Setelah Beras Datang

Cerita Pendek

Setelah Beras Datang

Tjak S. Parlan - detikHot
Minggu, 10 Nov 2019 10:39 WIB
Ilustrasi: Edi Wahyono/detikcom
Jakarta - Kaki Eliakem menari-nari, mengentak-entak, menginjak-injak serbuk sagu yang menumpuk tebal. Sesekali dia mengambil jeda untuk menimba air dengan timba berbentuk kerucut yang terbuat dari pelepah sagu. Disiraminya tumpukan serbuk sagu itu secara merata lalu kakinya kembali menari-nari di atas penapis.

Kakinya basah. Sekujur tubuhnya basah oleh keringat. Ada kalanya ketika dia menunduk, butir-butir keringat jatuh dari keningnya. Butir-butir keringat itu melebur bersama cairan putih yang terus mengalir ke bawah. Air cucuran berwarna putih itu ditampung dalam penampung penghubung yang berupa kayu berceruk lebar. Ujung penampung penghubung itu tersambung dengan sebuah penapis dari kain yang digantungkan di atas sebuah wadah kayu berbentuk sampan.

Di dalam wadah kayu berbentuk sampan itulah semua saripati sagu mengendap. Eliakem akan membiarkan endapan itu sampai benar-benar menjadi saripati yang unggul agar bisa dipindahkan ke dalam tappri-tappri kosong yang telah disiapkan.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Ini tembakaunya!" Aron muncul dengan sebungkus tembakau di tangannya.

Eliakem berhenti sejenak, menatap anak laki-lakinya itu dan kembali melanjutkan pekerjaannya. Aron meletakkan tembakau itu di atas tappri dan kembali menghilang di balik rumpun sagu. Begitu mengetahui Aron sudah tidak ada di tempat, Eliakem berteriak, "Aron! Mau ke mana lagi kamu?"

"Ke Muara, ambil beras!" jawab Aron.

Eliakem memutuskan untuk beristirahat. Dia duduk di bawah peneduh --semacam gubuk kecil tanpa dinding-- dan mulai menggulung tembakaunya.

Di bawah peneduh beratap rendah itu sejumlah tappri dan karung beras berjajar. Ada tiga tappri dan empat karung beras berisi tepung sagu yang sudah kering. Sudah berhari-hari Eliakem mengolah sagu. Hasilnya cukup untuk persediaan makan beberapa bulan. Namun usia tua membuat tenaganya semakin menyusut.

Dulu dia bisa mengurus semuanya, mulai dari memilih dan menebang pohon hingga memotongnya menjadi tual-tual sagu yang gemuk dan siap diparut. Belakangan dia mulai membayar orang untuk mendapatkan sagu parutan. Sagu parutan itu dibawanya ke tempat pengolahan sagu miliknya yang terletak di sebuah ladang berawa tidak begitu jauh di belakang rumahnya. Tahapan selanjutnya tetaplah menjadi urusannya.

Eliakem membakar tembakau gulungnya. Terdengar gemerisik kecil saat dia mengisap rokok kegemarannya itu. Jarak sepengisapan rokok kemudian, seseorang muncul di hadapannya. Eliakem menyambutnya dengan ramah.

"Anai leu ita," sapa Markus

"Anai leu ita," jawab Eliakem. "Ah, sudah sehat ya? Maaf, saya belum bisa datang ke rumah."

Markus tersenyum tipis. Dia baru saja didera sakit yang panjang. Keluarganya harus menyeberangkannya ke pulau sebelah agar mendapatkan perawatan yang lebih baik. Nyaris dua minggu dia menginap di rumah sakit kabupaten. Sepulangnya dari sana, Markus menjalani perawatan di rumah. Selama proses pemulihan, dia diharuskan makan secara teratur. Dan Markus cukup beruntung. Dua orang sikerei berpengaruh dari tetangga dusun datang untuk melakukan ritual penyembuhan di rumahnya. Markus pun kembali sehat dan mulai bisa melakukan sejumlah hal seperti semula.

"Saya titip pesan lewat Aron. Apa sudah disampaikan?" ujar Markus seraya mengetukkan jemarinya ke sebuah tappri yang terbuka.

