Suatu hari, istriku gatal ingin menjejali mulut Junaid dengan pecahan genting karena semerdeka jidatnya menuduh bahwa status ASN istriku didapat karena adanya koneksi pihak dalam.
"Sudah, jangan merasa sebagai aparatur negara yang diterima dengan murni, apalagi selektif. Tak percaya saya, kalau tak ada campur tangan pihak dalam. Sepupu saya yang di kelurahan pun harus melicin koneksi pihak dalam supaya diterima."
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
***
Selepas pulang kerja, Junaid menghampiriku bersama istrinya, Ika, yang hanya tamatan SMA itu.
"Saya dengar-dengar di kantor bupati ada seleksi untuk masuk ASN. Kau kan wartawan, tentu banyak kenalan di pemerintahan dong! Tolong carikan saya koneksi. Supaya Ika bisa menjadi ASN tanpa mondar-mandir mengurus administrasi. Untuk pelicin, saya bisa jual sawah dan empang di dusun. Jika masih ragu juga, orangtua Ika siap menggadaikan sertifikat tanahnya."
Ucapan Junaid cukup membuatku luluh. Tapi buru-buru kutolak dengan halus. "Maaf, Pak Jun. Aku memang banyak kenalan, namun untuk mendapatkan koneksi yang bisa dibayar, rasanya aku tak bisa. Maksudku, tak paham dengan begitu-begitu."
Usahaku berkilah malah disambut kekehan oleh Junaid, sementara istrinya hanya senyum-senyum saja.
"Tak usah berlagak polos! Bukankah kau sendiri sudah melakukannya agar istrimu jadi ASN, lalu bekerja di kantor pemerintahan seperti sekarang? Tenang saja, sudah saya siapkan komisi untuk kau."
Setelah ia berbicara seperti itu, jelas aku tambah muntab pada Junaid. "Cukup, Pak! Jangan samakan keluarga kami dengan mental Pak Junaid."
Junaid terdiam. Angin berdesir lembut sore itu, namun belum cukup mengusir gerah, apalagi setelah Junaid mengomporiku dengan mulut merconnya.
Tanpa rasa bersalah ia melemparkan senyum, sekonyong-konyong menepuk pundak saya.
"Jangan tersinggung. Zaman sekarang tak perlu malu jika keberhasilan itu datang karena kita punya koneksi pihak dalam. Lihat saja para koruptor yang tertangkap memberi atau menjadi koneksi karibnya, entah dibayar ataupun ia membayar, tetap santai-santai saja kok. Malah bisa senyam-senyum ketika diliput," Junaid yang hobi menonton berita berkotbah dengan berbusa-busa.
"Sudah, Pak Jun! Ini mau magrib lho. Cari yang lain saja!" kataku tegas. Seraya berpamitan, Junaid dan istrinya berkata, "Jangan dijadikan berita masalah sepele ini lho! Bisa pusing nanti saya cari koneksinya."
***
Menurutku, Junaid itu orang yang frustrasi. Ia dibesarkan dari melihat dan mendengar kecurangan-kecurangan. Dalam tempurung kepalanya, setiap kali ada orang berhasil, dicurigainya karena ada persengkokolan, koneksi, ataupun orang dalam. Bahkan itu juga tercermin pada kesehariannya.
Pernah ia bercerita, untuk membeli laptop atau ponsel, lebih dulu ia mencari koneksi dari pemilik toko elektronik tersebut. Setelah terbangun keakraban dengan pihak dalam, barulah ia membeli barang lewat perantara si koneksi, yang tentunya lebih 'miring' dari harga pasaran. Maka tak jarang tiga atau empat bulan sekali ia berganti laptop atau handphone. Kadang dipamerkannya barang itu ke orang-orang terdekat. Seolah ia kaya, padahal hanya memanfaatkan koneksi-koneksi untuk kepentingan pribadinya.
Kesombongan Junaid memang menjengkelkan. Tapi, bagiku biarlah itu menjadi kebangaannya sendiri. Kadang Junaid berdalih bahwa memanfaatkan koneksi untuk tujuan pribadi sudah ada sejak dulu-dulu. Para prajurit kerajaan sering dijadikan koneksi oleh rakyat untuk meringankan pembayaran upeti.
