Jakarta -
Dunia seni Tanah Air berduka dengan kepergian
Jeihan Sukmantoro. Maestro seni lukis asal Bandung itu berpulang di usia 81 tahun.
Ia dikenal sebagai pelukis 'mata hitam'. Dalam setiap karya-karyanya, Jeihan selalu melukis sosok bermata hitam yang membuat namanya melambung sampai ke kancah internasional.
Figur bermata hitam hadir bukan tanpa sebab. Pada April 2019, detikcom berkesempatan mewawancarai Jeihan dan mengobrol mengenai figur bermata hitam yang masih dilukis sampai akhir hayatnya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Mengenakan jas dan peci berwarna hitam, Jeihan Sukmantoro tampak bersemangat bertemu jelang pembukaan 'Jeihan: Hari-hari di Cicadas' di Museum MACAN. Salah satu lukisan bersejarah Jeihan berjudul 'Aku' dan karya itu pula yang menjadi tonggak awal Jeihan dikenal sebagai pelukis 'mata yang dihitamkan'.
Foto: Museum MACAN/ Istimewa |
Lukisan 'Aku' dilukisnya pada 1963, saat masih berkuliah di Institut Teknologi Bandung (ITB). Jeihan melukisnya saat masih kuliah dan sempat terbengkalai. Dua tahun berikutnya, ia melukis satu lukisan lagi yang berjudul 'Gadis' dan tetap bermata hitam.
Pada tahun itu, Indonesia tengah mengalami Orde Baru hingga memunculkan peristiwa G30SPKI. Secara tak sadar, Jeihan menyambungkan antara ciri khas karyanya yang bermata hitam dengan situasi Tanah Air saat itu.
"Ini kebetulan atau kesalahan. Karena di tahun 1965 saya mulai lagi buat lukisan 'mata hitam'. Nggak lama ada pidato pengambilalihan negara. Ada G30SPKI juga," tuturnya.
Gara-gara lukisan bermata hitam itu, Jeihan memulai perjalanannya. "Kalau dibilang kok bagus, yah. Dulu belum seproduktif kemudian, baru di tahun 1968 saya buka mata mau jadi apa. Ya iya saya banyak melukis lagi," kenang Jeihan.
Konsisten berkarier sebagai seniman, bukan cerita yang mudah bagi seorang Jeihan Sukmantoro. Cicadas adalah tempat tinggal Jeihan pada awal kariernya sebagai pelukis.
Awal dekade 1960, Jeihan pindah ke Bandung untuk menempuh pendidikan seni rupa di Institut Teknologi Bandung (ITB). Lima tahun berikutnya, ia tinggal di Cicadas sebuah kawasan timur Bandung yang kala itu terkenal sebagai kota yang padat penduduk dan penuh tindak kriminal ringan.
Masa-masa tinggal di Cicadas diakui Jeihan sangat mengharukan. Pengalaman selama 20 tahun tinggal di Cicadas masih dikenang Jeihan sampai sekarang.
Di dekade tersebut, untuk cari makan saja susah. Indonesia berada dalam situasi sosial politik yang tak tentu. Ia juga dikenal sebagai warga yang pertama kali punya televisi pertama di kampung tersebut.
Kisah hidup Jeihan banyak direkam media massa nasional maupun internasional. Sapuan warna hitam yang menutupi mata dalam lukisan menggambarkan keprihatinan sang seniman terhadap masa depan bangsa yang tak menentu.
"Saya selalu berpikiran positif, karena pikiran di samping energi adalah partikel. Dia bisa berwujud dan menguap," katanya.
Kini si pemilik 'mata hitam' itu tutup usia. Hanya ada satu pemilik 'mata hitam' yang bisa melukis obyek mata hitam dan tak ada yang menyaingi seperti Jeihan.
Selain melukis, Jeihan juga membuat karya sastra berupa puisi. Dia lekat dengan gerakan puisi Mbeling. Salah satu puisinya yang berjudul 'Doa' ditulis Jeihan pada 1970-an dan mendapat sambutan yang hangat dari pencinta sastra.
Selamat jalan, Pak Jeihan...
Halaman Selanjutnya
Halaman