Malam-malam sebelum hari itu, aku duduk di kursi berseberangan denganmu. Kepalamu terkantuk-kantuk ke depan. Lipatan kelopak matamu mengerjap, membuka dan menutup dengan cepat. Aku melipat tangan di depan dada. Kesal. Detak jam menunjukkan malam semakin larut. Bukan, aku tidak begitu mengkhawatirkanmu yang memaksakan diri. Rasa jengah memenuhi rongga dadaku karena lagi-lagi kau mengabaikan ucapanku. Sudah berulang kali kukatakan, meja makan digunakan ketika makan dan minum.
"Matikan laptopmu dan tidur di kamar!" perintahku dengan nada seperti seorang ibu menyuruh anak bandelnya yang keterusan menonton televisi sampai malam.
Kau tersentak. "Nanti saja. Ini belum selesai. Sayang, ini sudah malam. Kau tidur sekarang saja. Nanti aku menyusul."
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sebelum aku menikah denganmu dan tinggal satu atap bersamamu, sedikit pun aku tak pernah meragukan kepintaranmu. Kau punya IQ di atas rata-rata orang pintar. Ketika aku menikah denganmu, orang-orang di sekitarku berkata bahwa aku beruntung punya suami yang sangat bisa diandalkan. Itu menurut mereka.
Aku pun tak jauh berbeda dengan mereka. Tapi itu sebelum aku menikah denganmu. Kau punya sifat asli yang sangat menyebalkan menurutku. Di rumah, kau hanya mengenal satu tempat. Ya, meja makan. Kau selalu melakukan apapun di meja makan. Tidak hanya makan dan minum, kau akan bersantai minum kopi hitam sambil baca koran di sore hari, mengoreksi tugas mahasiswamu, sampai tidur pun di meja makan.
Sejak hari pertama aku satu atap denganmu hingga sekarang, sudah berulang kali aku mengatakan padamu bahwa fungsi meja makan hanya untuk makan dan minum. Tapi kau selalu saja mengabaikan ucapanku. Kau tetap akan minum kopi, membaca koran, mengoreksi tugas mahasiswamu, dan tidur di meja makan. Awal aku mengingatkanmu, kau mengangguk antusias tanpa beranjak dari meja makan padahal kau sedang mengetik soal ujian akhir semester untuk mahasiswamu. Kali berikutnya, kau hanya menolehkan wajahmu hanya untuk memberi isyarat kau mendengar peringatanku.
"Meja makan hanya digunakan ketika makan dan minum. Selain itu, jangan lakukan apapun di meja makan!" ucapku untuk ke sekian kalinya dengan nada tinggi.
"Tapi, Sayang sejak kecil aku sudah terbiasa melakukan apa saja di meja makan. Kau sudah tahu aku hidup serba kekurangan dulu. Di rumahku hanya ada satu meja yang berfungsi multiganda. Aku makan, minum, belajar, mengobrol bersama orangtua, dan tidur di meja."
Alasanmu mungkin bisa aku terima, tetapi tidak dengan sikapmu dalam memperlakukan meja makan. Jika sejak kecil kau tak bisa jauh dari meja, kenapa kau tak bisa menjaga meja makan dengan baik? Kau ini seorang dosen, tetapi kau sangat malas untuk bersih-bersih. Aku tak masalah membersihkan rumah sendirian. Tapi yang menjadi masalah adalah kau selalu saja mengotori meja makan. Kau sangat menyayangi meja makan kita, tetapi kau mengotorinya juga. Setiap selesai makan, kau akan meninggalkan piring dan gelas begitu saja.
Oke, itu tak apa. Kau buru-buru untuk pergi ke kampus. Sore hari pulang dari kampus, kau akan minum kopi di meja makan. Kau selalu saja meninggalkan gelas kopi begitu saja di sana. Gelas berjejer dengan isi yang berbeda sebagai teman minum sembari mengoreksi tugas mahasiswamu. Aku sangat geram dan gemas untuk tak memarahimu. Apakah kau tidak khawatir, gelas-gelas itu bisa saja tak sengaja tersenggol dan tumpah mengotori tugas mahasiswamu.
Semakin aku banyak melarangmu, kau semakin diam mengabaikanku. Urusan kebersihan meja makan adalah prioritasku. Sebab meja makan adalah sumber kehidupan. Kita mengisi perut di meja makan, menjaga hubungan rumah tangga pun di sana. Ketika aku masih kecil, ibu selalu menjaga meja makan agar tetap bersih. Hanya boleh ada makanan dan minuman di atas meja makan. Selesai digunakan, meja makan dibersihkan sebaik mungkin. Sisa-sisa nasi yang tertinggal di meja makan atau genangan air dari bawah gelas tidak luput dari pembersihan ibu.
Ibu pernah berkata, istri yang baik harus pandai menjaga meja makan. Jika ingin suami tetap mencintai istrinya, maka terlebih dulu dipuaskan perutnya. Maka meja makan harus steril dari apapun selain makanan. Ayah sering tersedak ketika makan karena ada benda lain selain makanan di atas meja. Pernah aku teledor menaruh tulang ikan bekas Whittie--kucing ras anggora peliharaanku--di atas meja. Aku pergi sebentar ke kamar mandi dan tak menemukan tulang ikan yang kutaruh di atas meja. Aku baru tahu tulang ikan itu ada di piring ayah yang tertimbun nasi. Entah bagaimana tulang ikan itu pergi ke piring ayah.