"Mangkannya, belajar dari sejarah," kata Junaid. Sementara aku manggut-manggut saja dengan pemaparan sejarah yang ia gunakan untuk bersilat lidah.
***
Sebelum berangkat pagi, Junaid mendatangiku. Guru sekolah kejuruan ini kebetulan mengajar siang. Tampak ada yang berbeda dengan penampilannya.
"Kacamata baru nih, Pak!" sapaku. Juniad tersenyum sembari memegangi gagang kacamatanya yang kelihatan mahal itu.
"Teman saya di optik menawari kacamata ini. Aslinya tiga ratus ribu. Tapi, karena saya punya koneksi dengan sang pemilik toko, jadi saya cukup membayar dua ratus lima puluh ribu saja. Kan lumayan sisanya untuk bensin."
Junaid tertawa pongah di ujung kalimat tadi, membanggakan keberhasilannya membangun koneksi.
"Maaf..." Junaid mendadak berucap pelan. "Istri saya sudah kirim lamaran untuk penerimaan calon ASN di kantor bupati. Tinggal menunggu tes saja. Kau jadi tak usah cemas. Saya sudah menemukan koneksi sendiri. Orang ini kebetulan masih sepupu dengan pak bupati, dan kenalan dekat dengan seorang menteri," papar Junaid.
"Lalu?"
"Ia minta dua puluh lima juta di muka sebagai dana lobi untuk istri saya ambil jalur 'khusus'. Dan katanya, pelicin itu akan diputar ke beberapa tim evaluasi, dan orang-orang penting di administrasi pemerintahan. Berarti orang-orang penting ini sedang memperjuangkan nasib Ika." Sorot bola mata Junaid tampak berbinar-binar.
"Nanti saya pulang kampung, menjual sawah dan empang, lalu mengajukan simpanan ke koperasi sekolah. Orang itu minta tiga puluh juta paling lambat minggu ini. Cuma ya, untuk awal-awal aku perlu dana administrasi. Sekarang akhir bulan bagi guru honorer macam saya. Hmmm...kalau boleh, saya hendak pinjam tiga ratus ribu dulu." Junaid memohon sembari sedikit menggaruk-garuk kepala.
Supaya tak membuang waktu, dan kebetulan sedang ada rezeki, bergegas aku kasih saja apa yang Junaid mau. Apalagi ia juga masih tetangga satu kompleks.
"Kebaikanmu akan saya ingat. Apalagi jika saya dan Ika sudah jadi ASN dan sama-sama kerja di pemerintahan." Junaid menepuk pundakku. Menjadi ASN dan bekerja di ruang lingkup pemerintahan agaknya menjadi pencapaian tertinggi, dan dapat legitimasi sosial bagi orang-orang yang tinggal di dusun seperti Junaid.
Esoknya, Ika terdengar bercerita dengan istriku.
"Mudah-mudahan koneksi suamiku bisa memberikan harapan yang cerah. Dua puluh lima juta tak masalah. Lha wong teman saya saja habis sepuluh juta supaya anaknya bisa jadi staf di kelurahan," kata Ika. "Bukankah harus mencontoh keberhasilan orang lain," sambungnya lagi.
"Oh, ya." Ika mendekatkan badannya ke istriku. "Kau dulu ikut seleksi begini habis berapa?"
Ada hening yang cukup lama setelah pertanyaan itu terlontar.
***
Lebih dari dua minggu aku tak bertemu Junaid, seperti halnya tak bertemu istri dan anak, karena sedang mengikuti outing kantor di Bali.
Bahkan sepulang dari Bali, sudah jarang pula saya mengobrol lama dengan Junaid. Kadang hanya berpapasan dan saling melemparkan senyum. Kebetulan sehabis pulang outing, kerjaanku semakin menumpuk di meja. Berangkat pagi buta, pulang melewati senja.
Sekitar dua minggu kemudian, Junaid menemuiku. Awalnya kami hanya berbincang tentang berita politik yang sedang hangat. Lalu, Juniad mulai menceritakan permasalahannya.
"Sehubungan dengan Ika. Hmm...Saya butuh bantuan kau."
"Mencarikan koneksi baru?" sambarku.
