Semesta yang Utuh

Cerita Pendek

Semesta yang Utuh

Rizky Alvian - detikHot
Sabtu, 29 Jun 2019 11:10 WIB
Ilustrasi: Edi Wahyono/detikcom
Jakarta - Perhatian Esta tercuri pada Bintang Vega di Konstelasi Lyra yang paling benderang saat di sekelilingnya kokok jago mulai bersahutan.

Di tangannya tergenggam sobekan majalah. Potret wanita berambut pirang di ruang kerja. Tampak menutup mulutnya dengan wajah berseri. Mungkin, luapan kebahagiaan yang membuncah. Laptopnya terbuka, terlihat rentetan kode bahasa pemrograman komputer tingkat tinggi. Terpampang juga sebuah gambar yang paling dinanti umat manusia, lebih dari seabad lalu. Di atas potret wanita itu tertulis, Katie Bouman: Sosok Wanita di Balik Foto Black Hole Pertama di Dunia.

"Siapkan apinya, Geulis! Ini bukan singkong ajaib yang bisa matang kalau cuma dilamunin."

Esta tersentak. "Baik, Ambu." Lalu, ia segera duduk di samping tungku diterangi lampu kuning temaram.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Langkah awal Esta menghidupkan tungku tak mulus. Walaupun setengah umurnya sudah dihadapkan dengan tungku bersejarah ini. Susunan kayu sudah dilonggarkan, matanya terasa perih beberapa kali karena asap dari sabut kelapa. Ketika api mulai membesar, dengan mengumpulkan tenaga ia berhasil juga mengangkat dandang dengan ukuran yang besar dan cukup berat.

Sambil melihat Esta mengatur nyala api, wanita yang berusia setengah abad itu membuka beberapa baskom yang ia taruh di rak. Baskom itu terbungkus beberapa lapisan dari mulai plastik hingga diakhiri kain.

"Geulis, kalau sudah selesai nanti antar pesanan peuyeum ini."

"Tapi, Ambu, kemarin ban sepedaku bocor," keluh Esta sambil tangannya menghalau asap yang menerpa wajah.

"Kamu anter satu-satu. Duitnya buat benerin sepedamu," jawab wanita setengah abad itu sambil mulutnya mengunyah kapur sirih.

Setelah membersihkan bekas arang di tangannya, Esta mengantarkan satu per satu pesanan yang disuruh wanita setengah abad itu. Rambut hitam lurus yang diikat ke belakang ikut bergoyang seiring dengan ayunan langkahnya.

Setelah merampungkan tugas, Esta mengambil sepeda dengan keranjang yang agak miring ke kanan, juga tutup stang sebelah kiri raib entah ke mana. Dituntunnya sepeda warisan itu ke bengkel tepi jalan raya.

"Abah, minta ditambal ya," tunjuk Esta pada ban sepeda tua yang mulai menggundul.

Ia duduk di bangku panjang. Pandangannya mengedar, tak sengaja melihat kertas lusuh bergambar yang tertempel di dinding. Sebuah poster ilustrasi benda-benda langit.

"Kalau mau ambil saja!" Esta terkejut mendengar perkataan pemilik bengkel yang sedari tadi melihat Esta hanya memandangi dan mengusap-usap poster itu.

"Abah Haji, boleh bayar setengah? Sama aku kasih peuyeum yang masih anget, ya." Senyum Esta dan sorot matanya yang teduh membuat pemilik bengkel luluh dengan ucapannya.

Setelah menelusuri jalan setapak berbatu dengan sepeda kesayangan yang termakan usia, Esta sampai di rumah. Cepat-cepat ia mengeluarkan poster benda langit yang cukup besar--setengah tinggi badan Esta panjang poster itu. Dua ujungnya ia tempel dengan sisa lakban, dan ujung lainnya direkatkan dengan nasi.

Terpampang nama-nama rasi bintang; Orion menunjuk ke barat, Biduk ke utara, Layang-Layang arah selatan, dan Kalajengking mengarah ke tenggara.

Ada gambar beserta nama komet, galaksi, planet, dan sumbu rotasinya. Kesemuanya memiliki kesamaan, yaitu gambarnya yang memudar atau tertempel bekas oli.