Kala itu ayah tersedak tulang ikan, suaranya tercekik, tangan ayah memegang leher, lidahnya keluar dari mulut, dan matanya melotot. Ibu segera mengurut leher ayah dan tulang ikan yang mengganjal kerongkongan ayah bisa dikeluarkan. Aku tak akan pernah lupa bagaimana kesakitan ayah ketika tersedak tulang ikan.
Ayah meninggalkan rumah juga gara-gara perkara yang tidak jauh dari meja makan. Dulu sebelum ayah pergi dari rumah, ayah berkata meja makan yang dirawat ibu menjadi dingin. Ayah pergi untuk mencari meja makan yang hangat di rumah perempuan lain. Ibu meraung dan menangis pilu, tak kuasa menahan kepergian ayah. Ibu menasihatiku agar menjaga meja makan jika suatu hari nanti aku hidup berumah tangga.
Ketika aku akhirnya punya suami dan meja makan sendiri, nasihat ibu tak benar-benar kujalankan dengan baik. Sebab apa? Kau selalu menaruh benda atau barang-barangmu di atas meja makan, bahkan ketika makan sekalipun. Kau tak mau menyingkirkan kertas-kertas hasil ulangan semester atau tugas mahasiswamu ke tempat lain. Aku tak suka ada benda lain selain makanan di meja makan.
"Kau bisa melakukannya di ruang kerjamu. Untuk apa ada ruang kerja jika kau mengoreksi tugas-tugas mahasiswamu di meja makan?!"
"Sayang, aku tidak suka di sana. Lebih enak dan praktis di meja makan."
Kau kembali mengabaikan rasa tidak sukaku. Nafsu makanku akan hilang setiap ada benda lain selain makanan di meja makan. Berbanding terbalik dengan kau yang makan dengan lahap. Kau ini hanya mengenal makanan enak dan sangat enak. Pernah aku tak sengaja membubuhkan garam terlalu banyak pada sayur kangkung, tetapi kau tetap melahapnya dengan nikmat walaupun di awal bilang agak asin. Tetap kau menghabiskannya.
Dari hari ke hari, aku semakin kurus karena nafsu makanku berkurang. Aku jatuh sakit dan kau malah menasihatiku agar banyak makan. Siapa orang yang membuatku tidak nafsu makan? Setiap ada benda lain di atas meja makan, aku akan teringat rasa kesakitan ayah ketika tersedak. Terpaksa aku hanya bisa di dalam kamar, termasuk makan. Dan itu lebih baik ketimbang aku makan di meja makan. Aku masih bisa menelan makanan. Tiga hari aku makan di kamar. Entah bagaimana keadaan meja makan ketika aku tidak mengurusnya. Semoga saja kau mau mencuci piring, gelas, dan mengelap meja makan.
Semalam aku mendengar sayup-sayup teriakanmu dan orang lain. Barangkali teman kerjamu karena sore harinya kau minta izin mengundang temanmu menonton pertandingan sepakbola antara Manchester United versus Arsenal di televisi. Pagi harinya, aku bangun dengan tubuh yang lebih bugar. Aku keluar dari kamar untuk mengecek bagaimana kondisi meja makan. Tapi tak kutemui meja makan di tempatnya. Pikiranku mulai kacau, mengira ada maling yang masuk ke dalam rumah dan mencuri meja makan.
Kucari kau di ruang tamu. Apa yang ada di ruang tamu mengumpulkan semua kemarahanku. Meja makan tersempil di ruang tamu. Lelehan kopi beserta ampasnya membasahi meja, kulit kacang berserakan, dan kau tertidur pulas dengan kepala di antara kulit kacang itu. Mataku tertuju pada bingkai foto di samping televisi.
Sebelum meja makan berbahan dasar kayu jati itu terjungkal, terbalik, dan menggulingkan semua benda yang ada di atasnya, bingkai fotomu bersama presiden telah lebih dulu teronggok di lantai dengan pecahan kaca sebagai hiasannya. Fotomu memegang piala dan piagam penghargaan dari presiden atas prestasi sebagai dosen terbaik di negeri ini tak membuktikan kepintaranmu, bahkan hanya untuk mengerti apa itu fungsi dari meja makan. Kau bangun dengan wajah kebingungan.
Kebumen, 11 Maret 2019
Umi Salamah lahir di Kebumen, 21 April 1996. Buku terbarunya sebuah novel remaja berjudul Because You Are My Star (Alra Media, 2017)
Redaksi menerima kiriman naskah cerpen, tema bebas, disesuaikan dengan karakter detikcom sebagai media massa umum yang dibaca semua kalangan. Panjang naskah sebaiknya tidak lebih dari 9.000 karakter, karya orisinal dan belum pernah diterbitkan di media lain. Kirim ke email mumu@detik.com
(mmu/mmu)











































