Kesedihan yang Melenyapkanku Tadi Malam

Cerita Pendek

Kesedihan yang Melenyapkanku Tadi Malam

Sabrina Lasama - detikHot
Sabtu, 21 Des 2019 11:01 WIB
Kesedihan yang Melenyapkanku Tadi Malam
Ilustrasi: Edi Wahyono/detikcom
Jakarta - Aku terbangun dengan perasaan hampa yang masih saja berdentuman di dalam dada. Rasa tidak nyaman belum juga berkurang sejak sebulan yang lalu. Rongga yang ditimbulkan oleh perasaan itu makin menganga dan kini besarnya seperti mampu menelan tubuhku.

Aku bergegas menyambar jaket dan melewatkan panekuk madu buatan Syl berikut pertanyaannya tentang mengapa belakangan aku lebih memilih minum kopi di kedai sudut jalan dibanding menghabiskan susu coklat sambil bercerita tentang calon anak kami yang sedang dikandungnya.

Aku hanya mengecup ujung kepalanya sekilas sebelum berlari seperti kesetanan menjumpaimu di kedai. Tapi yang kudapatkan hanyalah kehampaan yang lebih banyak lagi karena bahkan setelah sebulan berlalu kau masih tak mampu mengurai apa yang tengah terjadi padaku.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Bagaimana aku bisa membantumu, jika aku sendiri tidak mampu menjelaskan apa yang sedang terjadi padaku, Arc?" Kau menyeruput kopi dari gelasmu sambil memandang melampaui bingkai jendela dan masih saja tampak keheranan melihat Tyc sedang bertransaksi dengan Xof dan Coc di luar sana.

Ketika kau bilang namamu John Carter aku pikir kau gila. Seisi planet ini tidak ada yang memiliki nama sepanjang namamu. Tapi, John Carter boleh juga dan aku lebih suka memanggilmu Jo. Semua orang hanya punya nama yang terdiri dari satu suku kata. Kalau pun benar itu nama aslimu, maka kau adalah makhluk dengan nama terpanjang di muka Nebula ini.

"Kenapa?" pertanyaanmu mengejutkan lamunanku.

"Apanya?" balasku.

"Kau menatapku seperti aku adalah benda antik di museum."

"Aku rasa kau gila dan aku mulai ketularan karena kita terlalu banyak berinteraksi."

"Di tempatku hewan dan tumbuhan tidak berbicara. Di sini bahkan mereka bisa menjual coklat dan biji kopi dengan harga tinggi, sementara Tyc tidak bisa menolak karena Coc adalah tumbuhan coklat yang paling baik seantero negeri dan Xof adalah tumbuhan kopi yang paling disegani."

Pria gendut pemilik kedai bernama Tyc, telah selesai bertransaksi dan melewati meja kami, menoleh dan tersenyum karena kau menyebut namanya.

"Itu adalah hal yang biasa. Sama biasanya dengan matahari yang terbit di utara." ujarku sekenanya. Berbicara denganmu terkadang membuatku melupakan sedikit rasa hampa di dalam dada untuk itu aku suka melakukannya meski aku tahu kau agak sedikit gila.

"Astaga! Di tempatku itu matahari terbit dari timur," serumu dengan nada kesal.

Aku memutar bola mata karena perdebatan tentang siapa yang sedang berada di dalam situasi yang paling aneh tidak akan pernah usai. Aku memanggil Tyc dan memintanya membawakan secangkir kopi tanpa gula untukku.

"Aku terbangun dan pohon-pohon di dekatku berbicara. Aku pikir aku mimpi hingga seekor kucing menanyakan apakah aku baik-baik saja." Sebulan lalu di kedai ini kau memulai pembi-caraan padahal kita tidak saling kenal dan aku tidak pernah melihatmu sebelumnya di sekitar sini.

"Aku lihat sebuah mobil menabrak pagar rumah di sana dan pemilik rumah keluar sambil tersenyum. Si pengendara mobil berlalu sambil melambaikan tangan. Tidak ada pertikaian."

Aku sebenarnya malas meladenimu karena aku sedang merasa tidak baik. Bukan sakit. Sesuatu yang tidak bisa diungkapkan dan kau malah membahas soal pagar rumah yang ditabrak. Nebula tidak akan kiamat hanya karena sebuah pagar rumah telah ditabrak jadi aku pikir kita tidak perlu membicarakan itu.

