Biyung

Cerita Pendek

Biyung

Pasini - detikHot
Sabtu, 06 Apr 2019 10:56 WIB
IIustrasi: Nadia Permatasari/detikcom
Jakarta - Aku selalu suka mata Biyung. Bukan karena condong pada paham kebanyakan yang melulu mengistimewakan mata ketimbang anggota tubuh yang lain. Terlebih Biyung bukan pemilik mata bundar kekoin-koinan, atau jernih ala air mineral. Tapi fungsi mengenali pada sepasang matanya yang tak mampu diluruhkan pedang tajam waktu.

"Sumil!" sapanya ketika menguak pintu dan mendapati itu aku yang berdiri di sebaliknya. Salah satu dari memeluk, menarik tangan, atau mengelus pipiku, pasti dilakukannya setelah itu.

Panggilan itu adalah penyederhanaan dari kata sambutan panjang Biyung pada sekitar lima belas tahun lalu, pada kedatanganku yang pertama kali bersama lelaki itu. "Matamu, rambut ikalmu, lesung pipimu. Benar-benar milik ibumu. Mungkin beginilah ia sewaktu kecil dulu..." Lalu ia tertawa.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Sebenarnya aku ingin bertanya, bagaimana seorang perempuan biasa seperti ibuku bisa punya gaung yang bergema sampai ke mana-mana. Tanya yang sudah bermukim sejak kerap kali kedatangan lelaki itu ke rumah kami, dan menjadi tanya yang dikembalikan oleh Ibu dengan tatapan dalam. Sebuah perwakilan jawaban yang gagal kumengerti di usia jelang sepenuh jari tangan.

"Dia malaikat," kata Ibu jika terpaksa harus menjawabku. Yang kumaksud paksa bukan tanya yang kuuntai berulang-ulang atau terlisan dengan nada tegas. Melainkan sikap mematung di depannya yang sengaja aku lamakan.

Malaikat? Mungkin saja. Karena laki-laki paruh baya itu meminta dengan sendirinya untuk kuanggap sebagai pengganti Bapak. Ia datang paling tidak sebulan sekali dan memberiku banyak hadiah sebagai oleh-oleh. Kulihat ia juga menyelipkan banyak lembaran uang ke genggaman tangan Ibu, meski Ibu bergeming saja. Sikap diamnya begitu remang makna. Lelaki itu pula yang membiayai pengobatan sakit paru-paru akutnya hingga berujung meninggal.

"Jangan sedih. Aku akan membawamu. Di sana akan ada yang mengurusmu. Kami semua memanggilnya Biyung."

"Iya, Om."

Lelaki itu mendelik.

"Pa."

Dari panggilannya, aku langsung tahu Biyung adalah perempuan yang pasti tua, mungkin keibuan, mungkin cerewet, mungkin juga sependiam Ibu. Aku tak punya pilihan selain membiarkan lelaki itu menggamit lenganku menaiki mobil mewahnya yang selama ini lebih sering kubayangkan kenyamanannya saat berteduh di bawah pohon mahoni belakang rumah, juga saat bertandang ke rumah temanku yang kaya dan sengaja memilih ruang tamunya sebagai tempat kami bermain boneka. Pikirku waktu itu, yang namanya duduk di dalam mobil ber-AC mungkin saja seempuk duduk di sofa sembari dibelai manja sepoi angin.

Dua anak beberapa tahun di atasku --semuanya laki-laki-- mengibaskan tangannya saat diminta berkenalan. Aku menundukkan muka beberapa lama.

"Mari kutunjukkan kamarmu," kata Biyung histeris, mengobati virus tidak nyaman barusan.

Lalu aku dibawa Biyung melintasi pintu-pintu kamar dalam keadaan tertutup dan berhenti pada pintu paling ujung. "Jika kamu terus mengikuti lorong ini, akan ada taman dengan aneka bunga beserta bangku panjang di tengahnya."

"Udik!" kata anak sulung lelaki itu sambil tertawa. Adiknya menarik-narik ujung rambutku sambil memasang mimik jijik. Ia bahkan membuat gerakan seolah-olah mau muntah.

Jika lelaki itu tiba-tiba muncul dari arah tertentu, keduanya akan langsung lari berhamburan ke arah tak tentu. "Jangan dengarkan."

Reaksi yang hampir sama ditunjukkan ketika ada Biyung. Bedanya, tidak ada dari mereka yang berlari ketika pergi. Hanya sebatas berjalan dengan gaya yang dibuat-buat seperti sedang berjoget.

Satu yang kusimpulkan, posisi Biyung di rumah megah itu begitu dihormati. Meskipun seturut pengakuannya, ia hanya pengabdi yang menyerahkan sepenuh hidupnya sebagai balas budi.

Menurut cerita Biyung di bangku panjang taman malam-malam, ia beberapa tahun lebih muda dibanding ibu dari istri lelaki itu yang meninggal di usia cukup muda. Perempuan itu adalah seorang Nyai di zaman penjajahan Belanda. Saat Meneer yang mengawini kembali ke negerinya, ia tertinggal sebagai janda muda dengan deretan kekayaan yang melimpah. Tanah-tanah yang luas, juga begitu banyak perhiasan emas. Dengan begitu mudah ia memperoleh lelaki pribumi sebagai pengganti, menikah, lalu memiliki semata wayang perempuan yang nakal karena sangat dimanjakan.

"Ndoro Putri sangat baik hati. Keluarga Biyung diberinya penghidupan sebagai penggarap sawah-sawahnya. Karena itu Biyung bertekad membalasnya. Menjadi perawan dan tak dibelenggu kewajiban punya keluarga sendiri."

Peet!

