Amplop Kelima

Cerita Pendek

Amplop Kelima

Ayu Prawitasari - detikHot
Minggu, 08 Des 2019 08:18 WIB
Ilustrasi: M. Fakhry Arrizal/detikcom
Jakarta - Dari tiga amplop besar di dalam tasku, aku membuka amplop yang pertama. Coretan tanganku di bagian depan amplop cukup besar sehingga aku tak kesusahan membedakan amplop yang kumaksud dengan amplop lainnya.

Jogja. Itulah amplop yang pertama. Amplop kedua ada tulisan Solo yang kutulis dengan huruf kapital berwarna merah. Sementara amplop ketiga kutuliskan Jakarta dengan warna hijau.

Matamu masih terpejam. Tak ada dengkuran halus seperti yang biasa memenuhi ruang pendengaranku saat berbaring di sebelahmu. Tidurmu sesenyap ruangan tempat kita bersama malam ini. Nyenyak sekali dan seperti biasa aku tak mampu membangunkanmu.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Sebenarnya...argh... aku jadi jengkel sendiri. Aku ingin membangunkanmu dan menghabiskan malam ini dengan mengobrol berdua denganmu. Namun, aku tahu tidurmu tanda kelelahan. Kelelahan sangat. Jadi aku tak sampai hati membangunkanmu. Monolog jauh lebih baik. Aku yakin kau bisa mendengar racauan suaraku dalam tidurmu.

Jogja. Baiklah. Aku harus kembali ke tahun itu. Ke tempat itu. Stasiun Lempuyangan. Stasiun Tugu. Jalanan di Malioboro yang riuh. Kantin sastra. Ruangan-ruangan kelas di kampus yang sudah lama sekali tak kuhampiri meski berulang kali aku mengunjungi Jogja tanpa dirimu.

Nasi kucing di angkringan favoritmu. "Apa kamu tak ingin mencicipinya? Ayolah kita ke Jogja lagi. Aku janji mau makan nasi kucing kesukaanmu. Aku janji tidak akan membuangnya meski kamu tidak pernah mengakui bahwa aku tidak suka makanan itu." Kusentuh tangannya. Sekadar penegasan bahwa aku bersungguh-sungguh dengan janjiku.

Kita berbeda empat tahun dan sebenarnya tidak banyak yang berbeda dalam kehidupan kita. Memori kolektif yang sama, tahun 1990-an, tanpa gawai dan waktu yang cukup deras bergulir dengan penghiburan sebuah kotak tabung yang disebut televisi dan sebuah kotak lagi yang disebut radio. Kita bisa menikmati November Rain dengan rasa yang sama, impian dan harapan yang sama.

Kita juga bisa menikmati Michael Buble sambil bersenandung bersama. "Everything. Ya...You are my everything. Ayolah Sayang, kita dengarkan bareng lagu itu kalau kamu sudah tak capai lagi. Kalau kamu sudah bangun dan tubuhmu segar. Ayo dengarkan lagu itu," ujarku sungguh-sungguh sambil mencium pipimu. Tidak ada gerakan. Huh, tidurmu pulas sekali!

Aku melanjutkan monologku. Stasiun Tugu-Stasiun Lempuyangan dan kebodohan-kebodohan kita. "Mas, Stasiun Tugu tidak pernah berubah. Jam besar yang kamu bilang artistik itu tetap menempel di dinding. Kursi-kursi panjang modern tempat calon penumpang duduk menanti kereta juga masih ada. Semua masih sama. Yang berubah hanya satu-dua kereta. Bukan jalurnya, hanya desainnya. Kereta Prameks sekarang modis. Pakai baju batik. Sangat Jogja dan sangat Solo. Jawa sekali. Kamu pasti suka."

Aku menatap matamu yang terpejam. Menata rambutmu yang tak beraturan. Kamu adalah lelaki paling konyol yang pernah kutemui. Kata orang-orang, kamu adalah sosok yang smart. Entahlah. Sebab bagiku gelar doktor atau profesor sama saja. Aku tak peduli dengan gelar akademismu seperti juga aku tak peduli pada orang-orang yang sejenis denganmu. Aku hanya peduli pada kekonyolanmu yang tak pernah berubah sampai kau menua.

Mengantarkanku ke Solo, ke rumahku, dengan Prameks adalah kekonyolan yang barangkali akan aku ingat sampai akhir hidupku. Meski mengantarkanku, namun kau tak pernah benar-benar sampai ke depan rumahku.

Kamu hanya mengantarkanku di Stasiun Balapan lalu kembali ke Jogja dengan kereta yang sama untuk jadwal berikutnya. Kita berpisah sebentar. Namun, entah di tahun yang ke berapa, kita berpisah untuk waktu yang cukup lama. Itu karena aku muak denganmu, dengan ketidakjujuranmu. Aku muak dengan keluarga kecilmu yang kini berantakan itu.

