Jean Evans

Cerita Pendek

Jean Evans

Muhamad Aditya - detikHot
Sabtu, 31 Agu 2019 13:30 WIB
Ilustrasi: Ahmad Fauzan Kamil/detikcom
Jakarta - Suara terompet menggema dari ruang tengah Jean Evans. Samar-samar, suara itu bercampur dengan suara pisau yang beradu dengan papan kayu. Come Rain or Come Shine yang dibawakan oleh Ray Charles, lagu kesukaan Jean Evans. Sebelum ia mulai memasak, Jean Evans singgah sejenak di pasar swalayan setelah ia selesai bekerja. Dibelinya satu potong roti kismis dan roti isi selai nanas. Tak lupa ia membeli tepung terigu, dada ayam, bawang bombay, juga kecap asin. Tak biasanya Jean Evans membeli bahan makanan sebanyak ini. Jika bukan karena Amelie, siapa lagi?

Meskipun tenaganya sudah tak seperti saat ia muda, Jean Evans selalu mempunyai energi lebih untuk memasak. Baginya, memasak merupakan cara untuk beristirahat. Terutama dari bisingnya kota metropolitan. Apalagi di usianya saat ini, tak banyak yang bisa ia lakukan untuk bersenang-senang.

Hari-hari Jean Evans dipenuhi dengan rutinitas yang kurang bervariasi. Ia bangun pagi sekali. Dilanjutkan dengan berolahraga sederhana. Setelah itu ia membuat sarapan sebelum berangkat bekerja. Ia pun tidak pernah menghabiskan banyak waktu di tempat ia bekerja. Hanya bercakap sedikit-sedikit dengan rekan kerjanya. Jean Evans tak pernah menyukai mobil, karena itu ia selalu pulang dan pergi menggunakan transportasi umum. Lebih murah dan praktis. Jika ia sedang tidak bekerja, Jean Evans menghabiskan waktunya untuk membaca buku dan menulis, terutama sebelum ia berangkat tidur.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Pada akhir pekan, Jean Evans lebih senang berada di pasar. Membeli beragam bahan untuk dimasak. Pangsit ayam adalah kebanggaan Jean Evans. Selain rasanya yang membuat air liur menetes, itu adalah makanan kesukaan Amelie. Ia tidak pernah membuat pangsit ayam kecuali Amelie pasti akan memakannya.

Ah, Amelie. Seperti apa dia sekarang? Kepala Jean Evans memutar kaset lama yang selalu ia simpan. Wajah Amelie muncul tiba-tiba. Pukulan snare menandakan akhir dari Come Rain or Come Shine. Tidak ada suara kecuali bunyi wajan yang mendesis. Jean Evans kembali dari perantauannya.

Saat ini pukul tujuh. Jean Evans secara berkala melihat telepon genggamnya. Tidak ada pesan masuk. Tidak juga panggilan masuk. Seharusnya Amelie sudah tiba, begitu pikir Jean Evans. Apa ia terjebak macet? Atau ia tersesat? Atau mungkin ia kecelakaan? Bukankah ini pertama kalinya ia mengunjungi kediaman baru Jean Evans? Ah, pikirannya terlalu banyak mengada-ada. Jika pun sesuatu terjadi pada Amelie, dia akan segera menghubunginya. Jean Evans kemudian menepis pikiran itu jauh-jauh sambil memeras jeruk lemon dengan sekuat tenaga ke atas mangkuk kecil.

***

Dari luar kediaman Jean Evans, seorang wanita sedang berdiri di tepi jalan. Jaket dan sepatu but yang ia kenakan terlihat masih baru. Belum ada warna yang pudar karena terlalu sering dicuci. Kantung kertas di tangannya bertuliskan "Cha, Bread and Tea". Wanita itu menatap ke bawah dengan mata yang seperti ingin menembus aspal. Digigit bibirnya berulang kali. Ia pun mengentakkan sepatu datarnya berulang-ulang. Ah, sudah lama sekali, pikirnya. Ia tidak yakin siap menemuinya. Mungkin lebih baik aku pulang saja, begitu pikirnya. Bagaimana jika ia belum pulang? Ia berjanji akan membuatkannya makan malam karena itu seharusnya sebelum pukul tujuh ia sudah pulang.

