Perkara Pintu

Cerita Pendek

Perkara Pintu

Sabrina Lasama - detikHot
Minggu, 10 Mar 2019 11:00 WIB
Ilustrasi: Nadia Permatasari/detikcom
Jakarta - Kami sudah genap satu tahun menikah dan aku tidak pernah lupa satu hari pun memberitahunya untuk menutup pintu kamar ketika dia berjalan keluar serta mengatakan kepada suamiku itu untuk mengembalikan handuk pada tempatnya setelah digunakan. Itu artinya aku sudah memberitahunya sebanyak 365 kali, tapi tak sekali pun dia mendengar.

Aku tidak pernah alpa untuk memperingatkannya tentang dua perkara itu di jam yang sama setiap harinya, pukul 07.15 saat sedang menuangkan kopi yang mengepul ke dalam cangkir di meja makan.

Pada tiga bulan pertama pernikahan dia akan tersenyum sebelum menyeruput dari cangkir kopinya lalu kemudian berkata, "Iya, Sayang."

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Pada bulan keempat hingga ketujuh pernikahan dia berkata singkat, "Oke." Pada bulan kedelapan hingga kedua belas pernikahan dan mungkin karena dia sudah lelah mendengar peringatan ini setiap harinya, dia hanya akan menatapku selama tiga detik sambil menyeruput dari cangkir kopinya, meletakkan cangkir itu kembali, membuka surat kabar dan menganggap semua perkataanku seperti asap pada cairan kopi. Pernah ada tapi kemudian hilang. Atau ada tapi bukan sesuatu yang penting untuk dihiraukan.

Meski dia tidak pernah mengungkapkan, aku tahu benar apa makna tatapan tiga detiknya tiap kali aku mulai protes tentang pintu yang tak ditutup dan handuk yang tidak dikembalikan pada tempatnya. Dia tentu saja berpikir wanita macam apa yang telah dinikahinya ini. Ketika istri-istri lain membicarakan tentang rasa nasi yang tak lagi sama karena ternyata berasnya diimpor dan harga telur yang melonjak seperti dolar, istrinya justru membicarakan tentang betapa penting menutup pintu kamar dan tidak menggeletakkan handuk di atas lantai sembarangan.

"Ketika kau tidak menutup pintu saat berjalan keluar kamar berarti kau telah membiarkan segala rahasia dan privasi kita menjadi konsumsi publik."

"Hanya kita berdua di rumah ini, Sayang."

"Ya, tapi dari dulu aku tidak suka pintu kamarku terbuka. Aku tidak suka orang lain mencuri-curi lihat ke dalam kamarku."

"Tapi tidak ada orang lain di rumah ini!" dia bersikeras.

Ketika hal ini aku adukan kepada ibuku, dia hanya akan tersenyum dan mengatakan itu adalah perkara remeh temeh yang biasa terjadi pada pasangan yang baru menikah. Itu adalah kebiasaan-kebiasaan pasangan yang dapat dikompromikan.

Tapi aku tidak bisa kompromi. Aku benci melihat pintu kamarku terbuka. Dari dulu. Dari ketika aku sudah mulai memiliki kamar sendiri. Kamar adalah tempatku tidak perlu menjadi orang lain. Kamar adalah tempatku mengerjakan hal-hal yang kusukai: membaca, mendengarkan musik, tertawa ketika menonton komedi, atau ketika tidak sedang mengerjakan apa-apa sekalipun.

Kamar adalah tempatku bersembunyi saat suara Ayah menggelegar dan Ibu membalas dengan membanting benda apa saja yang ada di dekatnya. Mereka saling melampiaskan kemarahan hampir di setiap sudut rumah dan kebanyakan saling memukul di dalam kamar mereka dengan pintu terbuka. Mereka saling meninju sekaligus saling cinta. Ketika kecil dulu saat harus berjalan melewati kamar orang tuaku, aku selalu mencuri lihat ke dalam dan ketika Ayah menyadarinya dia akan membanting pintu tepat di depan batang hidungku.

Aku tidak pernah berbagi kamar dengan orang lain sepanjang hidupku sampai dengan menikah dan menyadari sudah selazimnya di dunia ini seorang istri berbagi kamar dengan suami sekaligus berbagi kepahitan. Pernikahan tercipta dari rangkaian kemarahan yang butuh dilampiaskan dengan cara membanting benda-benda ataupun mendaratkan bogem mentah di wajah pasanganmu. Kecuali kalau kau ingat untuk menutup pintu kamar dan tidak membiarkan orang lain melihat kondisi yang sebenarnya.

