ada satu.

"Untuk Mbak saja. Sebenarnya saya sudah pernah membacanya. Saya suka membaca buku bagus berkali-kali." Kamu mempersilakannya untukku dengan bahasa itu-laiknya adegan di film drama romantis, saat dua orang asing pertama kali bertemu. Aku bertanya sedikit tentang isi ceritanya. Kamu membawaku berbincang singkat di sebuah kursi dekat jendela.

"Ada kenangan berisi cinta, obsesi, kebebasan, sekaligus racun dalam aroma identitas, latar kegetiran sebuah musik yang menghibur, dan tragedi kemanusiaan yang saling berkelindan."

Kamu juga katakan, novel ini cocok untuk referensi tugas sejarah. Aku berseloroh, "Dari sebuah fiksi?"

"Kenapa tidak? Fiksi dan kenyataan sering bertukar nasib," jawabmu mengangkat alis dan bahu. Wajahmu yang datar jadi sedikit jenaka.

"Saya rasa itu cukup sering terjadi."

Dan sejak itu aku jadi lebih sering ke perpustakaan, berharap untuk bisa bertemu lagi denganmu. Ajaibnya, harapan itu gegas terkabul dari sekian harapan kosong yang pernah kuimpikan selama ini dan sedikit saja yang terwujud. Kita bertemu di titik yang sama menuju tempat yang lain.

Tak lagi sebatas buku, kita bercakap-cakap tentang apa saja. Tidak lagi di ruangan sunyi. Kita duduk di sebuah bangku sisi bulevar. Kedai kopi. Taman kota. Menikmati senja hingga penghabisan. Aku langsung takjub pada isi kepalamu. Menikmati caramu bercerita; tentang makhluk-makhluk yang berevolusi, para penghuni dasar laut yang tak tercatat jumlahnya dan belum dikenali-hidup secara misterius.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Tentang ledakan dahsyat gumpalan kabut raksasa yang mengembang, membentuk nebula, galaksi, dan planet-planet yang tumpah ruah di alam raya. Tentang kemungkinan adanya kehidupan lain di jutaan tahun cahaya jauhnya dari Bumi yang sejak lama tengah mengawasi. Tentang algoritma kuantum. Tentang hidup yang penuh hiper-realitas. Mempertanyakan kembali hal-hal yang selama ini kupercayai.

"Apa kamu benar-benar alien?" kataku suatu hari. Kamu tertawa. Aku jarang melihatmu tertawa lepas seperti itu.

"Kalau iya, kamu takut dan bakal menjauhiku?"

"Kamu tidak seseram itu."

"Jika tidak, biarlah orang lain sibuk dengan imajinasinya." Sorot matamu mengerkau. Membuatku berimajinasi tentang kita.

***

Saat terlahir, aku hanyalah angka yang mengisi data statistik. Pengganti komponen yang minus tak berguna. Terasing dari jagat sejarah. Lalu tumbuh sebagai anasir yang distempel berdasarkan prasangka, katamu, dengan nanar tak berpenghuni, mencoba keluar dari sepetak bangunan lama yang disegel dan bergembok, rantai yang berkarat oleh hantaman musim.

Kamu menceritakan riwayat paling menyedihkan yang pernah kudengar, bagai tiada yang bisa melipurnya dengan empati apa pun, hingga bila diceritakan secara turun temurun akan melahirkan sejenis ritual menyakiti diri sendiri sebagai bentuk pelarian. Tak ada air mata meski sembilu terasa ke relung. Mungkin itu yang membuatmu sering berpikir ulang tentang konsep memiliki keturunan.

Jangan ada warisan kesedihan. Bagaimana bila anak itu kelak tidak tahu siapa yang melahirkannya, di tengah dunia yang kejam penuh ketidakpastian ini, tumbuh besar di tangan seseorang yang tak memiliki hubungan darah apa pun dan kerap memaksamu melakukan sesuatu yang buruk demi keuntungan sendiri, lalu menceritakan asal-usul kedua orang tuamu dengan kisah yang belum jelas kebenarannya? Mendekati sejarah pun belum.

Dan, kamu telah menjalaninya sepanjang umur. Berteman hanya dengan sejumlah buku di tempat paling hening sedunia. Sampai kita berjumpa di waktu yang telah menjadi lalu itu.

Aku harus merahasiakan ini semua, sebab kalau tidak, kamu, dengan tampang konyol, mengancam bakal menembak mataku dengan sejenis alat penghilang ingatan. Hanya aku orang pertama yang kamu ajak bicara tentang ini. Mungkin hanya aku pula yang bilang: kamu cocok jadi seorang agen rahasia. Kamu tertawa. Ternyata kamu juga curhat, seperti kebanyakan manusia.

***

Malam terlihat jernih, begitu jernihnya hingga titik-titik cahaya yang bertebaran di langit telanjang di mataku, saat kamu menunjuk salah satu bintang yang kelap-kelip di antara formasi, membentuk pola tertentu-bukan masa depan.

"Apa di sana itu tempat asalmu?" tanyaku usil.

"Tempat asal mimpi."

"Terlalu banyak mimpi yang tersangkut di langit."

"Terdengar skeptis."

"Kenyataan sering bertukar nasib. Menyerupai fiksi kan?"

"Kata seorang penyair bijak, terlalu banyak paham akan hampa."

"Terlalu banyak misteri, orang berimajinasi."

"Apa itu buruk?"

"Tidak bisa dipastikan. Apa yang pasti?"

"Lihatlah!" Ia menunjuk lagi sebuah bintang yang tak perlu akurat di mataku.