Wanita itu menghela napas panjang. Dengan langkah yang berat ia menuju lift. Kamar nomor 501 yang ia tuju. Wanita itu menaruh kantung kertasnya di lantai. Kedua tangannya yang berbalut sarung tangan wol ia usap satu dengan yang lainnya. Poni yang acak-acakan dirapikannya kembali agar nampak rapi. Wajahnya memerah. Wanita itu yakin tidak ada siapa-siapa di balik pintu kamar 501. Ia memastikannya setelah sepuluh kali ketukan. Tidak ada yang membukakan pintu dan menyambutnya dengan hangat.

Pintu terbuka setelah ketukannya yang terakhir. Seorang pria mengenakan baju hangat berwarna biru tua keluar dari sana dengan membawa sekotak makanan. Kamar nomor 508. Wanita itu tidak bisa melihat jelas apa yang ia bawa. Hanya saja pria itu berjalan melewatinya lalu menuruni anak tangga. Saat wanita itu berbalik, ia baru menyadari bahwa hujan turun cukup deras. Entah mengapa wanita itu membayangkan secangkir teh hangat. Maka dari itu ia masuk ke dalam lift dan memutuskan untuk duduk sejenak di kafetaria.

Aroma teh kamomil memenuhi hidungnya. Hal itu membuat tubuhnya terasa lebih hangat. Bunyi cangkir terdengar beradu dengan tatakannya. Setengah cangkir teh sudah membasahi tenggorokan wanita itu. Tidak jauh dari tempat ia duduk, seorang pria duduk sambil menyantap sesuatu. Jika ia perhatikan, pria itu mengenakan baju hangat yang sama dengan pria yang tadi ia lihat keluar dari kamar 508. Rambutnya sudah hampir seluruhnya memutih namun raut wajahnya masih menunjukkan aura yang tajam. Kacamata bulat yang ia kenakan pun membuatnya tampak sedikit lebih muda.

Wanita itu menaruh kantung kertas yang ia bawa di atas meja. Sepotong roti isi selai nanas dan roti kismis tampak di atas meja. Ia dengar bahwa toko roti di tempat tinggalnya yang baru digemari banyak orang. Dan kebetulan mereka menjual roti kesukaannya dan sang ayah. Ia menyukai roti isi selai nanas. Sedangkan roti kismis adalah kesukaan sang ayah. Saat masih tinggal dengan kedua orangtuanya, roti adalah sarapan wajib yang harus selalu ada di atas meja makan. Bukan roti sembarangan. Roti yang lahir dari tangan sang ibu. Di saat senggang, sang ibu mengajarkan ia cara untuk membuatnya. "Semenjak memakan roti buatan ibu, ayahmu tidak pernah makan roti lain lagi," begitu katanya.

***

Jean Evans memesan segelas susu hangat dari kafetaria. Sekarang sudah pukul delapan. Rupanya Amelie tidak datang. Sebenarnya Jean Evans lebih menyukai kopi. Namun semenjak ia khawatir dengan kesehatannya, tidak banyak kafein yang bisa ia konsumsi meski lidahnya menuntut. Tidur terlalu larut bisa membuatnya gelisah. Segelas susu lebih baik bagi kesehatannya. Kotak makan berisi pangsit ayam buatannya tertutup rapat di hadapannya. Ia masih belum ingin makan meski tutupnya sudah nampak kebasahan karena uap.

