Mereka adalah Taring Padi asal Yogyakarta yang mengekspresikan kritik sosial mereka lewat bahasa visual yang menyuarakan perlawanan dan pemberdayaan masyarakat lewat karya spanduk dan poster. Sedangkan Mella Jaarsma dan I GAK Murniasih mengeksplorasi tubuh dalam konteks politis dan gender dalam karya-karya mereka, mewakili identitas politik dalam kritik budaya.
Dalam karya-karya perupa lainnya I Nyoman Masriadi, S. Teddy D., Agus Suwage dan Tisna Sanjaya, teks dan visual populer muncul dalam gaya satir yang mengandung komentar kritis seputar peristiwa dan fenomena sosial. Perupa FX Harsono dan Krisna Murti menggunakan visual dari media massa (seperti iklan dan berita) untuk memaknai kembali situasi politis dan sosial pada masa itu.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Mella Jaarsma yang mendirikan Rumah Seni Cemeti bersama suaminya Nindytio Adipurnomo mengatakan, "Sebagai orang Belanda yang sudah lama tinggal di Indonesia, saya ikut merasakan tegangan antarsuku, agama dan ras menjelang dan setelah Reformasi," katanya dalam keterangan pers yang diterima detikHOT.
"Di lain pihak, saya juga merasa terhubung dengan struktur sosial pada Era Kolonial di Indonesia. Dalam konteks ini, saya adalah bagian dari minoritas di Indonesia. Saya selalu merasa diri sebagai insider sekaligus outsider. Dualisme ini menjadi dasar dari beberapa konsep utama dalam kekaryaan saya," lanjutnya.
Perupa FX Harsono pun mengatakan, "Dari awal berkarya, setidaknya sejak GSRB, saya percaya bahwa karya seni adalah bentuk pertanggungjawaban sosial si perupa terhadap masyarakatnya. Hal itu menunjukkan bahwa karya si seniman berasal dari persoalan sosial, budaya dan isu-isu lain yang terjadi di sekitarnya. Tanpa kesadaran itu, karya seni tidak memiliki akar," ungkapnya.
Pameran seni 'Dunia dalam Berita' berlangsung pada 1 Mei-21 Juli 2019 di Museum MACAN, Jakarta. (tia/nkn)