"Bukan. Hanya saja Ika sudah tak sabar menunggu pengumuman hasil tes. Padahal jadwalnya kan besok. Tadi istri saya mengusulkan bagaimana kalau minta tolong kau saja."
Aku mengernyit. "Minta tolong bagaimana?"
"Pengumuman itu kan juga dimuat di surat kabar tempat kau bekerja. Nanti kau bawa fotokopi nomor ujian Ika ini. Saya rasa nanti sore hasil tes itu sudah keluar. Nah, malamnya kau kabari saya. Ika sudah gatal hatinya ingin cepat-cepat masuk kantor." Begitu Junaid menerjemahkan harapan istrinya, mungkin seraya bermimpi tinggi di siang bolong. "Saya harap kau tak menolak. Percuma saja saya punya koneksi seperti kau di kantor redaksi," sambungnya lagi.
Aku sudah dapat menebak keinginan gamblang Junaid, selama ia tak minta aku menjadi koneksi yang aneh-aneh apalagi sampai membayar, aku rasa masih dapat menolongnya. Aku bisa melihat hasil tes itu di meja redaksi sebelum diteruskan ke divisi lay out. Tanpa menunggu jawaban dariku, ia hanya meninggalkan nomor ujian Ika di meja, lalu bergegas pamit.
Sesampainya di kantor redaksi, ternyata kepala divisi menugaskanku selama dua hari ke luar kabupaten. Dan siang ini harus segera berangkat, yang berarti aku batal membantu Junaid.
Paginya, aku melihat pengumuman itu lewat e-paper koran, di bagian halaman yang mencantumkan logo pemerintah daerah tingkat II. Setelah ditelusuri lebih teliti, tak ada nama Ika di daftar tersebut. Deg! Aku membayangkan betapa kepingan harapan yang digembar-gemborkan Junaid runtuh seketika. Tak cuma itu, tiga puluh juta hasil sambat kanan-kiri pasti membuatnya gelisah tak berkesudahan.
Untuk memastikan, malamnya aku menelepon istri. Di ujung telepon istriku berkata, "Orang-orang Junaid itu ternyata residivis kambuhan. Mereka indekos di depan jalan raya selama dua bulan untuk mencari mangsa. Ada 12 orang yang sudah termakan hasutannya, bahkan lunas membayar di muka," papar istriku.
"Bagaimana dengan Junaid?" Aku penasaran nasib lelaki itu, setelah terkena bumerang dari kebanggaannya mendapatkan banyak 'koneksi'.
"Ia lapor polisi. Namun Ika masih terisak-isak sejak tadi malam."
Aku menutup telepon. Merasakan bagaimana harapan Junaid itu terpelanting keras. Usaha pantang menyerah yang ia lakukan demi istri tercinta, walau memang caranya salah.
Besoknya, aku melihat rekan satu divisi sedang menulis berita penipuan penerimaan calon ASN berkedok sepupu bupati. Ketika bertemu lagi dengan Junaid, ia langsung menumpahkan kekesalannya.
"Orang-orang bedebah! Minggat di tengah jalan, padahal sudah dibayar lunas duluan."
Aku memahami luapan emosi Junaid. Menunggu ada lagikah yang mau ia katakan. Namun setelah menunggu lama, hanya napasnya saja yang naik-turun, dengan tatapan kesumat pada 'koneksi'-nya yang mungkin akan terbawa seumur hidup.
Cirebon, Oktober 2019
Rizky Alvian lahir di Cirebon, 14 November 1998. Menulis cerpen dan esai
Redaksi menerima kiriman naskah cerpen, tema bebas, disesuaikan dengan karakter detikcom sebagai media massa umum yang dibaca semua kalangan. Panjang naskah sebaiknya tidak lebih dari 9.000 karakter, karya orisinal dan belum pernah diterbitkan di media lain. Kirim ke email mumu@detik.com
Redaksi menerima kiriman naskah cerpen, tema bebas, disesuaikan dengan karakter detikcom sebagai media massa umum yang dibaca semua kalangan. Panjang naskah sebaiknya tidak lebih dari 9.000 karakter, karya orisinal dan belum pernah diterbitkan di media lain. Kirim ke email mumu@detik.com
(mmu/mmu)











































