Kabar burung berita kembalinya Belanda --setelah diusir Jepang empat tahun lalu-- sempat kusambut dengan dada bungah. Setitik asa tumbuh untuk kembali melihatmu lagi, kekasihku Raiya. Aku membayangkan Tuan Jaap akan memboyongmu kembali ke tanah ini dan kita bisa kembali bertemu saling melepas rindu.
Tapi, kini setelah senjata pasukan Koninklijk Nederlands-Indish Ledger (KNIL) mengancam kepalaku dan kepala bumiputera lainnya di Bontonyeleng ini, yang dituding menentang rencana Belanda kembali menguasai negeri ini, sekaligus dituding menyembunyikan para gerilya republik, aku sadar kehadiran kompeni sampai kapan pun bukan hal yang harus disambut gembira.
Subuh ini, sekitar setengah jam lalu, sebelum pasukan KNIL menggiring dan mengancam kami dengan senjata, aku masih memikirkanmu dengan kebahagiaan yang tidak mampu kuredam, Raiya. Setelah empat tahun tak bertemu, aku yakin kau tentu tidak banyak berubah sehingga mengenalimu bukanlah hal yang sulit, kendati udara dingin Belanda bisa saja mengubah warna kulit wajah dan tubuhmu.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kau tahu, demi kedatanganmu yang aku kira-kira tak bakal lama lagi, aku akan menyambutmu dengan sebaik-baiknya, bahkan aku berencana menyiapkan sebuah pernikahan kendati dulu kita berpisah dengan cara yang tidak semestinya --kau menudingku telah menyesal mencintaimu dan aku tidak bisa melakukan apa-apa untuk membantahnya.
Aku janji tidak akan mengungkit-ungkitnya lagi. Dan aku pun bertekad, dengan berani akan meminta Tuan Jaap kembali menerimaku sebagai pekatik di rumahnya, supaya kita bisa terus bersama, Raiya.
KNIL tiba-tiba mengepung kampung, memaksa kami keluar dari rumah, dan menggiring kami ke sebuah tanah lapang layaknya menghalau sekawanan domba ke tengah sabana --membuat lamunanku tentangmu lamur seketika, Raiya, digantikan kengerian yang mencekam.
Aku melihat satu demi satu laki-laki kampung dipanggil ke depan, mendekat kepada senjata para jagal itu. Mereka ditanyai bermacam-macam, tapi yang paling sering adalah keberadaan para gerilya republik yang gencar menentang mereka dengan bermacam cara; merusak jalan yang biasa dilalui truk-truk KNIL itu atau melakukan penyerangan kepada tentara-tentara agresi itu.
Tidak ada jawaban yang mampu memuaskan, sehingga mudah saja menebak yang terjadi kemudian; semua yang dipanggil ke depan akan meregang nyawa dengan tembakan-tembakan yang menembus tubuh mereka, sebelum akhirnya tubuh-tubuh tak bernyawa itu akan disusul dengan tusukan bayonet oleh pasukan KNIL.
Yang kemudian membuatku semakin mengutuki para KNIL laknatullah, sekaligus mengutuki penaklukkan Jepang kepada kompeni 1942 silam adalah ketika para jagal itu berteriak kepada kami semua yang berlutut gemetar di atas tanah dengan pertanyaan "di mana para ekstremis itu?" sembari menodongkan browning AK-47 ke kepala kami secara bergantian. Aku tahu, tak hanya nyawaku dan nyawa bumiputera lainnya, pertanyaan itu juga mempertaruhkan cinta kita, Raiya --untuk kali kedua.
***
Yang pertama, 1942 silam, ketika kau sama sekali tak mengacuhkan ajakanku untuk menghindari bahaya perang demi keselamatanmu dan tentu saja demi keselamatan kita berdua. Situasi memanas. Jepang menyerbu negara-negara tetangga sebelum masuk ke Indonesia. Kabar angin yang kudengar, Belanda bahkan mengaku kalah begitu saja kepada mereka dan menyerahkan seluruh wilayah kekuasaannya, termasuk Batavia, dan tentu saja, termasuk juga Makassar.
Aku tentu tak perlu mendebatmu hingga mulutku berbusa mengenai ancaman bahaya apa yang akan kau dan aku hadapi apabila terus tinggal di rumah Tuan Jaap.
Aku mengajakmu lari meninggalkan Makassar dan kembali ke kampungku di Bontonyeleng yang dekat dengan afdelling Bulukumba, lantas mengenyahkan diri dari perang sialan itu. Kita bangun kehidupan sendiri tanpa campur tangan kompeni atau pun serdadu-serdadu Jepang, kataku. Yang kau putuskan malah merumpang dadaku.
Kau abai pada kata-kataku dengan alasan Rob sangat membutuhkanmu dan dengan, "Tanah mana di Sulawesi ini yang akan aman dari perang? Aku harus pergi, ikut mereka ke Belanda. Tuan Jaap berjanji akan menaikkan gajiku menjadi 15 gulden. Cinta saja tidak akan cukup membuat kita hidup. Cinta macam apapun di dunia ini tetap membutuhkan makan untuk bisa hidup. Kau harus tahu itu."
Dengan kegeraman yang tak dapat kutahan-tahan lagi, aku menyerumu, "Rob atau tuanmu yang cabul itu yang kau maksud? Kau tidak peduli pada ajakanku karena 15 guldennya atau karena penis tuanmu yang panjang dan besar itu?"
"Kau memang selalu menyesal mencintaiku," timpalmu dengan tatapan dingin, sebelum kemudian berlalu dari hadapanku. Itu hari terakhir kita bertemu, dan hari terakhir pula aku menjadi pekatik di rumah Tuan Jaap. Aku kembali ke Bontonyeleng dan tak lagi pernah mendengar kabarmu selama berhari-hari. Armada-armada pasukan Jepang mulai mendarat di Makassar. Segera mereka akan mengambil alih kekuasaan dari para kompeni.
Saat itulah, kabar tentangmu kembali mendatangiku, menghunjam dadaku, bahkan lebih perih ketika kali pertama kulihat tubuh bongsor Jaap menindihmu dengan penuh berahi --kau ikut ke Belanda karena Rob tetap membutuhkan pengasuh meski telah kembali ke negara sendiri. Tentu saja aku tahu, Rob hanya alasan yang digunakan Jaap kepada istrinya agar ia tetap bisa menjadikanmu gundik di negaranya, sama seperti yang telah ia lakukan kepadamu selama bertahun-tahun ini.
Tahun 1936, aku yang sebelumnya menjadi jongos di loji milik Belanda di afdelling Bulukumba, dipindahkan Jaap ke rumahnya di Makassar. Di rumahnya, aku mendapatkan pekerjaan yang lebih baik; hanya mengurusi kuda-kudanya saja. Ternyata tak hanya mendapatkan pekerjaan yang lebih menghargai diriku, aku juga menemukan cinta darimu, Raiya. Cintamu dengan segala keterbukaan, termasuk bagaimana kau menceritakanku perihal Jaap yang selalu menuntutmu mengabdi di rumahnya dan juga di ranjangnya.
"Kau boleh memutuskan berhenti mencintaiku atau...."
"Aku tak peduli, Raiya. Aku akan selalu mencintaimu. Dan aku tidak akan menyesal." Kupotong bicaramu yang belum selesai, lantas kulumat bibir dan menindih tubuhmu dengan beringas. Aku tak tahu, percintaan kita yang tak wajar itu karena memang cintaku yang teramat besar kepadamu atau karena murkaku kepada Jaap yang tertahan selama ini dan kini kutumpahkan segalanya di atas tubuhmu.
Tahun-tahun berikutnya segalanya berjalan wajar. Aku tetap menjadi penggembala kuda yang setia bagi Tuan Jaap. Kau tetap menjadi pengasuh yang baik bagi Rob --terlalu baiknya, bahkan anak kompeni itu akan selalu menangis apabila tak melihatmu berada di rumahnya. Sembari menjaga anak itu, kau juga tetap menjadi gundik yang setia bagi Jaap. Yang aku tak paham, bagaimana caranya si Belanda bongsor menjaga rahasia itu dari istrinya.
Kau tahu, Raiya, aku selalu berharap dalam hati, istrinya mengetahui hal itu atau menangkap basah kalian apabila sedang bercinta, agar kau diusirnya dan aku bisa memilikimu sepenuhnya tanpa perlu berbagi dengan siapa pun lagi. Tapi itu tak kunjung terjadi. Aku bisa saja melaporkan hal itu kepada istri Jaap, tetapi di manakah nyali semacam itu bisa didapatkan bumiputera seperti diriku yang nyaris sepanjang hidup diperlakukan sebagai jongos?
Sampai akhirnya pasukan Jepang mengusir Belanda dari tanah kita. Alih-alih memilih melarikan diri bersamaku, kau ikut Jaap ke negaranya yang membuat dadaku disesaki banyak kepelikan. Kini, empat tahun berselang setelah hari itu, Jepang enyah dan Belanda akan kembali. Di antara tubuh-tubuh bumiputera yang tumbang dan di antara browning AK-47 pasukan KNIL yang mengancam kepalaku dan kepala bumiputera lainnya, aku bersumpah akan melakukan segala cara untuk mewujudkan pertemuan denganmu, lalu merencanakan sebuah pernikahan.
***
Salah seorang pasukan KNIL kembali menggertak dengan tuturan bahasa Indonesianya yang kacau, "Di mana para ekstremis itu?" Tangan kirinya sigap memindah-pindahkan senjata dari kepala-kepala kami secara bergantian. Tetap tidak ada yang bisa menjawab sebab sudah tentu tak ada satu pun di antara kami yang benar-benar mengetahui tempat persembunyian anggota gerilyawan republik itu.
Geram, jagal itu kembali melepaskan tembakan. Seorang bumiputera yang berjarak hanya dua orang dariku tersungkur ke tanah bersimbah darah dan dengan kepala bolong. Suasana semakin mencekam. Aku mulai melihat beberapa orang bangkit berdiri lantas berusaha lari sekencang-kencangnya menuju hutan. Tetapi sebelum benar-benar berhasil sampai ke hutan, tubuh-tubuh mereka dihujani tembakan oleh pasukan KNIL.
"Di mana mereka?" Kembali pasukan KNIL menggertak dengan geram. Seorang pribumi yang tinggal berjarak satu orang dariku kembali tersungkur ke tanah disusul teriakan tangis dari para perempuan di bawah kolong rumah.
Kekasihku, Raiya, sebentar lagi giliranku yang akan menghadapi browning AK-47 para jagal bengis itu. Sampai saat ini, aku belum tahu akan melakukan apa untuk mencegahnya menembakku di kepala. Tapi, percayalah, aku bersumpah benar-benar akan mewujudkan pertemuan kita-entah dengan cara apa.
Bulukumba, Oktober 2019
Redaksi menerima kiriman naskah cerpen, tema bebas, disesuaikan dengan karakter detikcom sebagai media massa umum yang dibaca semua kalangan. Panjang naskah sebaiknya tidak lebih dari 9.000 karakter, karya orisinal dan belum pernah diterbitkan di media lain. Kirim ke email mumu@detik.com
(mmu/mmu)