Tiba-tiba lampu mati. Pertama kali hal itu terjadi, aku mengira ada pemadaman listrik akibat perbaikan jaringan. Tapi suara cekikikan ditambah riuh kaki-kaki berlarian, memberi kami pembantahan. Tak ada dari aku atau Biyung yang berkata apa-apa lagi. Kami lalu berpegangan tangan menyusuri lorong dan kembali ke rumah.

Aku dan Biyung memang terbiasa menggunakan malam terbilang muda untuk bersantai dan membicarakan apa saja. Karena di jam-jam itulah gembok yang merantai kaki dan tangan kami baru dilepaskan oleh pemegang kuncinya. Lelaki itu kembali ke rumah dari bekerja dan kedua anaknya spontan memasang wajah dimanis-maniskan.

Sepulang sekolah, aku ikut melakukan hampir pekerjaan apapun. Sementara Biyung berperan sebagai kepala pelayan yang mengatur ini-itu dan menampung semua keluhan urusan rumah tangga.

Jika Biyung melihatku ikut membantu, ia pasti menegurku, "Perinya Tuan tidak pantas melakukan itu."

Tapi tidak dengan kedua anak lelaki itu. Bernapas, kentut, bersin, tersedak, tampak sebagai kehura-huraan atas waktu. Mereka seperti sama sekali tak memberiku jeda koma. Jika lantai kamarnya sudah disapu, mereka komplain belum dipel. Jika sudah bersih dan licin, ditumpahkannya dengan sengaja susu atau jus buah. Begitu juga terhadap kemeja, lipatan seprei, atau titik embun pada kaca jendela.

"Tenang ya, Sumil. Ibumu memiliki darah penyabar," kata Biyung pada sebuah malam di bangku yang sama.Kemudian ia akan memelukku, membelai rambutku yang dipujinya tidak lagi penuh cabang dan bau matahari.

"Seperti apa Biyung mengenal ibuku?"

"Ia rajin dan pendiam. Teramat pintar menyembunyikan banyak warna dalam diamnya itu."

Lalu lampu taman dimatikan lagi. Aku dan Biyung kembali berpegangan tangan sembari berjalan berdampingan. Benda-benda yang kami raba membantu kami sampai pada ujung lorong.

Hingga tiba pada sebuah waktu, aku berjalan sendirian menuju dunia luar diiringi genangan air mata Biyung yang berdiri di dekat pintu pagar.

"Sering-seringlah ke sini meski Papa tidak ada lagi. Kau masih punya Biyung." Lalu lelaki itu menutup mata untuk selamanya.

***

Jika pelayan lain yang membukakanku pintu, maka ia akan berkata, "Biyung ada di taman, Mbak."

Lalu aku akan menyusul Biyung dan mengisi malam kami dengan berbincang seperti dulu. Meski tidak setiap hari, aku masih sering datang ke istana lelaki itu. Selepas keberpulangannya, aku mengontrak rumah sendiri.

"Kau sudah makan?" tanya Biyung.

Aku mengangguk geli sembari tersenyum. Padahal kami baru saja mencuci piring bekas kami pakai tadi. Usia lewat abad mengambil banyak hal baik dari Biyung dan hanya mengecualikan sepasang matanya saja. Kekuatan, kecepatan, pendengaran, bahkan ingatan.

"Andai Nyonya bijaksana, Tuan tidak akan tertekan hidupnya dan membagi hati."

Aku tidak terlalu terkejut mendengarnya. Di mana-mana yang namanya lelaki kaya pasti menjadi gudang gula.

"Gadis itu sungguh lugu, manis, dan kalem. Membuat hati berlabuh kepadanya meski hanya seorang pelayan."

Di masa timurnya, cerita ini tidak pernah keluar dari mulut Biyung. Ia sangat rapat menjaga harkat majikannya. Kalau saja bukan karena kepikunan, kupastikan kebenaran itu tidak akan pernah terantar kepada gerbang telingaku. Aku hanya berharap Biyung tidak kelepasan rahasia ini pada kedua anak lelaki itu.

"Sungguh menyesakkan bagi Tuan membiarkan gadis itu pergi dalam keadaan mengandung benihnya. Bertahun-tahun ia baru menemukan gadis itu yang ternyata telah menemukan lelaki baik yang mau menikahinya."

Biyung terus saja mengoceh. Aku menungguinya sembari terkantuk-kantuk. Persis seperti anak kecil yang menikmati dongeng sebagai pengantar tidur.

"Tuan begitu bahagia tahu memiliki anak perempuan, sesuatu yang melengkapi apa yang tidak diberikan istrinya. Dimanjakannya gadis kecil itu, terlebih setelah suami perempuan itu meninggal."

Ada sengatan yang membuatku mendadak bangun dengan instan. Meskipun baru pertama kali dikisahkan Biyung, aku tampak sudah sangat memahami ke arah mana alur akan mengalir. Perempuan pendiam, lelaki kaya, dan gadis kecil yang dilatih agar mau memanggil, "Papa."

Tak ada lagi kata lanjutan. Dalam diamnya, aku seperti mendengar kembali perkataan Biyung dulu, "Mungkin beginilah ia sewaktu kecil dulu. Aku akan memanggilmu Sumil. Sumiati Kecil."

Biyung menoleh, tersenyum.

Peet!

Pasini berdomisili di Ngawi

Redaksi menerima kiriman naskah cerpen, tema bebas, disesuaikan dengan karakter detikcom sebagai media massa umum yang dibaca semua kalangan. Panjang naskah sebaiknya tidak lebih dari 9.000 karakter, karya orisinal dan belum pernah diterbitkan di media lain. Kirim ke email mumu@detik.com

(mmu/mmu)

Hide Ads