"Aku berjalan dan sesuatu seperti salju turun. Saat benda itu menyentuh kulitku rasanya hangat. Aku mulai bertanya aku ada di mana." Kau masih meneruskan.

"Selamat datang di Nebula," kataku sekadarnya.

"Nebula? Ini ada di bagian bumi sebelah mana?" Ketika itu kau tampak terkejut.

Kau mengguncang bahuku dan alih-alih kesal aku malah kasihan padamu. Barangkali kau memang sedang hilang ingatan.

"Aku tidak mengerti bumi apa yang kau bicarakan."

Kau meminta kertas dan pena lalu mulai menggambar bulatan-bulatan yang kau bilang susunan tata surya. "Ini Planet Bumi, ini Matahari, ini Mars. Di mana tempat ini berada?"

"Maksudmu Nebula?" tanyaku. Aku mengambil alih pena dari tanganmu dan mulai menggambar susunan tata surya.

"Ini Matahari, ini Nebula, ini Netuna, ini Nirvana. Hanya ada tiga planet dalam tata surya dan planet bernama Bumi tidak ada di dalamnya," jelasku.

Yang terjadi selanjutnya adalah kau memaksaku mengingat-ingat pelajaran astronomi di sekolah menengah dulu untuk kemudian membawa kita pada kesimpulan bahwa kau berasal dari galaksi yang berbeda.

"Terakhir kali ini terjadi padaku, aku berada di Mars." katamu.

Ah, terserah kau saja Jo. Pikiranku sudah terlalu penuh untuk kau sesaki dengan gagasan gila tentang dirimu yang ternyata adalah makhluk luar angkasa. Kau tampak tidak berbeda dengan denganku dan orang-orang di Nebula. "Aku terbangun dan mendapati perasaan hampa menyesaki rongga dadaku," ujarku pelan.

Kau terbangun di suatu hari dan mendapati segalanya berbeda. Aku terbangun dan mendapati segalanya berbeda. Aku pikir kita cukup sama dalam hal ini dan untuk itulah sekarang kita berkawan akrab.

"Sudah kubilang kau sedang patah hati dan bersedih, Sobat," ujarmu terdengar sok tahu.

"Apa itu patah hati? Bagaimana itu bersedih?" tanyaku.

"Bagaimana itu bersedih? Apakah kau tidak pernah merasakan kesedihan sama sekali? Omong kosong!"

Aku menggeleng. "Sama halnya kematian. Kita bisa saja membicarakannya sambil minum kopi seperti ini, tapi adakah di antara kita yang pernah merasakannya?"

Kau mengubah posisi dudukmu sehingga kita kini saling berhadapan. Matamu terlihat antusias setelah sebelumnya satu-satunya hal yang membuatmu antusias adalah ceritamu sendiri.

"Sedih adalah lawan dari gembira. Kalau kau pernah merasakan gembira, harusnya kau juga pernah merasakan sedih." Kau mencoba menjelaskan.

"Aku tidak mengerti kenapa kita harus merasakan sedih jika gembira saja sudah cukup."

"Karena seperti itulah yang terjadi di Bumi. Ada pagi ada malam. Ada musim panas ada musim salju. Ada bahagia ada sedih. Itu wajar. Sangat wajar."

"Tapi kita di Nebula. Kita selalu merasa bahagia di sini."

Kau terdiam cukup lama kemudian berkata "Tetapi semasa hidup manusia pasti merasakan sedih. Kecuali kalau ini surga, tapi aku sendiri tidak begitu yakin apakah surga memang benar ada."

"Jo, aku tidak mengerti bicaramu yang berputar-putar seperti kincir. Aku terbangun dan Iyv bukan lagi istriku. Kami memang bertengkar hebat di malam sebelumnya, tapi aku sama sekali tidak menyangka keesokan harinya dia melupakanku."

"Dan sekarang istrimu adalah Syl," katamu, entah bertanya entah memastikan.

"Ya. Iyv melupakanku. Aku tidak ada lagi di hidupnya. Iyv dan anak-anakku. Dia masih tinggal di rumah kami. Dia masih tidur di ranjang kami, tapi yang di sebelahnya bukan aku."

"Maksudmu, ada pria lain?" tanyamu tampak makin penasaran.

"Tidak seperti itu. Bahkan tidak pernah ada diriku sebelumnya. Kalau mengingatku, Iyv akan mengingat perselingkuhanku dengan Syl dan akan menjadi sangat sedih. Tidak ada kesedihan di Nebula. Oleh karena itu tidak pernah ada aku yang menyebabkan kesedihan dalam hidupnya."

