Tak ada yang tahu kapan surau itu dibangun. Dilihat dari keadaannya, usia surau itu sangat tua, bahkan mungkin lebih tua dari lelaki beruban juntai yang tinggal di surau sunyi itu.
Lelaki tua uban yang tinggal di surau itu bernama Muni. Ia bekerja sukarela sebagai penjaga dan perawat surau itu. Kesehariannya digunakan untuk menyapu, membersihkan sawang laba-laba di tembok, membersihkan kotoran binatang di lantai, membersihkan daun kering yang luruh menutupi genting, mencabut rumput di halaman, mengisi bak mandi dengan air, yang diambil dari sumur warga yang ada di kaki hutan setelah ia menempuh perjalanan sekitar satu kilometer, melintasi semak dan batu.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Muni memutuskan tinggal di surau itu bukan karena dirinya tidak punya rumah dan keluarga. Istrinya memang meninggal sepuluh tahun yang lalu, tapi ia tetap punya rumah, anak dan cucu. Hanya saja ia bekerja sebagai sukarela di surau itu tidak lain hanya demi mengharap rida Allah.
"Nabi saja berjuang sampai bertaruh nyawa, sedang aku apa?" gumamnya suatu waktu yang membuat ia bertekad untuk tinggal di surau itu. Tak ada yang membayar, yang ada hanya ancaman-ancaman, baik dari binatang buas, maupun dari para penebang liar dan pemburu hewan yang dilindungi. Untuk makan saja, ia harus mengambil daun dan menukarnya dengan makanan ke pasar setiap pagi. Tapi ia jalani dengan senyum, sebab di dadanya ia ingin meneladani sikap Nabi.
***
Malam itu bulan tua tampak ceking di balik dahan sebatang pohon. Muni menatapnya sambil duduk menikmati rokok di teras surau. Tak jauh darinya, sebuah lentera menyala, apinya meliut-liut dipermainkan angin. Kesunyian berpadu ngeri dengan lolongan angin, auman serigala, suara ular dan cericit kelelawar yang beterbangan di pohon kesambi. Jam agak ringsek yang terpajang di sudut tembok sudah menunjukkan pukul 23.58. Malam semakin mencekam.
Setiap malam, ia terbiasa melihat keanehan-keanehan di hutan itu. Ada yang terdengar berbicara dan menggerakkan rimbun semak di kejauhan. Lalu senyap berganti suara silir angin. Muni tak tahu, apakah itu jin atau manusia. Bulu kuduknya juga sering meremang oleh semacam kekhawatiran. Tapi niat tulus demi mengabdi kepada Allah telah memadamkan rasa takut Muni di tengah hutan itu. Ia tetap tenang dan siap menyelamatkan surau itu jika terjadi ancaman.
Waktu sudah dini hari, seperti biasa, ia akan pindah ke dalam dan menunggu seorang lelaki berjubah datang untuk salat. Lelaki itu datang rutin setiap malam sejak pertama kali Muni ada di surau itu, sepertinya ia memang biasa salat di surau itu jauh sebelum Muni ada di surau itu, tapi Muni tidak tahu siapa lelaki itu.
Setiap kali disapa dan ditanya, ia hanya tersenyum seolah-olah bisu. Wajahnya cerah, bibirnya nyaris merah, matanya bagai bulan purnama bergantung di kaki langit. Tubuhnya menguar aroma wangi. Yang membuat Muni merasa aneh, lelaki itu tetap datang ke surau itu meski dini hari diguyur hujan lebat, ia tidak menggunakan payung dan seluruh tubuh dan pakaiannya tidak basah.
Muni tak mempermasalahkan lelaki itu meski tak pernah berbicara, toh kedatangannya selalu membawa kedamaian. Membuat anjing dan serigala berhenti melolong. Jika angin sedang kencang, ia pun akan berubah silir. Semua yang ada di hutan seolah menaruh rasa hormat kepada lelaki itu.
***
Bukan sekali-dua, Muni kedatangan orang-orang bersenjata tajam dengan mata jarang berkedip dan kumis lebat, yang setiap kali datang ke surau itu sudah tidak salat malah selalu berkata-kata kasar. Mereka meminta Muni untuk meninggalkan surau itu, alasannya karena surau itu berada di kawasan bahaya yang sering jadi incaran binatang buas. Muni menjawab pernyataan itu dengan santai, bahwa dirinya tidak takut kepada bahaya apa pun di tempat itu. Ia yakin bahwa Allah selalu bersamanya.
"Setiap kejadian itu Allah yang menentukan. Dia berkuasa atas segala kejadian. Saya yakin Allah akan melindungi saya," suara Muni santun di depan mereka. Mendengar jawaban itu, seketika wajah mereka memerah, upaya yang mereka lakukan untuk kesekian kalinya belum berhasil juga. Salah seorang dari mereka memukulkan parang ke lantai.
"Huh! Dasar orang tua kurang akal. Mulai hari ini, kami beri tenggat waktu sepuluh hari. Jika selama sepuluh hari ke depan bapak masih ada di surau ini, kami terpaksa akan memulangkan bapak secara kasar," suara itu sangat nyaring dengan irama yang menghentak. Teman-temannya yang lain mengangguk membenarkan ucapan orang itu.
"Saya akan tinggal di sini, Pak. Karena saya harus merawat surau ini."
"Biar kami yang akan merawat surau ini."
