Tetesan hujan satu per satu mulai mengetuk kaca kereta. Semakin lama semakin rapat dan deras. Kendaraan-kendaraan yang memadati jalan raya terlihat mulai menyalakan lampu. Jika dipandang dari langit, jalan-jalan di ibu kota dan sekitarnya pasti serupa aliran sungai cahaya. Semua bergerak mencari jalan pulang.
Di tengah sesaknya penumpang, terdengar percakapan mencemaskan banjir yang mengenangi beberapa wilayah di ibu kota. Jika hujan tak jua reda dan air kiriman dari wilayah pinggiran deras mengaliri sungai-sungai yang membelah ibu kota, ketinggian air akan terus bertambah. Kecemasan yang sama datang bersama pesan instan dari istriku, "Ayah kebanjiran? Di rumah gelap banget, dari asar hujan belum kelar."
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Di luar stasiun, seperti biasa, pedagang asongan serta gerobak penjual makanan dan buah-buahan menyambut langkah. Namun pemandangan yang tak biasa adalah orang-orang yang bergerombol di sekitar terminal bayangan. Biasanya orang-orang langsung masuk ke angkot biru D03 jurusan Tepi Kota - Kampung Kita yang berderet menunggu penumpang. Tapi malam ini, tak satu pun angkot biru D03 yang terlihat. Begitu juga angkot ke jurusan lain. Ada banjir di pertigaan jalan utama tak jauh dari stasiun, kata seorang timer.
Penyebab lain, kemacetan parah selepas hujan deras sehingga belum ada angkot yang masuk ke terminal bayangan. Aku mencoba memesan ojek online. Di aplikasi, ongkos naik dua kali lipat dari tarif biasanya. Tak masalah, pikirku. Yang menjadi masalah, setelah dicoba berkali-kali tak ada satu pun pengemudi ojek online yang merespons. Aku tak berani bertanya pada tukang ojek pangkalan, karena pasti tarifnya akan melonjak tajam.
Orang-orang yang kutemui mengalami hal serupa. Beberapa orang berjalan menjauhi stasiun menyusuri jalan raya mencoba menghadang angkot D03 yang masuk ke area jalan menuju stasiun. Tepian jalan raya sudah dipenuhi orang-orang seperti menunggu kedatangan pejabat tinggi atau tamu kehormatan. Namun, angkot yang ditunggu tak jua datang. Ini akan menjadi malam yang panjang, pikirku.
Aku mulai menimbang untuk mampir di warung mie ayam atau sate padang sambil menunggu banjir surut dan kemacetan terurai. Namun uang di saku baju sangat pas-pasan, sementara aku harus bersiap jika terjadi sesuatu, termasuk kemungkinan jalan kaki menuju rumah di Kampung Telaga sejauh 4,5 km.
Malam semakin merambat. Beberapa orang sudah bisa pulang karena dijemput oleh saudara atau kerabat. Tak ada pilihan lain, aku harus tetap setia menunggu angkot biru D03. Rasanya baru malam ini angkot biru D03 begitu dirindukan banyak orang.
Aku bernapas lega saat melihat cahaya mobil angkot D03 melaju perlahan. Orang-orang berlarian menyerbu pintu, tapi urung masuk karena hardikan penumpang yang mau turun dari angkot. Ketika penumpang terakhir turun, kehebohan terjadi, orang-orang berebut memasuki angkot. Namun, kapasitas angkot hanya untuk 14 penumpang. Dua orang lelaki nekad berdiri di pintu, selebihnya kecewa dan kembali ke pinggir jalan raya.
Satu per satu angkot mulai masuk, kadang angkot D03, kadang jurusan lain. Sementara di Stasiun Tepi Kota, kereta listrik terus berdatangan dan menumpahkan penumpang. Kerumunan penumpang yang menunggu angkot semakin bertambah. Beberapa kali aku kalah berebut dan terhuyung karena kekuatan desakan ibu-ibu. Pada kedatangan angkot entah kesepuluh atau kesebelas, aku baru bisa terangkut angkot D03, itu pun setelah selip sana-sini tanpa kompromi.