"Kalau kamu kangen, tunjuk satu, dan berdoalah."

"Kalau itu bukan kamu?"

"Imajinasi tak pernah salah, itu yang agak terlambat kupelajari."

Setelah wisuda, kita berpisah, memberi kesempatan mengejar mimpi masing-masing. Di waktu yang tepat, takdir akan mempertemukan kita lagi, katamu,

"Tidak mudah meyakinkan siapa saja untuk menerima seseorang yang tak jelas sepertiku. Khususnya orangtuamu." Meski berat, tampaknya ide ini cukup masuk akal. Aku bukan tipe seorang pendobrak sebuah tatanan. Pasalnya klise. Terlalu banyak perbedaan yang bisa dicentang.

Tahun-tahun lantas berlalu. Aku telah bekerja di sebuah perusahaan periklanan, sedangkan kamu, entahlah. Tak ada kabar berita. Begitu banyak orang-orang baru yang masuk dalam hidupku, begitu cepat hari berganti, di kepalaku masih tersimpan sekepal ingatan tentang kamu.

Di remang malam, bintang-bintang bertaburan. Ada yang melesat jauh seolah berkejaran. Sebuah cahaya benderang sempurna di antara yang lainnya. Apakah kita masih menggenggam mimpi yang sama?

Lima tahun lewat sebuah surel dari alamat asing masuk. Isinya begini:

Hai, apa kabar? Ini masih alamat emailmu kan? Kuharap kamu baik-baik saja. Semoga semuanya berjalan sesuai dengan rencana. Aku tahu ini sedikit terlambat. Tapi harus kulakukan. Ini janji. Kamu tahu, tebakanmu dulu itu benar. Aku rasa kamu berbakat jadi cenayang. Semua ini di luar kendaliku. Sekarang aku mendapat tugas mahapenting. Sangat rahasia. Kamu tahu kan hukumannya kalau sampai bocor?

ADVERTISEMENT

Aku harus mengamati orang-orang dari jauh. Mungkin tidak terlalu jauh-jarak itu relatif. Mungkin tetap seperti dulu: ada tapi tak terlihat seperti ada. Kalau bingung, anggaplah seperti acara planet hewan di saluran National Geographic yang kamu suka tonton. Manusia, mengamati para hewan dengan pengamatan yang sempurna tanpa mereka sadari. Agak curang, tapi itulah kehidupan. Begitulah sistemnya. Aku tak bisa menolak.

Jadi, kalau suatu hari di sebuah kesempatan kamu melihatku, dan yakin betul saat itu sedang melihatku, kamu tidak boleh memanggilku. Kita berada di sana seperti tak pernah saling mengenal satu sama lain. Kecuali kamu membalas pesan ini.

Salam.

Nb: kamu masih menatap langit saat malam hari?

***

Keriuhan berkumpul menutupi jalan. Hari menjelang pergantian tahun, suasana telah berubah ramai. Jalanan dipenuhi para penjual makanan, pentas musik, sekelompok orang berkostum aneh melayani mereka yang ingin berfoto. Sesekali terlahir perbincangan, seakan tak terasing satu sama lain.

Aku menatap langit Desember yang cerah. Embusan angin begitu lembut membelai. Raut muda-mudi berseri, bersenda gurau pada sesuatu di depan etalase toko.

Di depan sebuah kafe, kulihat seorang lelaki duduk sendirian di antara lalu-lalang pengunjung. Rambutnya bergaya lebih pendek. Tubuhnya tegap. Bulu-bulu tipis berbaris di tubir wajahnya, laiknya pepohonan bakau yang selamat dari abrasi.

Dadaku berdesir. Langkahku semakin dekat dengannya, beberapa meter saja dari gelagat ketidakacuhan. Awalnya agak ragu dengan kacamata gelap yang ia pakai. Tapi aku tak pernah lupa senyuman itu: seperti hidangan penutup kecil yang manis.

"Aku mau balon yang di sana, Ayah."

"Yang kelap-kelip itu?"

"Iya, bagus ya."

"Coba tanya Ibu. Bu, Kakak boleh enggak beli balon lagi?" tanya lelaki di sampingku.

"Kemarin kan Kakak sudah beli. Masih ada satu di rumah."

"Tapi yang seperti itu belum punya. Bercahaya seperti bintang."

"Itu lampu pijar, Kak...." Paling tak bisa menolak mata mungil itu. Persis mata kucing yang memohon.

Kamu beranjak ke lapak penjual balon.

Kulihat ke belakang, menatap lagi senyuman itu untuk terakhir kalinya. Kamu berdiri dari kursi, menengok sebentar, lalu melangkah pergi ke arah yang berlawanan.

Ada tapi tak terlihat seperti ada. Maafkan aku tak membalas pesanmu dulu.

Kamu selalu terlambat, Alien.

Tapi tunggu. Itu benar-benar kamu kan?

"Bagaimana caranya bintang-bintang ini bisa masuk ke dalam balon ya, Bu?" tanya Sovia memecah lamunan, membuatku ingin memeluknya.

"Kamu mau tahu rahasianya?"

Ibu rasa ini hanya tentang imajinasi, Sovia.

Imajinasi.

(November 2019)

Redaksi menerima kiriman naskah cerpen, tema bebas, disesuaikan dengan karakter detikcom sebagai media massa umum yang dibaca semua kalangan. Panjang naskah sebaiknya tidak lebih dari 9.000 karakter, karya orisinal dan belum pernah diterbitkan di media lain. Kirim ke email mumu@detik.com




(mmu/mmu)

Hide Ads