"Kau terlalu melebih-lebihkan ini, Sayang," suamiku pernah berkata demikian ketika suatu hari ibunya datang menginap di rumah kami. Ibu mertuaku berjalan keluar masuk kamar kami karena pintunya tidak pernah tertutup. Ataupun saat sedang tertutup, dia tak pernah mengetuk ketika akan masuk.

"Aku berbagi kamar dengan kedua saudara laki-lakiku di rumah masa kecil kami. Kamar kami bahkan tak memiliki pintu. Hanya ada selembar kain yang menutupi ambang pintunya." Aku bergidik ngeri ketika dia menceritakan hal itu. Aku tidak pernah berbagi kamar dengan siapapun sebelumnya. Aku anak tunggal dan orangtuaku selalu mengetuk pintu ketika akan masuk. Dan tentu saja setelah mendapat persetujuanku.

Pada hari yang lain, kakak perempuannya datang berkunjung ke rumah kami dengan membawa anak balitanya. Kakak iparku itu dengan santainya masuk ke kamar dan mengobrol dengan suamiku berjam-jam, sementara anak balitanya melompat-lompat di atas ranjang. Aku sampai tidak mengerti apa fungsi ruang tamu dan sofa kalau mereka harus duduk di atas tempat tidurku untuk bercengkerama.

Aku senang menghabiskan waktu di balik pintu kamarku yang tertutup dan tidak perlu mencari handuk ketika selesai berkegiatan di kamar mandi yang terletak di dalam kamar kami. Tetapi lelaki yang kunikahi itu tak pernah membuatnya mudah untukku.

Kami hampir tidak pernah bertengkar selama pernikahan. Sekalipun bertengkar, itu didominasi oleh perkara pintu dan handuk ini. Tapi sebuah pertengkaran hebat telah terjadi beberapa hari sebelum hari ulang tahunnya.

Keluarga suamiku yang terdiri dari ayah, ibu, dua saudara laki-laki dan dua saudara perempuannya bersepakat untuk mengadakan pesta ulang tahun ke tiga puluh lima untuk suamiku sekaligus syukuran ulang tahun pernikahan kami yang pertama.

Mereka bersepakat untuk mengadakan acara sederhana itu di rumah kami dengan mengundang sanak keluarga dan kerabat terdekat. Mereka merencanakan semua itu tanpa melibatkanku. Aku bahkan baru tahu saat kedua kakak ipar datang ke rumah dan menggelar karpet di lantai kamarku. Mereka bilang akan menginap untuk memasak makanan yang akan disajikan pada acara keesokan harinya.

"Mereka bisa menginap di kamar tamu." Aku mendesis pada suamiku.

"Tidak. Mereka akan menginap di kamar kita. Ibu akan tidur di ranjang bersamamu dan mereka di lantai."

Dadaku berdebar kencang demi membayangkan akan berbagi kamar dengan orang lain. Sebanyak itu.

"Kalau begitu aku yang akan tidur di kamar tamu."

"Tidak, Sayang. Kami para laki-laki yang akan tidur di sana. Bersama Ayah."

Aku hanya bisa terdiam. Tidak pernah ada acara di rumahku sampai mengharuskan orang lain untuk menginap demi mempersiapkannya. "Kau tahu kan aku tidak pernah berbagi kamar dengan orang lain sebelum ini?"

"Percayalah ini tidak seburuk yang kau pikirkan. Bukankah ini seru? Kita semua berkumpul untuk membuat pesta. Aku serasa kembali ke masa kecil. Kami sering berkumpul seperti ini ketika ada keluarga yang punya hajatan." Aku bisa melihat kebahagiaan membuncah di wajah suamiku.

Malam itu aku tidak bisa tidur dan hanya meringkuk di bagian sisi tempat tidurku sambil sesekali menimpali dengan senyum pada obrolan ibu mertua dan para ipar yang seperti prosedur keselamatan penerbangan sebelum lepas landas; kau sebenarnya tidak tertarik mendengarnya tetapi kau harus.