***

Ketukan di pintu yang lumayan keras membuat telunjuk Esta yang sedang membereskan kayu bakar terseset bambu yang di belah dua. Ia sigap mengambil dan melilitkan kain perca, mengisap darah yang menetes, kemudian meludahkannya.

"Nenekmu ada?"

Begitu yang pertama kali diucapkan oleh seorang pemuda dengan jambang tipis yang berkemeja batik dengan kombinasi motif tenun di ujung lengan dan kerahnya itu.

"Ambu kalau pagi biasanya ngambil singkong di ladang, Kang."

Pemuda itu saling tatap dengan temannya. Esta menyuruhnya masuk. Mereka duduk di tikar pandan.

"Betul kamu Esta?"

Esta mengangguk takzim.

"Akang ke sini ingin membawa kabar gembira."

Pemuda itu menyerahkan sebuah kotak bersampul emas. Lalu mempersilahkan Esta membukanya. Esta sedikit terperangah. Ada buku tulis dan buku bacaan. Tiga di antaranya tentang antariksa.

"Terima kasih, Akang."

Melihat kebahagiaan Esta saat membaca buku yang dibawanya. Pemuda itu semakin menarik kedua ujung bibirnya lebih lama. Lesung pipit dan rahangnya yang tegas.

"Sepertinya kami harus pamit. Nanti sore nenekmu ada di rumah kan, Esta?"

"Iya, Kang. Biasanya jam lima ambu sudah ada di rumah."

Esta mencium punggung tangan tamunya. Lalu, melepaskan tiga orang itu dengan senyum lebar hingga gingsulnya tampak.

Selang beberapa menit tamunya pergi, wanita setengah abad itu masuk dengan dua karung singkong yang sudah dibersihkan.

"Geulis, bawakan ini ke dapur."

Esta segera keluar dari kamarnya. Tampak ia menggenggam beberapa buku.

"Ambu, tadi ada akang-akang pakai batik. Katanya mau ketemu sama ambu, ada kabar penting katanya. Nanti sore ia mau ke sini. Oh iya, aku juga di kasih buku bacaan yang bagus."

Buku itu dihempaskan wanita setengah abad. "Kamu taruh singkong-singkong ini ke dandang."

"Ambu...."

Esta berkata lirih. Melihat wanita setengah abad itu melenggang pergi dengan ketus. Ia membereskan buku bacaannya. Lalu, membawa singkong-singkong itu ke dapur.

***

"Ambu, ada yang pingin ketemu."

Esta menyibak tirai kamar wanita setengah abad. Ia nampak sedang mengunyah kapur sirih, sambil melipat pakaian.

"Permisi, Nek. Saya Narwan, dari...."

"Ya, ya...." Wanita setengah abad itu mengangguk. "Langsung saja apa tujuan kalian?"

"Saya ingin membawa nenek ke tempat yang lebih baik. Dan Esta dapat meneruskan sekolahnya."

Wanita setengah abad itu melambaikan tangan tegas. "Kamu anak Bupati Ajun yang ditangkap kasus-kasus itu?"

Pemuda itu mengangguk takzim.

"Keluar, sekarang!"

Gertakan wanita setengah abad itu membuat terkejut tamunya yang datang dengan niat baik. Esta pun heran melihat orang yang selama ini merawatnya bisa meledakkan emosi di depan orang yang baru dikenal.

"Ambu, kenapa mengusir akang-akang itu?"

"Ambu tahu niat mereka baik. Hanya saja berhati-hati dengan orang yang pernah menyakiti, tidak ada salahnya."

"Menyakiti bagaimana? Ambu juga baru ketemu."

"Sudah, kamu mandi dulu, Geulis. Suatu saat akan ambu jelaskan."

***

Pagi buta suara ketukan di pintu dari papan.

"Ambu, ada tamu."

Esta segera menemui wanita setengah abad yang sedang mengemasi peuyeum di untuk segera diantar. Wanita setengah abad membuang muka setelah tahu siapa yang datang pagi-pagi ke rumahnya.

"Aduh, Kasep. Kami masih bisa cari makan sendiri. Masih banyak yang lebih susah."

"Nenek tenang saja. Bantuan ini halal. Dari tabungan saya sendiri." Pemuda itu tersenyum sopan.

