Sebuah Panggilan Menjelang Ajal

Cerita Pendek

Sebuah Panggilan Menjelang Ajal

Deri Lesmana - detikHot
Sabtu, 28 Sep 2019 10:49 WIB
Ilustrasi: Denny Pratama Putra/detikcom
Jakarta - Sejak dulu, Haitam percaya bahwa ia akan mati muda. Namun kepercayaan itu, bagaimanapun, tidak menolongnya untuk bersikap wajar saat waktunya sudah dekat begini. Sementara jiwanya bersiap-siap untuk mengetuk pintu surga, pikiran dan jempol kirinya sibuk mencari nomor dari seseorang yang layak ia telepon menjelang ajal.

Jempol kirinya berulang kali membuat tampilan kontak di layar gawainya naik-turun secara cepat. Kalau kita berbaring di sampingnya untuk membantu, Pembaca, barangkali kita juga akan masuk dalam kebingungannya karena tidak ada nama yang benar-benar sempat terbaca. Apalagi pikirannya terus saja meracau. Bukan, bukan, enggak mungkin dia.

Beberapa kali jempolnya berhenti di nama Ibuku, tetapi tidak sekali pun mengetuknya. Ia tahu kontak itu masih aktif, tetapi pemilik sebenarnya sudah lama meninggal karena kanker payudara. Kalau ia mengetuknya, yang akan ia dengar dari seberang adalah suara kakak lelakinya yang menyebalkan. "Bukan ide yang bagus," bisiknya.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Detik yang lain ia menimbang nama Jeff Sumampouw, atasannya di kantor, seorang desainer senior. Ia dan lelaki itu memiliki hubungan yang baik, setidaknya begitu yang ia percaya. Namun, dengan semua orang yang mereka sama-sama kenal, Jeff memiliki hubungan yang baik. Jadi, tidak ada yang istimewa dan ia urung ketuk namanya.

Ketika pandangannya semakin buram, ia akhirnya menemukan apa yang dicari. Sebuah nama yang sekian lama ia pendam dengan berbotol vodka, berbatang rokok, dan berbadan perempuan mengambang lagi di pikirannya. Namun nama itu tidak ada di gawainya dan ia harus mengingat lagi nomornya, sesuatu yang dulu sangat piawai ia lakukan.

***

Sekarang pukul satu lebih lima belas menit, dini hari. Dari luar kamar apartemen Haitam yang kecil, bunyi kendaraan sesekali terdengar. Hawa dingin mungkin berhasil masuk lewat sela-sela jendela, tetapi lesap dalam sejuk yang berembus dari AC --tidak ada yang bisa dan perlu menyadarinya. Di ranjangnya, Haitam berbaring, berbantal paha putih Anamaya.

"Ia ada di sini, tapi kita enggak peduli," kata Haitam, seperti berbisik. "Angin malam masuk ke sini, tapi nasibnya seperti aku selama ini."

"Haitam, kamu benar-benar perlu dokter," ucap Anamaya.

"Ana, waktu kita cuma sedikit," jawabnya.

Haitam menatap lurus ke wajah perempuan yang, ternyata, masih sangat ia cintai. Di kepalanya, ia rasakan lembut jemari panjang Anamaya yang menyisir-nyisir rambutnya. Ia tahu, Anamaya sedang menangis, meski hanya samar-samar ia inderai air mata yang menetes ke keningnya dan sengal yang serak. Ia tidak pernah suka Anamaya menangis.

Tapi kini biarlah. Dia mewarnai akhir hayatku.

"Apa aku bisa mengganti 'selama ini' yang kamu maksud?" tanya Ana.

"Kamu lagi melakukannya," Haitam tersenyum. "Saat terakhir bertemu, posisi kita seperti ini," ia memejamkan mata.

"Cuma beda tempat. Enggak ada matahari terbenam di kamar ini."

"Harusnya kita enggak berpisah."

Anamaya menunduk perlahan, bibirnya sampai di kening Haitam, beberapa detik setelah dua tetes air matanya jatuh dan mengalir ke belakang kuping kanan Haitam.

"Kamu tahu, itu juga sulit buatku."

"Ibu menanyakanmu pada hari terakhir hidupnya."

"Kamu enggak menceritakan yang sebenarnya?"

"Mana mungkin?" Haitam membuka matanya. Kini wajah Anamaya tinggal garis-garis samar bagi matanya, hanya jelas dalam pikirannya yang lemah. Pada detik yang sama, jiwanya ditarik dari dua arah: maut di ubun-ubun dan sedikit upaya buat menyampaikan lebih banyak di hatinya. Ayolah, aku masih mau mencium wangi parfum ini.

"Setelah semua ini selesai, pulanglah. Biarkan mayatku membusuk di sini," kata Haitam.

"Kamu enggak bisa mati dengan cara seperti ini," Anamaya terisak.

"Kamu di sini. Ini cara terbaik yang bisa aku punya."