Dari kejauhan, Jean Evans melihat pintu kafetaria terbuka. Seorang wanita yang mengenakan jaket berwarna hitam masuk dengan wajah tertekuk. Mata Jean Evans tertuju pada kantung kertas yang ia jinjing. Dilihat dari wajahnya, wanita itu nampak berusia di bawah tiga puluh tahun. Sama seperti Amelie.

Secangkir teh kamomil. Ia menaruh kedua telapak tangannya di sisi cangkir. Jean Evans teringat bahwa Amelie sering melakukan hal yang sama sebelum ia meminum teh. Dulu sekali, ia sering membawa Amelie untuk menikmati sepotong roti isi selai nanas dan juga secangkir teh setiap sore di akhir pekan. Roti isi selai nanas untuk Jean Evans dan roti kismis untuknya.

Namun setelah Amelie pindah ke luar kota untuk menempuh pendidikan yang lebih tinggi, mereka hampir tidak pernah lagi mengunjungi "Cha, Bread and Tea". Setiap satu bulan sekali Amelie pulang untuk mengunjungi Jean Evans. Itu pun jika ia tidak terlalu sibuk dengan urusan lain seperti tugas-tugas ataupun pekerjaan paruh waktu. Kunjungannya pun tidak pernah lama. Mereka hanya menghabiskan waktu sejenak untuk bercakap-cakap. Setelah itu, Amelie kembali ke dunianya sendiri.

Tak lama setelah Amelie lulus, Jean Evans menjual rumahnya dan pindah ke apartemen sederhana di kota lain dengan alasan mencari suasana baru. Ia juga meninggalkan pekerjaan lamanya dan mencari pekerjaan baru. Karena jaraknya lebih jauh dan membutuhkan lebih banyak uang, kunjungan Amelie menjadi semakin jarang. Jean Evans pun tak ingat kapan terakhir kali ia datang. Tapi rasanya baru saja kemarin.

Telepon genggam Jean Evans berdering.

"Halo," suara yang akrab bagi Jean Evans. "Maaf, telepon genggamku tertinggal di rumah."

"Ah, tidak apa-apa. Kau di rumah sekarang?" Meski sudah dikatakan, Jean Evans tetap menanyakannya untuk memastikan. Suara Jean Evans terdengar lebih bergairah.

"Iya, Ayah. Ada apa?"

Jean Evans berhenti sejenak. "Kau sudah makan?"

"Hmm, sudah. Aku menghangatkan makanan kemarin di microwave."

"Kau harus mulai hidup lebih sehat dan teratur. Cobalah untuk memasak sekali-sekali. Makan sedikit sayuran. Dulu, ayah..."

"Iya, Ayah, aku tahu."

Jean Evans hanya diam. Matanya tertuju pada langit-langit. Aroma tanah basah menusuk hidungnya.

"Ayah, hari ini cukup melelahkan. Rasanya aku butuh tidur lebih cepat. Telepon lagi besok?"

Jean Evans menaikkan sedikit bibirnya. Ia mengetukkan jarinya ke meja.

"Oh ya, tentu saja. Kau pasti kelelahan, Amelie. Sebaiknya kau cepat tidur."

Setelah mengucapkan terima kasih pada sang ayah, ia menutup teleponnya. Jean Evans tidak sempat mengucapkan terima kasih kembali atau ucapan selamat tidur. Mungkin Amelie lupa. Hari ini, setelah selesai bekerja ia seharusnya tidak pulang ke kediamannya melainkan ke apartemen Jean Evans untuk makan pangsit bersama.

Jean Evans memasukkan telepon genggamnya ke dalam saku celana lalu memakan beberapa buah pangsit. Pangsit buatanku memang enak. Begitu katanya dalam hati.

***

Hujan sudah berhenti. Perut Jean Evans pun sudah cukup terisi. Ia bangkit dari kursinya, berniat untuk meluruskan tulang-tulang punggungnya lalu pergi tidur. Masih ada beberapa buah pangsit yang tersisa di kotak makan. Ia merapikan tempat makannya lalu menuju kasir dan memberikan sejumlah uang kepada penjaga kasir untuk dua gelas susu hangat. Di belakangnya, wanita yang ia pikir seusia Amelie sedang mengantre untuk membayar. Jean Evans melempar senyum, mempersilakan wanita itu untuk membayar. Wanita itu tersenyum balik meski bibirnya tidak terangkat penuh.