"Astaga!" kau terkejut. "Jadi Nebula menghapus segala hal yang membuat penghuninya bersedih?"

"Kau terbangun dan benar-benar melupakan kesedihan yang kau alami kemarin. Kau tidak tahu bagaimana caranya bersedih dan kau bahkan lupa apa yang menyebabkanmu harus bersedih. Bukankah semesta memang diciptakan demikian?"

Kau menggeleng, "Kalau begitu seharusnya kau bahagia bukan? Kau sudah menikahi selingkuhanmu, dan Iyv sudah berbahagia dengan pasangan barunya. Maksudku, suami yang tidak menyelingkuhinya."

"Ya, seharusnya itulah yang terjadi. Aku tidak ada lagi dalam hidup dan ingatan Iyv sementara Iyv tidak ada lagi dalam hidup dan ingatanku. Sesuai teori alam semesta, itulah yang seharusnya terjadi. Tapi yang terjadi padaku adalah anomali. Kenangan tentang Iyv masih terekam jelas dalam memoriku. Melekat seperti permen karet pada sol sepatu."

"Apakah kau sudah mencoba mencari pertolongan?" Kau mulai cemas.

"Aku sudah ke dokter kemarin dan menjelaskan kondisiku. Mereka bilang aku hanya sedikit lelah dan berhalusinasi. Aku pun mulai menghitung berbagai kemungkinan. Apakah sejak awal aku tidak pernah menikah dengan Iyv? Apakah aku hanya membayangkannya? Apakah sejak awal aku memang hanya menikahi Syl dan membayangkan perselingkuhan dengannya? Kita tidak pernah tahu tragedi apa yang terjadi di malam sebelumnya karena kita selalu terbangun dengan perasaan yang bahagia."

Aku memutuskan menyudahi pertemuan kita hari itu karena matahari sudah akan tenggelam dan perasaan hampa dalam dadaku lumayan berkurang. Aku masih merasakan tatapanmu pada punggungku saat aku meninggalkan kedai.

Cun si pohon kelapa menyapa dalam perjalananku pulang untuk menawari membeli buah-buahnya yang sedang ranum, namun aku menggeleng. Aku terhenti tepat di depan rumah Iyv, rumahku, rumah yang kubayangkan adalah rumahku dengannya ketika kami menikah dulu.

Pertengkaran di malam itu terasa nyata. Aku masih ingat bagaimana air mata membasahi pipi kemerahan Iyv saat mendapati pesan mesra dari Syl di ponselku. Aku masih ingat bagaimana dia membanting perlengkapan minum teh bergambar bunga matahari yang kuhadiahkan padanya di hari ulang tahun pernikahan kami yang pertama saat aku mengakui segala hal yang sudah terjadi antara aku dan Syl. Aku bahkan masih ingat rasa kue jahe yang selalu dibuatkannya untukku dan anak-anak di akhir pekan ketika aku tidak bekerja.

Seseorang keluar dari dalam rumah dan aku terkejut itu adalah Iyv.

"Halo," dia menyapa sambil tersenyum dan memamerkan deretan giginya yang rapi. Tangannya menggenggam sebuah kantung kecil yang kemudian dilemparkannya ke dalam tempat sampah.

"Hai." Mendadak aku merasa gugup.

"Aku dengar Syl sedang mengandung. Sampaikan salamku padanya, ya." Iyv berlalu meninggalkanku sebelum aku sempat menjawab apa-apa. Lubang hampa sialan itu kembali menganga di dalam hatiku bahkan sebelum sosoknya menghilang di balik pintu. Beberapa detik kemudian aku masih terpaku di tempatku semula bergantian menekuri antara sosoknya yang menghilang dengan puing-puing perlengkapan minum teh bergambar bunga matahari yang teronggok di tempat sampah.

Besok aku akan menemuimu lagi di kedai. Dan besoknya lagi dan besoknya lagi. Sampai rasa hampa ini menghilang atau membesar hingga melenyapkanku. Terserah mana saja yang lebih baik.

Sabrina Lasama berdomisili di Manado

Redaksi menerima kiriman naskah cerpen, tema bebas, disesuaikan dengan karakter detikcom sebagai media massa umum yang dibaca semua kalangan. Panjang naskah sebaiknya tidak lebih dari 9.000 karakter, karya orisinal dan belum pernah diterbitkan di media lain. Kirim ke email mumu@detik.com



(mmu/mmu)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads