Bintang biru berukuran kecil itu terasa begitu familiar baginya. Cahaya yang memancar menjalarkan perasaan intim ke sekujur tubuh si bocah. Dia berusaha mengingat-ingat sesuatu. Berusaha menemukan kembali kepingan yang tertimbun dalam semesta kepalanya. Tapi dia tak sanggup mengingat apa pun. Tak lama seorang bocah yang lain berlari menghampiri si bocah yang sedang rebahan.
"Kamu sedang ngapain rebahan di sini, Har?"
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Si bocah, yang kemudian kita ketahui memiliki nama Kil, menuruti apa yang diperintahkan oleh temannya. Kil melompat ke bak sampah dan merebahkan tubuhnya di samping Har sembari menatap keluasan langit.
"Wah, bintang yang biru itu keren banget ya, Har!"
"Dari mana kamu tahu kalau itu bintang?"
"Lha, memangnya bukan?"
"Aku juga gak tahu sih. Bisa jadi itu planet, Kil."
"Ngawur kamu, Har. Mana ada planet sekecil itu."
"Kan planetnya memang kelihatan kecil karena letaknya jauh dari Bumi, Kil."
"Bener juga sih, Har."
Dua bocah itu terdiam. Angin berembus pelan dan menerbangkan sebuah plastik kresek kecil berwarna putih. Plastik itu terbang dan melayang sebentar di hadapan dua bocah itu, bergerak ke kanan, lalu berbalik ke arah yang sebaliknya. Malam terasa senyap. Tak terdengar bunyi motor ataupun mobil lewat di jalan aspal di depan kawasan tempat pembuangan akhir tersebut karena memang jalan tersebut bukan jalan utama menuju tempat-tempat yang strategis seperti pusat perbelanjaan dan semacamnya.
Di kawasan itu hanya terdapat kampung kumuh dengan rumah semi permanen, tanah lapang tempat seluruh sampah di Surabaya ditimbun, sawah beberapa petak, tambak ikan yang tak terawat, dan kesunyian.
"Har, kamu tahu gak kalau bintang yang ada di langit itu sebenarnya jelmaan orang yang sudah mati?"
Di sebelah Barat titik cahaya kecil berwarna biru, berjarak tiga telapak tangan dari penglihatan Kil dan Har, muncul titik cahaya kecil berwarna hijau. Titik cahaya kecil itu mula-mula seperti malu-malu menampakkan dirinya, namun makin lama makin terang dan tampak lebih jelas.
"Kata siapa, Kil?"
"Kata Nay."
"Memangnya kamu percaya sama omongan Nay?"
"Percaya, karena dia satu-satunya anak orang kaya di kelas kita."
"Apakah karena dia kaya jadi kita mesti percaya sama dia?"
"Kita mesti percaya sama Nay karena cuma Nay yang suka baca buku selain buku pelajaran."
"Aku juga bakal suka baca buku selain buku pelajaran kalau punya buku kayak gitu, Kil. Sayangnya di rumah cuma ada koran lampu merah!"
"Sama, Har. Pantes kita gak bisa bedain bintang dan planet, orang bacanya cuma berita begalan!"
Dua bocah itu tertawa lepas di tengah heningnya malam. Lampu bohlam di ujung jalan kampung berkedip-kedip dan mengeluarkan bunyi zet zet zet.
Semak-semak bergoyang-goyang diempas angin. Har iseng menggebrak bak sampah dan membuat lalat-lalat yang sedang pulas di dalamnya terbangun dan beterbangan keluar di sekitar mereka. Di langit kini tampak dua titik cahaya kecil berpendaran: biru dan hijau. Kil lalu seperti tiba-tiba sadar akan sesuatu.
"Har, Har...." kata Kil sambil menepuk pundak Har. "Coba lihat baik-baik warna planetnya."
Har segera menimpali, "Ooo, sekarang kamu anggap itu planet, Kil?"
"Apalah itu sebutannya, Har. Aku gak tahu. Tapi coba lihat baik-baik warnanya."
"Kenapa memang warnanya, Kil?"
Kil kemudian menjelaskan, "Yang warna biru itu Planet Persib. Yang hijau itu Planet Persebaya."
"Wah, makin ngawur kamu, Kil!"
Dua bocah itu kembali tertawa.
Dari balik lipatan malam, titik cahaya kecil berwarna jingga tiba-tiba muncul dan meluncur dengan ekor yang panjang serupa api yang menjilat-jilat. Angin tiba-tiba berhenti berembus. Semak-semak dan rumput liar diam tak bergerak. Suasana makin terasa senyap dan hening. Dua bocah itu terdiam sejenak, sebelum kemudian Kil kembali memecah keheningan dengan celetukan tak terduganya.
"Har, cepet angkat tangan dan berdoa!"
"Memangnya kenapa lagi, Kil?"
"Sudah, nurut saja, Har! Aku pernah lihat ini di tipi. Cepet angkat tangan dan buat satu permohonan. Jangan lupa sambil merem, ya!"
Dua orang bocah itu memejamkan mata, menengadahkan tangan sembari dalam hati mengucapkan permohonan yang mereka harapkan akan dapat dikabulkan oleh semesta. Dua orang itu lantas membuka mata kembali. Memandang keluasan langit dengan perasaan gembira yang meletup-letup.
"Kamu tadi doa minta apa, Har?"
"Aku doa minta rumah, Kil. Kasihan bapak udah tua tapi masih belum punya rumah sendiri."
"Ooo gitu ya, Har."
"Iya, gitu. Kalau kamu?"
"Aku doa supaya bisa berjodoh sama Nay, Har!"
Sontak Har mengeplak bagian belakang kepala Kil dengan telapak tangan kanan.
"Kamu aneh-aneh aja, Kil! Kamu mestinya sadar diri kalau kamu itu dekil dan miskin!"
Kil mengusap-usap bagian belakang kepalanya yang terasa sakit dan kembali menimpali perkataan Har.
"Justru itu, Har! Aku berdoa supaya jodoh dengan Nay, ya supaya bisa dapat warisannya dan jadi kaya!"
Karena merasa sangat gemas dengan jawaban Kil, Har mendorong tubuh Kil hingga Kil terguling dari atas bak sampah dan jatuh tepat di atas gundukan sampah di bawahnya.
"Asu kamu, Har!"
"Kamu yang asu, Kil!"
Dua bocah itu kembali tertawa untuk kesekian kalinya.
Suara gaduh terdengar dari kejauhan. Sebuah truk besar datang membawa gundukan sampah di bagian baknya.
"Hei, kalian bocah ngapain malam-malam masih di sini? Cepet pulang sana!" teriak si sopir truk. Si sopir truk membuka pintu truknya dan melompat turun menghampiri Kil dan Har.
"Kalian ngapain malam-malam begini?"
"Kami sedang lihat Planet Persib dan Planet Persebaya, Paklik!" jawab Kil dengan penuh semangat sambil menunjuk dua titik cahaya kecil di atas langit.
"Planet Persib Persebaya ndhasmu atos! Itu namanya astroroit!"
"Astor apa, Paklik?"
"Astroroit! Saudaranya merteorit!"
"Apa lagi itu merteorit, Paklik, Paklik."
"Lho, ya, gini ini bocah-bocah gak niat sekolah. Mana ngerti yang begituan."
"Lha, sampeyan memangnya sekolah?"
"Kalau sekolah mana mungkin Paklik jadi sopir truk sampah, Le, Le. Kalau sekolah ya, Paklik jadi anggota dewan. Sudah, buruan pulang. Kalau kamu mau lihat yang kayak roit roit itu, di THR ada wahana baru, namanya Planetarium. Di sana lebih bagus, ada AC-nya. Tapi, ya gak gratis, mesti bayar 80 ribu."
Har mendongakkan kepala, menatap langit. Setitik cahaya biru berukuran kecil yang masih menyala-nyala di langit yang kelam.
"Tapi di THR saya gak bisa lihat ibu, Paklik."
Si sopir truk tak mengerti maksud dari apa yang baru saja dikatakan Har. Kil paham tapi memilih untuk tak membahasnya lebih jauh. Dua bocah itu lalu berjalan pulang menuju rumah masing-masing sembari membawa karung goni berisi beberapa botol plastik mineral. Sementara si sopir truk membuka bak truknya dan mulai menggulingkan sampah yang dibawanya di atas tanah yang dia tahu beberapa bulan lagi akan mulai dibangun sebuah perumahan elit.
Aris Rahman P. Putra lahir di Sidoarjo, 12 Juli 1995. Alumni Universitas Airlangga Jurusan Antropologi. Kumpulan cerpennya yang berjudul Riwayat Hidup Sebuah Pistol di Kawasan Mulholland Drive baru saja diterbitkan oleh Penerbit Basabasi
Redaksi menerima kiriman naskah cerpen, tema bebas, disesuaikan dengan karakter detikcom sebagai media massa umum yang dibaca semua kalangan. Panjang naskah sebaiknya tidak lebih dari 9.000 karakter, karya orisinal dan belum pernah diterbitkan di media lain. Kirim ke email mumu@detik.com
(mmu/mmu)