Keesokan harinya tepat setelah kokok pertama ayam jantan, kamarku mulai berisik. Para ipar sangat antusias menyebut satu per satu daftar belanja untuk keperluan memasak mereka sepanjang hari sebelum acara pada malam harinya.

"Kami akan ke pasar. Kau mau ikut?" salah satu saudari ipar menanyaiku.

"Ah, tidak. Aku mau mandi dan menyiapkan perlengkapan masak saja."

"Oke, baiklah," yang lain menimpali.

Aku ingat jam menunjukkan pukul 06.30 saat aku beranjak dari tempat tidur menuju kamar mandi. Aku butuh menyegarkan diri setelah semalaman tidak tidur. "Tolong tutup pintunya saat kalian keluar nanti," ujarku sebelum menghilang di balik pintu kamar mandi.

Aku tidak mendengar suara para ipar saat selesai mandi dan tidak menemukan handuk pada tempatnya. Suamiku pasti mandi kemarin sore dan menggeletakkannya begitu saja entah di mana.

Aku keluar dari kamar mandi dan merasa begitu kesal saat mendapati pintu kamar tidak tertutup, padahal aku ingat telah berpesan kepada mereka untuk menutupnya saat keluar. Dan yang membuatku tak bisa mengendalikan diri ketika itu adalah kehadiran adik laki-laki suamiku di dalam kamar.

"Maaf, Kakak Ipar. Aku sedang mencari kunci mobil." Dia menjadi begitu kikuk. Laki-laki dewasa mana yang tidak kikuk melihat saudari iparnya telanjang bulat seperti ini? "Kami akan ke pasar. Kau mau ikut?"

"Tidak! Tolong kau keluar saja dan tutup pintu sialan itu!" teriakku. Dia kemudian berbalik dan bergegas pergi tanpa pernah menutup pintu kamar.

Aku ingat kemarahanku telah mencapai ubun-ubun. Aku meraih handuk baru dari dalam lemari dan melingkarkan seadanya membalut tubuhku sambil bertanya-tanya rumah macam apa yang ditempati suamiku semasa kecil. Apakah rumah itu tidak memiliki pintu? Lantas kenapa tidak ada satu pun dari mereka yang tahu caranya menutup pintu?

Jam di kamarku ketika itu menunjukkan pukul tujuh tepat. Di hari-hari biasa di jam sekarang aku telah berpakaian rapi seusai mandi. Aku akan ke dapur dan menjerang air panas sambil membakar roti. Pada jam tujuh lima belas aku akan menuangkan cairan kopi panas pada cangkir suamiku sambil mengingatkannya tentang betapa penting menutup pintu dan mengembalikan handuk setelah digunakan. Tapi tidak pada hari itu.

Aku bergegas menghampiri suamiku yang sedang bercengkerama dengan seluruh keluarganya di dapur. Dari pembicaraan mereka tampaknya sedang membahas menu apa yang akan dimasak. Dia menatap heran saat menyadari kehadiranku yang hanya berbalut selembar handuk dengan rambut basah awut-awutan.

"Sayang, kau sebaiknya berpakaian dulu sebelum bergabung bersama kami," ujarnya ditimpali tawa cekikikan para ipar.

"Sudah cukup!" aku berseru. Suamiku terperanjat. Keadaan hening seketika.

"Kakak Ipar, maafkan aku. Tadi aku tidak tahu kau sedang mandi dan...." Adik laki-laki suamiku mencoba menjelaskan. Mungkin dia menyadari penyebab kekesalanku.

"Sudah cukup! Tidak usah masak dan hentikan segala rencana pesta kalian."

Seluruh ruangan hening.

"Sayang...."

"Dan kau...." Aku menunjuk tepat di hidungnya. "Sebaiknya kau mulai belajar cara menutup pintu atau akhiri saja pernikahan ini!"

Aku berbalik meninggalkan kerumunan mata yang terkejut dan keheranan. Mungkin sebaiknya di masa lalu aku menanyakan apakah kau tahu caranya menutup pintu dan bersedia melakukannya untukku alih-alih apakah kau mencintaiku dan bersedia hidup bersamaku kepada lelaki yang kunikahi itu.

Aku ingat membanting pintu kamar dengan keras ketika itu dan menguncinya dari dalam dengan bunyi klik yang nyaringnya menggema ke seluruh penjuru rumah.

Sabrina Lasama berdomisili di Manado

(mmu/mmu)

Hide Ads