Sama-sama terdiam, Haitam tidak tahu apa yang berkelebat di pikiran Anamaya. Namun di pikirannya, puluhan kejadian silih berganti terulang dengan cepat. Satu adegan ke adegan yang lain, satu ciuman ke ciuman yang lain. Lebih lambat dari yang lain: pertemuan terakhir mereka di Tanah Lot. Saat itu, matahari tinggal setengah di ujung pandang.

"Jadi, kamu bakal kawin, beranak, dan berbahagia," ucap Haitam.

"Kawin dan beranak, hampir pasti," Anamaya menyisir-nyisir rambut Haitam dengan semua kelembutan yang tersisa dalam dirinya. "Berbahagia belum tentu."

"Berbahagialah. Jangan tambah kesedihanku," Haitam menarik tangan Anamaya, memeluknya di dada. "Berjanjilah, dan aku bakal pelan-pelan melupakanmu."

Senja berakhir tanpa anggukan siapa-siapa, tetapi sepertinya mereka sama-sama tahu bahwa tidak akan ada yang berbahagia setelah itu. Anamaya mengambil penerbangan pertama ke Jakarta esok harinya. Kemudian Haitam tenggelam dalam kesedihan di meja-meja bar, berbulan-bulan, sebelum kembali juga ke Jakarta. Jauh setelah hari pernikahan Anamaya.

"Kamu benar-benar masih di Bali hari itu?"

"Ya. Aku sudah bilang bakal begitu," Haitam tersenyum.

"Haitam," Anamaya mengangkat kepala Haitam secara perlahan, memindahkannya ke bantal. "Harusnya kamu enggak menyiksa diri sampai begini."

Anamaya berbaring miring di samping Haitam. Ia usap pipi Haitam dengan punggung jemarinya, tetapi lelaki itu sudah tidak bisa merasakan apa-apa. Haitam menatap lurus ke langit-langit kamar, menerima lebih banyak lagi kejadian yang terulang di pikirannya. Kamu selalu lebih cantik saat mengikat rambut.

"Ana," Haitam sudah tidak tahu di mana kata-katanya berbunyi: hanya dalam pikirannya atau benar-benar keluar dari mulutnya. Namun ia tangkap garis-garis wajah Anamaya yang indah di sudut kiri matanya, menghalangi putih-pucat dinding yang dingin. Perempuan yang dicintainya itu tersenyum dalam tangis yang hebat.

***

Sejak dulu, Haitam percaya bahwa ia akan mati muda. Namun kepercayaan itu, sayang sekali, tidak pernah memberinya bayangan tentang bagaimana semuanya akan terjadi. Sekarang ia tahu, pada malam ulang tahunnya yang ke-27 tubuhnya terhempas ke ranjang setelah menerima hadiah dari tangannya sendiri: 270 nanogram sabu-sabu.

"Selamat ulang tahun, Haitam!" ucapnya tadi.

Sementara jiwanya menapaki satu per satu anak tangga ke surga, mayatnya semakin dingin. Dari mulutnya yang tersenyum, ada sisa busa yang menggumpal; dari hidungnya, darah yang kental. Kalau kita berbaring di sampingnya, kita mungkin bisa melihat punggung jiwanya yang tembus pandang di atas sana-sejajar dengan bulan.

Tetapi, jangan memanggilnya atau bersuara dulu. Biarkan ia terus naik ke langit tanpa menoleh ke bawah, tanpa menyaksikan yang sebenarnya: tidak pernah ada Anamaya di sini, ia tidak pernah menerima telepon dari Haitam. Lihatlah gawai yang menempel di tangan kiri mayat itu, ia hanya menampilkan angka-angka yang acak.

Bahkan kalau Haitam berhasil mengingat nomornya, Anamaya tidak akan mengangkat telepon asing pada dini hari. Apalagi kalau ia sedang bercinta dengan suaminya, yang pelan-pelan berhasil membuatnya bahagia, dan melupakan Haitam. Barangkali, di Tanah Lot dulu, sebenarnya Anamaya mengangguk pelan.

Tokoh kita, Pembaca, sudah ditimpa banyak kemalangan. Jadi, biarkan ia pergi sambil tersenyum, menyadari selama ini yang ia maksud tidak pernah menjadi selamanya. Jangan memanggilnya atau bersuara dulu, sebelum ia hilang dari pandangan dan tidak bisa menoleh lagi. Kesedihannya, kalau kita gagal menahan diri, terlalu sulit untuk diceritakan.

Oh, tidak, gawai itu berbunyi. Nyaring sekali.

Deri Lesmana lahir di Tangerang, 7 Juli 1992. Menulis puisi, cerpen, dan esai. Bergiat di Kubah Budaya, Serang-Banten dan bekerja sebagai penulis wara di Jakarta

Redaksi menerima kiriman naskah cerpen, tema bebas, disesuaikan dengan karakter detikcom sebagai media massa umum yang dibaca semua kalangan. Panjang naskah sebaiknya tidak lebih dari 9.000 karakter, karya orisinal dan belum pernah diterbitkan di media lain. Kirim ke email mumu@detik.com




(mmu/mmu)

Hide Ads