Duduk manis di dalam angkot belum menyelesaikan masalah, tapi titik awal perjalanan panjang. Setelah melaju 300 meter, banjir di pertigaan jalan menghadang laju angkot. Beberapa angkot dan mobil termangu, sementara satu dua angkot mencoba menerobos banjir. Hasilnya, angkot terhenti dan mogok di tengah banjir. Anak-anak muda berhamburan mendorong angkot atau mobil yang mogok.
Pertigaan yang banjir juga merupakan ujung dari jalan layang yang memisahkan rel kereta dan jalan aspal. Di atas jalan layang, mobil dan motor terhenti, tak berani meneruskan perjalanan. Sopir angkot yang saya naiki turun. Sopir yang masih sangat muda itu menghampiri beberapa tukang becak yang parkir di pinggir jalan.
Lelaki yang duduk di sampingku mulai menggerutu, "Kalau drainase lancar pasti tak akan banjir." Aku terdiam, begitu juga penumpang lain yang didominasi perempuan. Lelaki itu kemudian melontarkan berbagai kritikan pada pemerintah daerah yang dinilainya tak pernah menaruh perhatian. "Ngurus air saja nggak becus. Kalau cuma begini saja nggak ada gebrakan, tanpa ada wali kota, pemerintahan juga masih bisa jalan."
Kubiarkan lelaki itu menggerutu sendiri. Jika diladeni, pasti ia akan terus-menerus melontarkan kritikan yang hanya memanaskan suasana. Kurasa yang terpenting sekarang bagaimana agar cepat sampai di rumah. "Gotnya mampet gara-gara orang buang sampah sembarangan," celetuk lelaki yang duduk di samping sopir angkot.
Untung saja, sopir muda kembali ke singgasananya. "Bapak-bapak, kita melipir ke kolong layang lewat pasar ya. Di situ banjirnya nggak begitu dalam," katanya. Tanpa menunggu persetujuan seisi angkot, sopir muda membelokkan angkot menuju kolong jalan layang. Sebenarnya rute yang dipilih tersebut melanggar peraturan karena melawan arus.
Sopir muda berjibaku mengendalikan laju angkot. Beberapa kali terdengar hardikan dari mobil-mobil lain yang melaju. Sopir muda tak membalas hardikan itu. Seisi angkot harap-harap cemas. Ibu yang duduk di depanku memuji kesabaran sopir muda. "Masih muda, tapi tak emosian ya," katanya. "Angkot ini kan salah karena melawan arus, kalau dibalas pasti berantem," jawab penumpang yang duduk disamping ibu itu.
Selepas melewati kolong jalan layang, angkot kembali menjumpai jalan yang tergenang banjir tapi masih bisa melintas melewati tepi jalan yang posisinya lebih tinggi. Angkot melaju kencang setelah melewati banjir. Masalah belum selesai, karena tak lama kemudian kemacetan menghadang laju angkot. Entah apa penyebabnya, kabarnya ada banjir juga di dekat Perumahan Mahakarya.
Tapi tanpa banjir pun, selepas hujan jalan utama menuju Kampung Kita memang macet luar biasa. Lebar jalan raya tak bertambah sementara mobil dan motor cepat berkembang biak.
Angkot berjalan tersendat-sendat, sepeda motor menyelip di kanan-kiri angkot. Semua berebut setiap ada celah kemungkinan. Saat menjumpai perempatan jalan, sopir muda minta izin untuk melewati jalan pintas, menghindari kemacetan jalan utama. Angkot berbelok ke arah jalan raya yang membelah perkampungan. Perjalanan hanya lancar sejenak, laju angkot kembali tersendat. Sopir angkot yang melaju dari arah berlawanan berhenti. "Balik saja, percuma nggak bisa jalan, jembatan di depan kebanjiran," teriaknya.