"Merawat surau ini harus selalu dilakukan setiap saat, karena surau ini terletak di tengah hutan. Apa bapak-bapak sanggup datang ke sini setiap waktu?"
"Kami siap. Pokoknya jangan banyak omong. Sepuluh hari ke depan, bapak harus pergi dari tempat ini. Jika tidak, parang ini yang akan berbicara," mereka mulai berani mengancam sembari mengangkat sebilah parang, tapi Muni tetap tenang dan tersenyum. mereka kemudian pulang sambil bisik-bisik satu sama lain. Muni tahu, gerombolan itu adalah pencuri kayu yang sering mengadakan penebangan liar. Mungkin mereka merasa terganggu dengan adanya Muni di surau itu.
***
Muni tak peduli ancaman para penebang liar. Ia tetap tinggal di surau itu dan beraktivitas sebagaimana hari-hari biasa. Semakin hari, orang-orang semakin banyak yang singgah, meski tak semuanya singgah untuk salat, sebagian hanya numpang tidur dan sebagian lainnya hanya karena butuh WC. Tapi meski demikian adanya, Muni tetap bahagia melihat surau itu jadi jantung hutan, tempat orang-orang menemukan kenyamanan dan kedamaian.
Beberapa orang yang datang, juga ada yang peduli pada surau itu. Mereka membawa cat dan mengecatnya dengan telaten, Muni membantunya, setidaknya dengan menyediakan mereka makanan dan rokok. Surau itu pun terlihat lebih gagah dari sebelumnya. Temboknya tampak kokoh cemerlang di balik punggung hutan yang dipenuhi kekar dahan, rimbun daun dan julang rumputan. Keadaan itu membuat para penebang liar semakin marah.
Sesudah hari kesepuluh sejak Muni diancam, suatu malam tiba-tiba ia dikejutkan oleh datangnya api yang berkobar-kobar melahap pohon dan daun kering. Bunyi gemeretak kayu kering berpadu dengan suara lalap lidah api yang liar seperti menjilat-jilat langit malam dengan penuh amarah. Angin kencang semakin membuat kobaran api membesar dan melebar. Asap tebal terlihat membubung, sesekali membawa percikan api.
Muni sedikit panik melihat api yang kian mendekati surau. Ia segera lari ke kamar mandi, mengambil cebok dan ember berisi air. Lalu siaga di depan surau, bersiap menyiramkan api yang kian gila dan panasnya mulai terasa hingga ke area surau.
"Api ini sudah dekat, tapi aku tetap harus menyelamatkan surau ini, meski sampai harus berkorban nyawa sekali pun. Ya, surau ini harus tetap selamat agar orang-orang tetap bisa mengingat Allah meski di dalam hutan," sejenak wajahnya menoleh ke surau yang semakin tampak karena pengaruh cahaya api yang semakin dekat.
"Aku pikir tak ada hutan yang terbakar, semua yang terjadi pasti karena dibakar," gumam Muni sambil menyiramkan air pada kobaran api.
Tapi kobaran api itu tetap besar dan mendekat, Muni pontang-panting ke keluar-masuk kamar mandi, rumput di depan surau sudah mulai dilahap api, asap mengganggu pernapasannya. Ia menyebut nama Allah berkali-kali seraya terus menyiramkan air sekuat tenaga. Tapi, api malah bagai disiram bensin, terus berkobar dan ujung lidahnya mulai menjilat jemari kaki Muni.
"Allaaah!" teriak Muni keras, bersamaan ketika dirinya mundur sambil menoleh demi menghalau lidah api agar tak menyentuh surau. Pada saat itu pula lelaki berjubah yang sering salat malam di surau itu tiba-tiba datang. Muni yang merasa sebagian tubuhnya sudah dijilat api seketika dibawa terbang oleh orang itu, hanya saja Muni kemudian tak sadar apa yang terjadi setelah itu. Ia baru sadar ketika tiba suatu pagi, dirinya seperti terbangun dari tidur.
Ia terkejut melihat keadaan surau yang tetap utuh dan tak sedikit pun disentuh api. Di luar, sisa asap masih mengepul dari sebagian arang, menghitam hingga ke teras surau, batas arang itu lurus seperti ada garis sakti yang sengaja menghalau kobaran api agar tak melalap surau. Lamat-lamat, ia mendengar suara orang bercakap di luar surau itu, derap langkahnya seperti kian mendekat.
"Hahaha usaha kita membakar hutan berhasil. Meski surau ini tak terbakar, yang penting lelaki itu sudah hangus dilalap api," suara itu disusul tepuk tangan dan sorak. Muni mengintipnya dari celah jendela, ternyata orang itu gerombolan yang pernah memintanya pergi. Muni mulai paham bagaimana cara orang hitam mempermainkan hutan.
Gapura Timur, 19.09.19
Warits Rovi lahir di Sumenep, Madura, 20 Juli 1988. Buku cerpennya yang telah terbit Dukun Carok & Tongkat Kayu (Basabasi, 2018)
Redaksi menerima kiriman naskah cerpen, tema bebas, disesuaikan dengan karakter detikcom sebagai media massa umum yang dibaca semua kalangan. Panjang naskah sebaiknya tidak lebih dari 9.000 karakter, karya orisinal dan belum pernah diterbitkan di media lain. Kirim ke email mumu@detik.com
(mmu/mmu)