"Permisi," seru Jean Evans pada wanita tadi.

Wanita itu menoleh.

"Kau kelihatan lapar. Mau makan pangsit?"

Mata wanita itu sedikit melebar.

"Tenang saja. Aku membuatnya sendiri. Cukup banyak. Sayang jika tidak habis."

"Masakannya memang yang terbaik," si penjaga kasir menyahut. Ia sudah beberapa kali mencicipi masakan Jean Evans karena ia sering membawanya ke kafetaria. Jika tidak habis, ia memberikannya kepada si penjaga kasir."

Wanita itu menerima tempat makan Jean Evans sambil berterima kasih meski terlihat sedikit kebingungan.

"Siapa namamu?" tanya Jean Evans.

"Oh, Laura," jawabnya.

"Kau terlihat mirip dengan anak perempuanku," Jean Evans melambaikan tangannya pada Laura. "Selamat menikmati."

Laura melihat Jean Evans keluar dari pintu kafetaria. Ia membuka tempat makan yang diberikan Jean Evans. Meski sudah tidak lagi hangat, aromanya masih tetap tajam. Hidung Laura mendeteksi bau yang membuatnya lapar. Perutnya pun langsung bersuara. Ia baru sadar bahwa ia belum makan. Seharusnya ayahnya membeli bahan makanan untuk ia masak. Mereka akan makan malam bersama.

Laura tidak bisa sepenuhnya menyalahkan sang ayah. Ia terlalu fokus untuk menjalankan usahanya sehingga terkadang lupa untuk mengunjungi sang ayah. Lagi pula di luar tadi hujan. Ia lupa membawa payung dan terjebak di kantor. Atau mungkin juga sang ayah harus bekerja lembur. Ia minta izin kepada penjaga kasir untuk duduk kembali.

Dengan sedikit terburu-buru Laura mengambil satu pangsit dengan tangannya. Kulit pangsit yang lembut terbelah dua oleh gigi Laura. Aroma ayam dan bawang bercampur memenuhi mulutnya. Tanpa sadar setengah kotak pangsit sudah ia lahap habis. Laura menatap langit-langit. Kepalanya memutar kaset yang selalu ia simpan. Rasa yang familiar.

***

Keesokan harinya Jean Evans bersiap untuk beraktivitas seperti biasa. Sebelum berjalan menuju stasiun kereta api, ia mampir sebentar ke kafetaria, membeli secangkir kopi untuk dibawa pergi. Penjaga kasir memberikan Jean Evans kopi hitam sesuai pesanannya. Ditambah satu kantung kertas.

"Ah," seru Jean Evans. Si penjaga kasir tersenyum. Di dalamnya terdapat secarik kertas. Jean Evans membacanya "Kemarin hari ulang tahunku. Pangsit buatan Anda benar-benar enak. Itu adalah kado terbaik yang kuterima tahun ini. Terima kasih banyak."

Kereta belum berjalan dengan cepat. Perlahan. Sebelum akhirnya pemandangan di luar terlihat seperti lukisan cat air yang kebasahan. Sambil menyeruput kopinya, Jean Evans menyantap sepotong roti kismis. Meski roti kemarin, rasanya masih tetap enak. Rasa yang familiar.

Redaksi menerima kiriman naskah cerpen, tema bebas, disesuaikan dengan karakter detikcom sebagai media massa umum yang dibaca semua kalangan. Panjang naskah sebaiknya tidak lebih dari 9.000 karakter, karya orisinal dan belum pernah diterbitkan di media lain. Kirim ke email mumu@detik.com



(mmu/mmu)

Hide Ads