Pukul 9 malam dan tidurmu makin nyenyak. Aku menghela napas panjang. Lelah. Aku sendiri juga lelah, tapi aku tak bisa tidur. Mataku tak mau terpejam.
Kubuka amplop kedua. Aku pilih sesuai waktunya. Cerita tentang Jogja sudah usai dan kini cerita kita berdua beralih ke Solo. Cerita yang sangat singkat, sesingkat kunjunganmu ke kotaku yang tak sampai 24 jam. Amplop ini lebih tipis dibandingkan amplop yang lain.

Sesungguhnya aku ingin mengajakmu mengelilingi kota ini. Kota yang sungguh-sungguh kucintai hingga aku yakin akan menutup mata di kota ini. Ini bukan kota tempat aku lahir dan dibesarkan. Kamu tahun kan, aku bukan orang Jawa. Tapi kata orang-orang, aku jauh lebih Jawa daripada orang Jawa kebanyakan. Aku, menurut mereka, adalah wanita yang sangat terkendali, terkontrol, dan ah entah apa lagi sebutan mereka.

Ya...Mungkin itu karena keketatan diriku mengontrol semua sikap dan aksaraku. Kamu sangat tahu kan bahwa aku bukanlah orang yang spontan, cenderung introvert, dan tak suka berada di antara banyak orang. Segala hal dalam hidupku tertata, bahkan marahku sekali pun.

Entah mulai kapan aku mempelajari seni memendam sesuatu seperti yang biasa orang Jawa lakukan. Mungkin sejak aku mengenalmu dalam kerahasiaanku. Sangat sedikit yang diketahui orang-orang tentang diriku, kecuali pandangan-pandangan liberalku, profesiku, tulisan-tulisanku, dan kehadiranku dalam berbagai forum. Jadi, terima kasih karena kau sudah menjaga dan menyimpan apa pun tentang diriku selama bertahun-tahun, bahkan saat kau sudah tidak mampu lagi seperti sekarang ini.

Aku sebenarnya sangat ingin membawamu berjalan-jalan ke kota yang menjadi bagian hidupku ini. Sangat ingin. Kau harus tahu bahwa Solo sangat unik. Aku tidak bisa menemukan diksi yang lebih tepat untuk mendeskripsikan kota ini.

Aku sangat ingin mengajakmu ke pangkalan buku bekas di Alun-Alun Utara Keraton Solo, lokasi favoritku. Tempat aku biasa menghabiskan waktu untuk memilih buku-buku yang kusukai dari satu kios ke kios yang lain. Aku sungguh-sungguh merindukan tawamu yang aku yakin bakal kudengar saat kau sampai di tempat tersebut. Tempat yang sangat aku sukai.

Bangku di bawah pohon beringin besar yang berdiri di depan lapak-lapak buku adalah tempat duduk favoritku. Aku juga suka sekali membongkar peti-peti berisi buku bekas koleksi para penjual di bangunan semacam pendapa di tempat itu. "Ah, kapan kau bisa menemaniku berburu buku bekas kesukaan kita?"

Mataku berat sekali. Pukul 10 malam. Untuk membuka amplop ketiga yang bertuliskan Jakarta ini butuh perjuangan agar aku tak menjatuhkannya. Namun, aku harus membukanya.

"Titik balik kita, aku dan kau, mungkin ada di amplop ini, Mas. Kekonyolan yang makin menjadi, kau tahu kan?" Air mataku mengalir tanpa bisa kucegah. Ada fase dalam hidupku untuk mengambil keputusan menyerah pada hubungan kita yang serba tak mungkin. Pertemuan dari kota ke kota yang sungguh melelahkan. Teks pendek-pendek di layanan Whatsapp. Sinyal buruk. Telepon yang sulit dan seringkali putus-putus. Aku ingin menyerah. Aku ingin meninggalkanmu sendirian. Aku ingin sendirian saja.

"Aku ke Jakarta!" serumu tiba-tiba.

"What? Kau terbang dari Lombok ke Jakarta tanpa ada embel-embel sebuah acara, seminar, atau diskusi. Hanya lari, tanpa alasan, bagaimana bisa?" sanggahku.

"Bisa dan ada alasannya. Aku ingin ketemu kamu!"

"Hah! Aku ada acara penghargaan di Jakarta dan acara sebelumnya sangat padat. Tidak mungkin menemanimu. Sudahlah, jangan aneh-aneh."

"Please," suara dari seberang membuatku kebingungan. Tak bisa kucerna sampai aku melihat sosokmu di lobi hotel. Duduk sendiri dan terus menatapku di antara riuhnya orang. Kita berdua bertemu di Jakarta.