Wanita setengah abad tiba-tiba menarik tangan pemuda itu. Mereka melewati pematang sawah dan rimbunnya pohon bambu. Lalu, sampailah pada sebuah tanah lapang. Di sana berdiri beberapa kaki-kaki rumah yang mulai ditumbuhi tanaman rambat.

Wanita setengah abad itu terduduk lesu. "Bapakmu pernah menjanjikan ini dua tahun lalu."

"Hanya saja caranya lebih menjijikkan dan bobrok daripada keadaan rumah kami," sambung wanita setengah abad sambil mendongakkan kepala, tatapannya mulai tajam.

Pemuda itu mendekat, kemudian berlutut sambil menggenggam tangan wanita setengah abad itu.

"Nek, Semesta adalah gadis yang pandai. Ia bisa bebas menggantungkan cita-citanya sejauh gambar galaksi yang tertempel di dinding rumah nenek. Biarkan, Nek. Ia menuju ke semestanya sendiri. Maaf atas kelakuan orangtua saya dulu. Tapi, saya berjanji nenek dan Esta akan jauh mendapat penghidupan yang layak. Jika melanggar, palung neraka jaminannya."

Wanita setengah abad itu mengatur napas. Agar isaknya segera reda. Mereka beranjak dari tanah lapang. Sepanjang perjalanan mereka tak bersuara hanya angin membisik dedaunan.

"Geulis, mungkin ambu selama ini salah." Wanita setengah abad itu menarik napas panjang. Ia menggenggam sebuah kertas.

Ia menyerahkan kertas itu kepada Esta, "Kenapa namamu Semesta? Supaya nanti kamu bisa melihat hal-hal yang jauh di sana. Juga, agar suatu saat kamu bisa mengambil cita-citamu yang tinggi itu, mengetahui hal yang tak banyak orang lain pahami."

Suara wanita setengah abad itu bergetar. Namun, Esta masih tak paham apa yang terjadi. Kelak, pada pagi berikutnya yang mendung ia baru mengetahui semuanya.

***

Dua setengah dekade berjalan.

Semesta Munarwan, begitu yang terpampang pada ID card yang menggantung di saku blazzer marunnya.

Sejak pagi yang gerimis itu, Esta resmi diadopsi Munarwan. Pemuda yang dua dekade lalu berlutut pada wanita setengah abad di bekas proyek ayahnya.

"Kamu yakin ingin berangkat ke Jepang bulan depan?"

"Iya, Ayah. Kayaknya aku belum puas kalau jadi supervisi aja. Bukankah Semesta harusnya melihat segalanya lebih luas dari yang lain?"

Munarwan menyunggingkan senyum. Esta menyambutnya. Keduanya lalu terdiam cukup lama. Kemudian Munarwan berkata, "Sudah pamit pada orang yang dulu mencintaimu?"

Esta tersentak. Mengurus birokrasi yang menggunung membuatnya lupa satu hal penting dalam hidupnya.

Esta menggenggam sebuah bungkusan. Tempat yang Esta tuju agak landai dan sedikit licin.

"Maaf, Ambu. Aku baru jenguk sekarang. Aku ingin meluaskan pandangan dan cita-citaku. Karena itu, minggu depan aku akan ke Jepang. Oh ya, aku bawa dua tangkai anggrek bulan kesukaan Ambu lho."

Esta terdiam, Matanya memejam, membiarkan dirinya ditampar-tampar angin kenangan. Sebuah keputusan tepat yang diambil untuk Semesta kala itu. Membuat wanita ini dapat lelap dalam damai, meski telah setahun kepamitannya.

Cirebon, 28 Mei 2019

Rizky Alvian lahir di Cirebon 20 tahun lalu, mahasiswa Teknik Sipil di Unswagati Cirebon

Redaksi menerima kiriman naskah cerpen, tema bebas, disesuaikan dengan karakter detikcom sebagai media massa umum yang dibaca semua kalangan. Panjang naskah sebaiknya tidak lebih dari 9.000 karakter, karya orisinal dan belum pernah diterbitkan di media lain. Kirim ke email mumu@detik.com


(mmu/mmu)

Hide Ads