Aku menggeleng.
"Sungguh?"
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Hari ini, di tempat yang sangat jauh dari masa lalu, di ruang lain setelah kematian, kau tiba-tiba datang, duduk mendekat demi ketakutan. Jari kelingking kirimu bergetar. Menyala sewarna purnama sebelum akhirnya luruh seperti abu bercahaya di udara.
Kau bertanya, "Apa yang terjadi dengan jariku?" Lalu bening jatuh dari pipi.
Dua hari lalu kau datang sebagai orang baru. Barangkali kau belum tahu, semua orang termasuk aku, juga engkau, akan kehilangan tulang-tulangnya. Satu per satu. Seperti juga kita pada masa lalu, satu per satu lahir lalu mati dan pindah ke sini.
"Tak apa. Jangan takut," kataku. Tapi, kau menangis seperti anak kecil yang ujung jarinya tertusuk duri mawar atau jarum saat belajar menyulam. Aku memegang tanganmu, sekadar untuk membuatmu percaya bahwa di sini pun kau tak akan kubiarkan sendiri. Lalu kau diam. Tiba masanya di sepasang matamu yang basah aku lihat diriku gemetaran memegang erat tanganmu yang baru saja kehilangan satu ruas tulang jari kelingking kiri.
Tubuhku gemetaran sebelum lengan kananku menyala sewarna purnama, lantas luruh seperti abu bercahaya di udara. Wajahmu tak percaya. Begitu mudahkah seseorang melupakan seseorang yang lain? Demikian matamu berkata-kata.
"Tak apa," ucapku. "Aku sudah mengalami hal ini berkali-kali. Seseorang yang tak dapat memberikan apa-apa akan lebih mudah dilupakan. Meski yang sebaliknya, juga tak menjamin seseorang untuk diingat lebih lama." Kemudian lengan-lenganmu yang panjang memelukku. Sementara, lenganku yang tinggal satu berusaha keras membalas, namun tetap tidak menjangkau seluruh tubuhmu. Dadaku yang sedikit sesak oleh desak dadamu terasa lega oleh pelukanmu.
Aku tersenyum ketika langit seperti warna baju yang kau kenakan. Ia masih sama seperti kemarin, atau sebelum kemarin, atau kemarinnya kemarin yang sangat kemarin. Seolah-olah tak ingin berganti baju. Kau melepas pelukan dan bertanya mengapa? Aku tak tahu harus menjawab bagaimana. Pengetahuan dicipta seperti sepasang mata pisau, untuk memperbaiki sekaligus menyakiti. Lantas, apakah aku harus memberitahumu, sementara aku tahu kau pasti akan sedih karenanya? Lalu kau menunduk, mengawasi entah apa. Atau, menyembunyikan entah apa.
"Di sini tak ada yang tahu seseorang akan tinggal berapa lama. Seperti halnya di dunia." Kau menoleh. "Usia kita ditentukan oleh ingatan orang-orang di dunia. Ingatan diciptakan sebagai sebentang jembatan, menghubungkan seseorang dengan seseorang lain. Itu sebabnya leluhur mengajari kita merawat pohon silsilah dan berziarah, memasang foto keluarga dan menyimpan abu jenazah, menyimpan barang-barang peninggalan, dan membuat hari-hari peringatan. Setiap kali seseorang di dunia benar-benar melupakan kita juga orang-orang di sini lainnya, satu ruas tulang kita luruh seperti abu. Hari ini, seseorang baru saja melupakanmu. Dan, hari ini, entah ke berapa kali seseorang melupakanku. Tak masalah bagiku."
Di seberang sana, di bawah pohon tua yang entah apa namanya, sepasang mata kita tergoda oleh suara batuk dari seorang lelaki tua yang bergetar hebat. Tubuhnya yang tinggal badan dan kepala itu berguncang. Lalu warna purnama pecah seperti bulan terbit dari dalam dirinya. Sesaat kemudian seluruh tubuh itu luruh menjadi serpih cahaya.
"Semahal itukah nilai sebuah ingatan?" tanyamu.
"Begitulah. Puncak sebuah kematian adalah dilupakan. Kau memang akan mati begitu nyawa terlepas dari tubuhmu. Tapi, ingat ini baik-baik, kematian itu seperti kau sedang melepas baju. Ruh adalah dirimu sesungguhnya dan jasad hanyalah baju. Tapi, di sini ruh siapa pun akan mengalami kematian yang benar-benar kematian begitu mereka dilupakan orang-orang di dunia. Tuhan menciptakan manusia dengan 206 ruas tulang, tapi Ia hanya butuh satu ruas untuk membangkitkan setiap manusia. Kelak, bila tak seorang pun mengingat aku lagi, diriku tinggal tulang sebiji. Sebiji tulang yang hanya Tuhan seorang yang mengingatnya. Kau tahu, Tuhan tidak pernah lupa bukan?"