Setelah mengalami kesulitan karena mobil dan motor semakin rapat, angkot yang kami naiki berhasil berbelok arah. Cobaan apalagi ini, pikirku. Ya udah, Bang pelan-pelan saja lewat jalan utama, kata seorang ibu. Iya, Bang kita cari jalan yang pasti-pasti aja, ucap salah satu penumpang. Saya mau tidur, bangunin kalau sudah sampai tujuan akhir ya, Bang, celetuk penumpang lainnya.
Begitulah, akhirnya angkot yang kami naiki kembali terjebak kemacetan di jalan utama. Semeter berjalan kemudian berhenti beberapa waktu. Istriku kembali mengirim pesan instan. Pastinya ia sangat cemas karena sudah hampir jam sepuluh malam, tapi aku belum sampai rumah. Biasanya waktu tempuh dari Stasiun Tepi Kota ke Kampung Telaga hanya 20 menit, paling parah satu jam jika ada kemacetan. Tapi malam ini perjalanan pulang terasa panjang dan melelahkan.
Saat hendak melewati pertigaan dekat rumah sakit, sopir angkot kembali melontarkan usulan, "Bagaimana kalau kita lewat jalan pintas di pertigaan depan?" Tanpa menunggu persetujuan dari penumpang, sopir angkot berbelok memasuki jalan yang hanya bisa dilalui satu mobil. Sebenarnya ini bukan jalan pintas yang lazim dilewati angkot, tapi sopir muda itu meyakinkan penumpang, "Tenang saja nggak mungkin kesasar!"
Setelah lima ratus atau enam ratus meter berjalan, tiba-tiba angkot berhenti, padahal di depan terlihat sepi tidak ada halangan. Sopir angkot menghela napas sambil memegang dahinya. "Maaf, Bapak-Ibu, bensinnya habis. Saya cari bensin dulu," kata sopir muda sebelum berjalan cepat meninggalkan angkot. Seisi angkot menggerutu karena jalan tersebut jauh dari pom bensin.
Aku dan tiga penumpang keluar dari angkot untuk mencari udara segar. Penumpang lain mencoba mengorder ojek online. Aku mengeluarkan telepon genggam dari saku baju. Sial, ternyata baterainya habis. Aku menghela napas panjang, menatap jalanan yang sepi, berharap sopir muda itu segera kembali membawa sejerigen bensin.
Langit seusai hujan masih gelap tanpa gemerlap bintang. Beberapa rumah sudah menutup pintu rapat-rapat. Tak heran, sebab sekarang mungkin hampir jam sebelas malam. Sekarang apa yang harus kulakukan: menunggu sopir kembali atau pulang jalan kaki.
Tiba-tiba mataku terkesiap menatap gerbang di pinggir jalan yang bertuliskan: Jalan Menuju Pemakaman Umum Kampung Pindahan. Aku menghela napas panjang. Perjalanan panjang malam ini bertambah dingin dan mencekam.
Depok, 28 April 2019
Setiyo Bardono kelahiran Purworejo dan bermukim di Depok. Telah menerbitkan tiga buku antologi puisi yaitu Mengering Basah (2007), Mimpi Kereta di Pucuk Cemara (2012), dan Aku Mencintaimu dengan Sepenuh Kereta (2012). Dua novelnya berjudul Koin Cinta (Diva Press, 2013) dan Separuh Kaku (Penerbit Senja, 2014)
Redaksi menerima kiriman naskah cerpen, tema bebas, disesuaikan dengan karakter detikcom sebagai media massa umum yang dibaca semua kalangan. Panjang naskah sebaiknya tidak lebih dari 9.000 karakter, karya orisinal dan belum pernah diterbitkan di media lain. Kirim ke email mumu@detik.com
(mmu/mmu)