Satu Hari yang Membosankan

Cerita Pendek

Satu Hari yang Membosankan

Sasti Gotama - detikHot
Minggu, 28 Jul 2019 10:40 WIB
Ilustrasi : M Fakhry Arrizal/detikcom
Jakarta - Pukul tiga empat puluh lima. Sore ini, Ela baru saja membunuh seseorang. Keringat mengalir deras di pelipisnya. Ia coba mengingat-ingat semua kronologinya dengan merunut ke belakang. Semua bermula dari pagi yang membosankan.

***

Pukul delapan pagi. Tak ada yang berubah dari kekacauan tadi malam. Hasil karya dua bocah yang menolak tidur sesuai jadwal. Tadi pagi mereka bangun terlambat dan tanpa sarapan berangkat sekolah. Sedangkan suaminya sudah berangkat pukul enam.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Kekacauan di lantai begitu masif. Sebuah bangunan rumah dari balok-balok lego tergeletak di lantai, memisahkan cerobong asap di sebelah timur dan reruntuhan tembok utama di sebelah barat. Sedangkan di sekitarnya terserak mobil-mobil mungil aneka model dan warna.

Ela menarik napas panjang, matanya terpejam. Ia berharap, saat matanya terbuka, semua kekacauan di hadapannya terselesaikan. Semudah peri baik hati menggoyangkan tongkat sihirnya. Namun sayang, permohonannya tak terkabulkan. Sama tak terkabulkannya dengan semua keinginan-keinginannya sebelum ini.

Sewaktu kecil, ia bercita-cita menjadi pengacara. Namun, tentu saja, seperti cerita-cerita menyedihkan lainnya yang menyajikan kemiskinan sebagai menu utama: ayahnya tak punya biaya. Pintu telah tertutup, dan ia hanya bisa menerima menu hidup yang tersaji di hadapannya.

Ela berjongkok memunguti semua balok-balok lego dan memasukkan ke dalam keranjang plastik. Biru, ungu, merah muda, kuning, jingga. Warna-warni. Namun, tidak dengan dunia Ela. Monokrom. Kadang ia berharap menemukan sebuah pintu darurat menyelamatkannya dari dunia biner yang terasa seperti pasir isap.

Selesai sudah. Dalam tiga puluh menit, semua tertata. Tak tampak tanda-tanda kekacauan. Namun, ia melihat sesuatu tersembul dari balik gorden. Ia melihat ujungnya, dua lampu mungil berbentuk bundar. Sebuah mobil VW mini berwarna merah. Tepat ketika ia hendak meraihnya, bel depan berbunyi.

"Sebentar," teriaknya.

Lututnya terasa kaku setelah menumpu cukup lama. Tiga detik kemudian, bel itu berbunyi lagi. Sebetulnya ia ingin mengomel, tapi segera saja ia ingat pesan ibunya. Seorang wanita yang baik tak akan pernah meninggikan suara. Dan ia memegang teguh pesan ini seperti jemaat paling taat.

Seorang perempuan muda yang terlihat terlalu bersemangat berdiri tegak di depan pintu dengan senyum selebar jendela. Bibirnya merah menyala.

"Kami ada program promo make over gratis, Kakak. Mau coba, Kak?"

Sebetulnya ia malas. Namun, ia sedang bosan dan rindu bersikap spontan. Jadi, kenapa tidak? Ia mengangguk dan mengesampingkan segala risiko, misalnya penculikan ataupun perampokan seperti yang biasa ia baca di artikel-artikel picisan.

Ia tak ingat kapan kakinya melangkah meninggalkan rumah. Tiba-tiba saja ia telah duduk di depan cermin besar memandang wajahnya sendiri yang sedang dipoles aneka warna. Ia memindai sekeliling. Sepertinya ia berada di salah satu toko kosmetik yang berada di mall paling besar di kotanya.

"Ini warna-warna tren terbaru, Kakak. Warna tanah dan tembaga. Menonjolkan kecantikan alami wanita Indonesia."