"Sudah. Biar Aron saja yang mengantarkannya," jawab Eliakem. "Tapi anak itu sedang pergi. Katanya ke Muara. Tak tahu bersama siapa dia."

"Lemanu," tanggap Markus. "Tadi saya lihat Lemanu menyiapkan pompong."

"Hah! Sungai masih surut. Semoga saja mereka bisa sampai di sana."

"Cuaca juga masih buruk. Saya ragu kalaupun mereka bisa sampai di sana."

"Begitu?"

"Ada kerabat dari Mangorut cerita. Kemarin tak jadi menyebarang ke Sipora. Tak ada kapal yang berani. Ombak masih besar."

"Orang-orang dusun ini tak bisa makan nasi kalau terus seperti ini. Beras pasti sangat mahal. Begitu kan?" tanggap Eliakem.

"Kita berdoa saja," ujar Markus. "Semoga ada kapal datang dan beras-beras itu bisa sampai ke Ugai."

Markus datang untuk melihat pesanan tepung sagunya. Dia sudah lama berhenti mengolah sagu. Sudah sekitar lima tahun. Sejak saat itu keluarganya mau tak mau mulai terbiasa dengan kehadiran nasi.

Meskipun begitu mereka belum benar-benar bisa meninggalkan sagu. Nyaris setiap waktu makan, rasanya ada yang kurang lengkap jika tak ada obuk --sagu panggang dalam bambu. Apalagi jika istrinya sedang memasak sup ayam kampung atau sup ikan. Oleh karenanya Markus sesekali membeli tepung sagu di tempat Eliakem. Markus pernah mengisi hari-harinya dengan mengolah sawah yang tanahnya disediakan melalui program pemerintah. Sawah yang sebenarnya lebih sering gagal panen.

Mungkin karena tidak semua jenis tanah cocok untuk ditanami padi. Setidaknya itulah yang pernah dikeluhkan oleh Eliakem dan sejumlah orang lainnya di dusun itu.

"Kalau sudah kuat, saya akan mengolah sagu lagi," ujar Markus datar.

"Begitu?" tanggap Eliakem ringan.

Untuk beberapa saat, mereka tak membicarakan apa-apa. Eliakem menggulung tembakaunya lagi. Markus mencoba melakukan hal yang sama. Saat Markus mulai mengisap rokok lintingnya, sontak dia terbatuk-batuk.

"Sudah tak cocok dengan tembakau rupanya," seloroh Eliakem.

Markus berusaha menahan batuknya meski itu sia-sia. Bahunya terus berguncangan. Tapi dia tak menyerah begitu saja. Seraya meninggalkan tempat itu, dia kembali mengisap rokoknya dalam-dalam. Eliakem tersenyum-senyum melihat tingkah teman kecilnya itu.

***

Mereka duduk melingkar di lantai kayu. Istri Eliakem memasak obuk lebih banyak malam itu. Untuk mengeluarkan isinya, bambu-bambu matang berdiameter kecil itu pun segera dibelah. Terkumpul tiga piring penuh --tiga piring obuk! Tak ada sup ayam kampung. Sebagai gantinya adalah gulai daun singkong muda dicampur udang asap. Lalu sambal cabai merah. Ditambah sepiring nasi.

Eliakem mencuci tangannya di dalam sebuah mangkuk plastik. Hal yang sama kemudian dilakukan oleh Aron, Yohanes, lalu istri Eliakem. Ketika Eliakem belum juga menyendok nasi ke dalam piring, Aron merasakan perutnya semakin keroncongan. Perutnya nyaris tak kemasukan apa-apa sejak dari Muara Siberut. Perjalanan di atas pompong dengan rasa lapar selama lima jam itu, mestinya segera tuntas setelah tiba di Ugai. Tapi tampaknya dia masih harus menunggu.

"Bagaimana perjalananmu, lancar?" tanya Eliakem.

"Air sungai surut. Harus sering turun mendorong pompong," jawab Aron.

"Apa Lemanu mendapatkannya?"

Aron mengernyitkan dahi seolah tak mengerti. Perutnya semakin keroncongan. Dia menuangkan air putih ke dalam gelas dan langsung meneguknya.

"Beras, maksudnya?" tanggap Aron. "Lemanu dapat sedikit dan harganya sangat mahal. Belum ada kapal dari Padang."