***

Kamu membuka mata. "Bangun!" katamu sambil menggoyang-goyang tubuhku. Rupanya aku ketiduran. Wajahku memerah malu.

"Payah! Datang jauh-jauh untuk menjengukku, ternyata kamu cuma pindah tidur! Dengar ceriwis, aku butuh tidur. Hari-hari ini sangat melelahkan. Tapi kamu bicara terus. Nah, sekarang aku bangun. Kamu jangan malah tidur dong."

Aku memelukmu erat tanpa berkata-kata. Syukurlah. Akhirnya kamu bangun.

Ah, tahukah kau bahwa tawa dan kombinasi suaramu yang berat ini begitu hangat di tubuhku. Jadi aku tak bisa melepaskanmu. Tak bisa dan tak ingin.

Lagi-lagi kamu tertawa. Memandangku. Tertawa lagi. Memandangku lagi. Dan tertawa lagi. Begitu terus sampai aku benar-benar berharap waktu berhenti.

"Jadi kapan kamu balik Solo?"

"Besok pagi. Penerbangan pertama. Jam enam pagi. Aku pamit ke suamiku untuk menjengukmu yang sedang sakit. Kali ini sakit serius, jadi aku harus menemanimu. Dia memang jealous. Tapi aku tidak punya pilihan. Kamu membutuhkanku. Rumah tanggaku, ah...entahlah. Kamu jauh lebih membutuhkanku ketimbang dia," ujarku sambil terus memelukmu.

Kamu melihat tiga amlop yang kutaruh di atas selimutmu. Melihat satu per satu. Tersenyum sendiri sambil geleng-geleng kepala.

"Jadi amplop yang keempat ini di Lombok?"

Aku menganggukkan kepala.

"Dan tidak ada amplop kelima," gumammu.

"Kau ngomong apa Mas?"

"Enggak apa-apa. Aku berbaring lagi ya. Lemas sekali. Tapi, aku janji, Dik akan menemani sampai waktumu pulang. Dan sesudah itu...Berjanjilah padaku. Saat semua ini berlalu, kembalilah pada suamimu. Belajarlah mencintainya lagi. Sampaikan permintaan maafku untuk dia...dan aku juga minta maaf padamu. Permintaan maaf yang tak terhingga untukmu."

Kamu berbaring lagi di tempat tidur rumah sakit yang sempit. Matamu tidak lagi terpejam. Hanya berbaring diam-diam sementara aku tetap duduk di sebelahmu.

"Boleh aku menyanyikan lagu-lagu kesukaan kita?" tanyamu.

Aku mengangkat bahu sambil tersenyum. "Tapi kalau nanti aku ketiduran bagaimana?"

"Enggak apa-apa," ujarmu sambil meremas tanganku.

***

Pukul setengah lima pagi. Aku terbangun dengan rasa panik luar biasa. Untunglah ada check in online. Sebelum menemukan smartphone yang tergeletak di samping tubuhmu, jantungku serasa terlepas dari tubuhku untuk beberapa saat. Apa yang terjadi Tuhan?

Dua perawat dan seorang dokter ada di sekelilingku. Beberapa wajah yang tak kukenali. Dan kakiku bergetar hebat saat selimut itu menutupi wajahmu yang memucat. Wajahmu begitu putih, seputih kapas. Kamu telah pergi. Kau pergi bersamaan dengan kedatangan pesawatku.

"Oh ini yang kau maksud akan menemaniku sampai pesawat pertama siap?" tanyaku sinis. Kuambil tas di bawah kursi dan kutinggalkan tempat itu cepat-cepat.

"Tak akan pernah ada amplop kelima," gumamanmu memenuhi kepalaku. Rasa sakit tiba-tiba memenuhi dadaku. Namun, kupaksa kakiku menuju bandara, kembali ke Solo untuk menenangkan diri. Tak sudi kuucapkan selamat tinggal untukmu.

"Kau tahu Mas, sebenarnya aku sudah menyiapkan amplop kelima yang akan kita buka bersama sebentar lagi. Tak pernah ada kata selamat tinggal, Sayang. Tunggu aku sebentar saja," ujarku sembari menelan sebutir pil di saku sambil menaiki tangga pesawat.

Solo, 19 November 2019

Ayu Prawitasari jurnalis, tingal di Solo

Redaksi menerima kiriman naskah cerpen, tema bebas, disesuaikan dengan karakter detikcom sebagai media massa umum yang dibaca semua kalangan. Panjang naskah sebaiknya tidak lebih dari 9.000 karakter, karya orisinal dan belum pernah diterbitkan di media lain. Kirim ke email mumu@detik.com



(mmu/mmu)

Hide Ads