Ela tak peduli. Ia memejamkan mata dan membiarkan perias itu menyelesaikan tugasnya.

"Sudah, Kakak. Silakan buka matanya."

Ela tersentak. Ah, rupanya ia tertidur. Sudah berapa lama? Namun, ia tak lagi memikirkan waktu ketika melihat ke cermin.

Cantik! Siapa dia? pikir Ela. Bahkan ia tak bisa mengenali wajahnya sendiri di pantulan cermin. Lebih mirip Ela versi muda yang ceria dan bersemangat. Mungkin Ela sepuluh tahun yang lalu saat ia masih memiliki impian.

Ia keluar dari toko dengan menegakkan dagu setelah sepuluh menit sebelumnya mendengarkan dengan bosan setiap penjelasan tentang merek kosmetik terbaru.

Sayang sekali jika riasan cantik ini tidak ditunjang dengan pakaian yang indah, pikir Ela. Maka, ia memutuskan memberi hadiah untuk dirinya sendiri. Pilihannya jatuh pada sebuah gaun merah di etalase butik yang terletak di lantai dasar mall. Bahan kainnya jatuh dengan indah di tubuh manekin yang sepertinya menderita anoreksia parah. Harganya setara uang belanja satu bulan. Sekali-sekali ini, pikirnya. Ia tak pernah memiliki gaun dengan model seterbuka itu --berpotongan leher rendah, tanpa lengan-- karena takut lemak-lemaknya akan berebut menonjol keluar. Hanya hari ini, janjinya dalam hati.

Baju itu seperti dijahit khusus untuknya, melekat dengan sempurna. Ia memandang sosoknya di cermin besar ruang ganti. Sosok seorang pengacara profesional yang penuh percaya diri. Seharusnya aku sering-sering melakukan hal ini, pikirnya sambil berdecak kagum. Lalu ia kembali berpikir untuk memberi hadiah sedikit waktu luang untuk dirinya sendiri. Ia masih punya waktu. Paling tidak untuk sekadar berjalan-jalan di pusat perbelanjaan.hingga jam pulang kedua putranya.

Belum lama setelah ia melangkah keluar dari butik ketika ia mendengar seseorang menyapanya.

"Hai, boleh kutraktir segelas minuman untukmu?" Seorang pemuda bertubuh atletis mengangkat sebuah gelas mungil bertangkai dengan sebutir ceri di dalamnya. Ia tersenyum menggoda.

Kenapa tidak, pikir Ela. Hari ini hari istimewa untuknya. Jadi tak ada salahnya ia mencoba hal-hal baru. Bercengkerama dengan seorang pemuda yang menarik, misalnya.

"Kau seksi," kata pemuda itu setelah Ela menghabiskan segelas margarita yang dipesankan untuknya. Menurutnya, terasa seperti nasi basi bercampur jeruk nipis. Ini kali pertama Ela menenggak alkohol dan dipanggil seksi. Menurut suaminya ia hanya diklasifikasikan sebagai manis, bukan cantik, apalagi seksi.

"Kau juga." Ela mengedip sambil terkikik. Ia belum pernah merasa sebahagia ini. Mungkin ia memang sedang benar-benar bahagia. Mungkin juga karena pengaruh alkohol yang mulai merendam kepalanya.

"Jika kau ada waktu, kau bisa mampir sebentar ke apartemenku. Senja tampak indah dilihat dari ketinggian lantai sebelas."

Kenapa tidak, pikir Ela. Hanya hari ini ia adalah Cinderella. Esok sihirnya akan musnah dan ia kembali menjadi upik abu.

Tentu saja mereka tak melihat senja. Mereka lebih sibuk berbagi kehangatan, peluh, dan keluh di temaram kamar. Ciumannya kasar, pikir Ela. Begitu juga gaya bercintanya. Ela lalu menegur pikirannya sendiri. Tak patut membandingkan pemuda itu dengan suaminya. Jika pemuda itu topan badai, maka bisa dibilang suaminya adalah angin sepoi-sepoi yang berembus di kala sore.