"Kita tak membeli beras?"

Tak ada yang merasa perlu menanggapi pertanyaan Eliakem. Mereka tahu, ketika musim badai, beras menjadi sesuatu yang langka di seluruh pulau, terutama di dusun-dusun yang terletak di daerah hulu. Harganya sangat mahal. Sejak awal, Eliakem menolak ketergantungan kepada beras. Bahkan ketika cuaca sedang baik-baik saja dan kapal-kapal kayu lancar membawa sembako, Eliakem hanya membeli sedikit. Hanya agar Yohanes, anak bungsunya, yang telanjur mengenal nasi sejak lahir, bisa mencicipinya pada saat-saat tertentu.

"Kapan kamu kembali ke Padang?" tanya Eliakem.

"Lusa. Atau tunggu cuaca bagus," jawab Aron.

Eliakem mengambil sepotong obuk. Dia memotongnya menjadi dua. Diletakkannya sepotong yang lebih besar di bibir piring. Kemudian dia mulai mencocol-cocolkan potongan yang lebih kecil ke dalam kuah gulai singkong muda yang gurih.

"Mari kita makan!" ujar Eliakem.

Aron segera menyendok nasi ke dalam piringnya. Sebelum mengguyurkan kuah gulai hangat ke dalam piring, dia berhenti sejenak lantas meletakkan nasi itu ke tempatnya semula. Dia memilih mengisi piringnya dengan sepotong obuk. Dipotongnya obuk itu menjadi kecil-kecil. Lalu dengan gerak-gerik orang yang sedang didera lapar, dia mencocol-cocolkan potongan-potongan kecil itu ke dalam kuah gulai yang berwarna kunyit.

"Yohanes, habiskan saja nasinya!" ujar Aron kepada adiknya.

Yohanes tak menggubris apa yang dikatakan Aron. Tanpa banyak bicara, dia segera memenuhi piringnya dengan sagu panggang olahan orangtuanya itu. Wajah Eliakem menyiratkan kelegaan melihat tingkah laku kedua anaknya. Rona kelegaan juga tergambar pada wajah istrinya.

"Saya kira kamu sudah tak bisa makan sagu lagi sejak sekolah di kota," ujar istri Eliakem seraya menepuk bahu Aron dengan punggung tangannya.

Aron berhenti mengunyah. Dia mengedarkan pandangannya ke sekitar, ke wajah-wajah yang sangat dikenalinya. Serta-merta tawanya pun pecah. Tawa itu disusul oleh derai tawa yang lain dalam rumah kecil berdinding kayu itu.

"Makanlah yang cukup. Masih banyak sagu yang bisa diolah. Ada beras atau tidak, kita harus tetap makan," ujar Eliakem dengan gembira.

Selepas mengatakan itu, Eliakem meminta istrinya pergi ke dapur. Istrinya segera beranjak dan kembali dengan beberapa potong obuk.

Ampenan, 7 Oktober 2019

Catatan:

Tappri (Mentawai): Wadah untuk menyimpan tepung sagu, berbentuk bulat memanjang, terbuat dari daun sagu yang dirangkai dengan tali rotan.
Anai leu ita (Mentawai): Sapaan perjumpaan khas orang Mentawai.
Obuk (Mentawai): Makanan khas Mentawai, terbuat dari tepung sagu yang dimasak dalam bambu dengan cara dipanggang.
Sikerei (Mentawai): Seseorang yang memiliki peran istimewa dalam masyarakat Mentawai sebagai penyembuh (tabib).
Pompong: Istilah untuk menyebut sampan bermesin satu yang bentuknya ramping dan memanjang.

Tjak S. Parlan lahir di Banyuwangi, 10 November 1975. Buku kumpulan cerpennya Kota yang Berumur Panjang (Basabasi, 2017). Mukim di Ampenan, Nusa Tenggara Barat

Redaksi menerima kiriman naskah cerpen, tema bebas, disesuaikan dengan karakter detikcom sebagai media massa umum yang dibaca semua kalangan. Panjang naskah sebaiknya tidak lebih dari 9.000 karakter, karya orisinal dan belum pernah diterbitkan di media lain. Kirim ke email mumu@detik.com



(mmu/mmu)

Hide Ads