Resolusi Penyair Baba

Cerita Pendek

Resolusi Penyair Baba

Eko Triono - detikHot
Sabtu, 25 Jan 2020 12:49 WIB
Ilustrasi: Edi Wahyono/detikcom
Jakarta - Semoga tahun yang baru
tidak menyalahkan tahun sebelumnya
untuk kesalahan
yang dia perbuat sendiri dalam setiap
angka kalendernya nanti

Penyair Baba, demikian dia ingin dipanggil meski telah sukses kerja perikanan lintas benua, mengirimi saya pesan puisi di atas, sebelum menelepon lama membicarakan anaknya, lima tahun, yang menolak semua hadiah di tahun baru, tetapi malah merengek minta ibu baru.

Dia cerita ketika itu kapal mampir di Pelabuhan General Santos, Filipina yang dulu sempat kukut karena perdagangan tuna ilegal distop Menteri Kelautan dan Perikanan kita, dan membuat ikan dalam negeri melimpah, Penyair Baba merasa alam mengirimkan pesan tentang istrinya. Di sana, ketika berdiri di dek kapal, dia melihat tiga ekor burung camar berkejaran, sebelum seekor dari mereka menukik sendirian, asyik mencari remah di pojokan seperti merahasiakan sesuatu.

"Di dalam hidup yang serba cepat dan terbuka ini, Bung," kata Penyair Baba, "Kita mulai gagap membaca tanda."

Saya hanya berkomentar ya sepertinya memang begitu. Kemudian dia kembali ke topik anaknya.

Dia berkata pada hari itu dia pulang dengan perasaan rindu penuh seluruh setelah lama terapung dan kesepian di atas lautan bersama awak kabin, gelombang laut, tiang serta temali, dan tentu saja bersama ikan-ikan yang mampus dikoyak-koyak pancing. Anak dan istrinya sudah menunggu di depan rumah. Setelah membagikan oleh-oleh salmon pada tetangga, orangtua, dan mertua, mereka pergi berbelanja aneka barang, terutama bahan kue dan makanan, karena istrinya sangat mencintai tata boga. Setelah lama di atas laut, lanjutnya dalam cerita di telepon, tanah terasa hangat dan menyenangkan seperti pelukan kekasih, seperti dekapan puisi.

Saya ingat bagaimana di antara komunitas satra kami, Babalah yang paling mencintai puisi.

Meskipun anggota yang lain mengejek puisinya dengan hina tanpa ampun. Mulai dari itu bukan puisi, hanya berita yang diberi bait, itu bukan puisi hanya comotan kata dari sana-sini, itu bukan puisi hanya kunci jawaban teka-teki silang yang diberi rima, itu bukan puisi hanya anekdot yang dibuat berbait-bait, sampai yang paling parah datang dari senior kami yang berkata pada Baba bahwa itu bukan puisi tapi tahi kerbau yang diketik.

Tentu saja Baba marah dan mereka adu jotos. Baba memang karena badannya tinggi besar berotot seperti pelaut, sementara penyair senior komunitas kami kurus kering berambut gondrong, rapuh, seperti malnutrisi dan hampir mati.

"Bung," katanya setelah pertarungan atas nama puisi itu, "Aku marah bukan karena mereka menghinaku, namun karena mereka menghina puisi. Bagiku, puisi adalah suara jiwa manusia. Perkara buruk atau tidak bukan salah puisinya, tetapi salah jiwa manusia yang memahami dan melahirkannya. Suatu hari, saat jiwaku bagus, puisiku pasti akan bagus, kecuali jiwa mereka yang busuk dalam memandangnya."

Terus terang saya kurang paham, karena saya lebih mendalami prosa waktu itu, namun kurang lebih saya mengeri maksudnya, kata saya sambil membantu memarutkan jahe buat mengobati memar di tangan Baba. Tangannya besar dan berotot besar dan jari-jarinya pun besar. Kalau menulis puisi dengan pena, hurufnya juga besar-besar. Kalau mengetik di laptop, dia memilih jenis huruf yang paling jelas dan tidak lupa memperbesarnya.

Hanya dengan cara seperti itu, katanya, dia menghargai nilai besar di dalam puisi yang harusnya menjadi puisi besar.

Saya tidak tahu mengapa para redaktur menolak puisi-puisinya. Tidak ada kabar sekali pun tentang pemuatan puisi Baba. Namun Baba tidak pernah terlihat kecewa. Dia malah berkata begini, Bung, katanya pada saya, para redaktur aneh itu hanya bisa melihat puisi, tidak bisa melihat bagaimana seseorang di belakangnya yang menulis dan mencintai puisi sepenuh hatinya bahkan rela kelaparan, hanya minum kopi sepanjang malam sampai pagi. Dimuat atau tidak dimuat Baba merasa bukan persoalan penting untuk menjadi penyair. Menjadi penyair atau bukan adalah urusannya sendiri dengan kata-kata, bukan urusan orang lain.

Namun tetap saja, hari itu, dia meminta saya mulai memanggilnya dengan sebutan Penyair Baba.

Setelah lulus kuliah dengan skripsi tentang puisi, dia mengubah akta lahir sampai kartu penduduknya dengan nama Penyair Baba, pekerjaan penyair, alamat jalan puisi erte kesunyian nol satu erwe kemanusiaan nol dua, desa metafora, kecamatan metonimia, kabupaten majas kepulauan. Saya tertawa mendengar rencananya, namun dia sungguh-sungguh melakuannya, soal erte-erwe dan setelahnya itu yang sulit, dan dia bilang bisa edit dan cetak kartu sendiri. Semakin tidak masuk akal saat dia menikahi perempuan jurusan tata boga dengan konsep resepsi puisi.

Dia mengundang semua penyair yang ada di negara ini karena merasa puisi harusnya menyatukan. Tapi, yang hadir hanya segelintir teman-temannya di kota Jogja dan tamu umum. Penyair senior sombong mana peduli dengan penyair baru yang tidak pernah muncul di media dan mendapat penghargaan.

Pernikahannya dia sebut pernikahan puisi, ijabnya disertai puisi, dekorasinya puisi dari berbagai bahasa dan penyair dunia, suvenirnya puisi, bahkan tersedia khusus blok prasmanan puisi berbagai genre dari berbagai angkatan kesusastraan, disusul karaoke puisi yang diiringi apalagi kalau bukan musikalisasi puisi.

Masakan resepsinya enak sekali dan diberi nama dengan puitis. Dan ceramah nikahan dibawakan oleh Mustofa W Hasyim, penyair senior yang baik hatinya. Ceramahnya lebih dekat ke kuliah sastra, namun asyik.

"Hidup-hidupilah puisi, jangan mencari hidup dari puisi," kata Pak Mustofa, "Kalau pun terpaksa, carilah dengan cara yang baik, agar hidup kita bernilai seperti hidupnya puisi sejati."

Kalimat itu kemudian melegenda, bahkan penyair dan pekerja kebudayaan, Latief S Nugraha, mencetak tulisan itu pada kaos dan pesanannya membludak, dan pada acara puisi akhir tahun Studio Pertunjukan Sastra di Taman Budaya Yogyakarta, dia dan Cak Kandar mengambil tema Hidup-hidupilah Puisi, Jangan Mencari Hidup dari Puisi. Namun, anehnya justru Penyair Baba menghilang. Dia hanya mengirimkan uang yang jumlahnya sangat besar melebihi seribu satu kali honor nulis puisi di media masa.

Penyair Baba bilang sudah bekerja di kapal pelayaran untuk menghidup-hidupi puisi dan acara puisi. Saat itu dia dalam perjalanan semacam residensi perikanan menuju Tanjung Harapan, Afrika. Dia mengirimkan beberapa potongan puisinya yang akan dia bukukan dalam antologi tunggalnya yang pertama Kisah 1001 Puisi atau alternatif lainnya Lelaki Muda dan Puisi atau, ini lebih frontal dan narsis sih menurutnya sendiri, Potret Penyair Baba sebagai Seorang Pelaut Mandiri.

Entah apa yang terjadi dengan jiwa dan keberaniannya, sampai lima tahun berlalu, rencana itu tinggal rencana belaka, sampai kemarin dia menelepon dan bicara soal anaknya.

"Sudah dibicarakan baik-baik dengan anak dan istri?" tanya saya.

"Kalau istri belum. Ini tahap merumuskan masalah dan menelepon kau untuk tinjauan pustaka, Bung," katanya setengah bercanda, "Tapi kalau anak sudah kutanyakan apa alasan permintaan anehnya itu," suaranya mulai redup.

Penyair Baba berkata anaknya meminta demikian karena ibunya hampir setiap hari selama tiga bulan terakhir ini berbuat aneh.

Istrinya membuat kue dan aneka makanan, kemudian menyuruh anaknya berpose lalu difoto, diunggah ke Instagram dan Facebook dan Twitter, lalu ditambah bikin video buat Youtube, sampai-sampai semua makanan itu jadi dingin dan anaknya tetap saja belum boleh makan selagi gambar dan videonya belum bagus, atau ada yang kurang dan mesti syuting ulang.

Anaknya merasa capek karena teman-temannya tahu, ibu gurunya tahu, neneknya tahu, tetangganya tahu, semua dunia tahu dia baru makan apa, dan mereka memintanya, dan berkata betapa enaknya. Sementara kenyataannya, tidak seperti itu, kenyataannya adalah capek sekali dan anaknya malas dikenal orang banyak, mirip dengan ayahnya yang lebih suka kesunyian.

Anaknya protes pada ibunya, tapi malah ibunya bilang, sana cari ibu baru! Makanya dia minta pada ayahnya soal ibu baru, sebagaimana disuruh ibunya. Anaknya sudah protes, nanti dibilangin ke ayah lho. Tapi apa kata ibunya? Sana bilang saja ke ayah yang tukang mancing dan nulis puisi-puisi tidak berguna itu.

Hening. Kemudian, "Dia telah menghina puisi, Bung," suaranya jadi nelangsa, "Orang yang menghina puisi berarti di dalam hatinya tidak ada lagi puisi. Kalau tidak ada puisi, berarti tidak ada aku di sana. Kalau tidak ada aku, lalu ada siapa di hatinya? Aku curiga jangan-jangan dia hanya mengambil kiriman uang bulanan, tapi tidak pernah membaca kiriman puisiku tiap akhir pekan. Bagaimana ini, Bung? Padahal dia istri yang kuhidup-hidupi melebihi menghidup-hidupi puisi."

Saya bingung harus menjawab apa, karena Penyair Baba begitu mencintai puisi. Baginya boleh dirinya dihina, tapi jangan puisi.

Saya hanya bisa menulis cerita ini sambil menunggu komentar pembaca yang budiman.

(Xi'an, 2020)

Eko Triono prosais, temannya Penyair Baba. Kini bermukim di Kota Xi'an, Tiongkok. Buku terbarunya novelet Seberapa Cantu Cinta Itu?

Redaksi menerima kiriman naskah cerpen, tema bebas, disesuaikan dengan karakter detikcom sebagai media massa umum yang dibaca semua kalangan. Panjang naskah sebaiknya tidak lebih dari 9.000 karakter, karya orisinal dan belum pernah diterbitkan di media lain. Kirim ke email mumu@detik.com




(mmu/mmu)

Hide Ads