Ela mendengar suara alarm. Sepertinya dari ponselnya. Refleks ia melihat ke jam dinding. Sial, sudah pukul tiga. Ela bangkit dari ranjang. Sebentar lagi kedua anaknya pulang. Sambil terhuyung, Ela meraih pakaiannya yang berserakan dan segera mengenakannya dengan tergesa. Pemuda itu sudah tertidur. Jadi, Ela berjingkat keluar, takut membangunkannya.

Ela terengah-engah berlari pulang. Bagian atap rumahnya sudah mulai terlihat. Sepuluh meter dari rumahnya, seseorang mencegatnya.

"Bu Darmawan belum bayar iuran sampah bulan ini ya?"

"Iya. Besok ya, Bu RT. Saya harus segera pulang." Kepalanya berdenyut. Nyeri. Mungkin karena segelas margarita tadi.

"Harus sekarang, Bu! Sore ini waktunya pembayaran ke Dinas Kebersihan! Jangan seenaknya!"

"Saya bilang, nanti saya bayar! Sekarang, saya harus segera ke rumah, mengambil motor, dan menjemput anak-anak!" Ela melirik jam tangannya. Pukul tiga empat puluh lima. Pukul empat anaknya sudah keluar gerbang sekolah.

"Bayar sekarang!"

"Biarkan saya lewat!"

Ela mendorong kuat-kuat. Tubuh tambun di hadapannya jatuh ke belakang dengan suara berdebum. Bagian belakang kepalanya menghantam aspal. Segera saja darah menggenang. Ela merasa seluruh tubuhnya kaku dan dingin.

Ia jongkok dan meraba nadi wanita tua itu. Tak ada denyutan. Dengan gugup Ela mengedarkan pandangan ke sekitar. Tak ada orang. Diseretnya tubuh itu ke dalam rumah. Ia bingung bagaimana melenyapkan mayat sebesar ini.

Belum lagi ia menemukan jalan keluar, bel berbunyi.

Siapa? Aku harus menutupi mayat ini. Ela menyelubunginya dengan tumpukan pakaian kotor yang belum sempat ia cuci.

Bel berbunyi lagi.

Sial, aku harus lari!

Bel berbunyi.

Ela membuka pintu.

"Bu Darmawan belum membayar iuran sampah bulan ini ya? Sore ini harus saya bayarkan ke tukang sampah." Wajah bulat Bu RT dihiasi bibir yang melengkung ke bawah.

"Ah, iya. Maaf, tunggu sebentar. Saya ambil uangnya dulu." Ela tersenyum.

Ia berbalik, lalu memekik. Kaki kanannya memijak lego ungu yang tepinya sudah pecah separuh. Ujungnya yang tajam menusuk telapak kakinya. Lego-lego yang lain juga masih berserakan di sekitarnya.

Ia bersumpah untuk segera membereskan semua kekacauan itu dengan sekop dan pengki lalu membakar semua bersama daun-daun kering di halaman. Mungkin juga sekalian membakar sisi gelap yang mampir di pikirannya tanpa pernah sekali pun berani ia wujudkan.

Ela mendesah, lalu memandang jarum jam dinding yang berdetak perlahan. Masih pukul sembilan. Belum-belum, ia merasa bosan.

Sasti Gotama seorang dokter umum yang suka menulis. Cerpennya terhimpun dalam sejumlah buku antologi bersama antara lain Jejak Perempuan dan Rahasia Cinta Bunda

Redaksi menerima kiriman naskah cerpen, tema bebas, disesuaikan dengan karakter detikcom sebagai media massa umum yang dibaca semua kalangan. Panjang naskah sebaiknya tidak lebih dari 9.000 karakter, karya orisinal dan belum pernah diterbitkan di media lain. Kirim ke email mumu@detik.com




(mmu/mmu)

Hide Ads