Kau mengangguk. Lalu berkata, maaf. Dan, aku hanya tersenyum.
"Itu sebabnya sebiji tulang tak bisa luruh menjadi abu cahaya."
"Apakah ingatanku dapat menyelamatkanmu?"
Aku diam. Aku tidak hendak menggubah sebaris puisi: ingatan tidak menyelamatkan apa-apa*). Tapi, aku teringat ketika kau di dunia dan salah satu hal yang kau benci dalam hidup adalah mengingat aku. Satu-satunya cara melupakanku adalah dengan mengingat hal-hal yang kau benci dariku. Hingga bagimu, seolah-olah ingatan adalah hukuman. Tak masalah bagiku, batinku sekali lagi, masih seperti dulu. Tapi, kelak ketika tulang setiap orang tinggal sebiji, apakah Tuhan sedang menghukum dirinya sendiri dengan terus mengingat?
Lalu lengan kananku gemetar, menyala sewarna purnama, lalu seperti yang sudah-sudah, luruh menjadi serpihan abu bercahaya.
Kau menangis. Seharusnya aku tak memberitahumu lebih. Aku menjadi membenci diriku yang membuatmu sedih, meski engkau pernah begitu benci kepadaku. Tak masalah bagiku.
"Sudahlah. Anggap saja hal biasa. Orang-orang datang dan hilang, memiliki dan kehilangan, diingat dan dilupakan. Seperti sepasang kekasih, atau Adam dan Hawa, tulang-tulang dipasang dan dilepaskan. Ini sudah biasa."
Tapi, kau masih seperti langit dan baju yang kau kenakan sekarang dan hampir tenggelam oleh air mata.
"Mmm...bagaimana kalau kita jalan-jalan?"
"Ke mana?"
"Ke taman. Ada sebuah perayaan di sana, sebab hari ini adalah malam Jumat. Entah siapa yang pertama menamainya, tapi orang-orang di sini menyebutnya Hari Mengingat."
"Hari Mengingat?"
"Ya."
"Apakah di sana kita akan mengingat orang-orang yang tubuhnya telah luruh menjadi abu bercahaya? Atau, apakah perayaan itu dapat membuatmu kembali utuh?"
Aku menggeleng. Semua orang, tak terkecuali aku, tak ada yang tahu apakah semua itu penting? Apakah semua itu dapat mengubah semua yang telah terjadi? Orang-orang berkumpul, bertukar cerita, umpatan, pujian, dan ledekan tentang bagaimana mereka sampai di sini, bagaimana mereka mati. Satu-satunya perkara yang sama sekali tidak terjadi di dunia. Mereka tertawa sambil melupakan tubuh mereka yang perlahan luruh. Perayaan hanyalah nama lain perkabungan. Mereka tahu, keberadaan mereka hanya sementara, yang abadi adalah kesementaraan itu sendiri.
Jam delapan. Di satu sudut taman pada Hari Mengingat kita duduk di bangku seperti sepasang manusia ikan dalam lukisan The Wonder of Nature. Seorang pengamen datang dan sebelum menyanyikan sebuah lagu, ia membuat lelucon tentang bagaimana ia sampai di sini. Pengamen itu memulai dengan tebakan, "Kau tahu kenapa tulang-tulangku tak pernah luruh?"
Kita menggeleng.
Lalu ia melanjutkan, "Aku terlahir sebagai seorang pengamen sebagaimana bapakku lahir sebagai pengamen dan sebagaimana kakek, buyut, canggah, dan seluruh leluhurku menjadi pengamen. Ketika anakku umur tujuh dan berkata, aku mau jadi dokter, aku bilang, jangan! Kau hanya akan membuat anak-anak kecil menangis karena kau takut-takuti dengan jarum suntik."
Kau tertawa. Kita tertawa. Dalam hati aku ingin bertanya, "Apa kau bahagia?"
Pengamen itu pergi setelah rela kau bayar hanya dengan satu senyum. Kemudian semuanya surut, dan kau bercerita. Kau bercerita bahwa sejak kepergianku, kau memilih tak memilih siapa-siapa. Menyendiri seperti pertapa, lalu kau menulis banyak cerita. Menulis, katamu mengutip seorang penulis, adalah bekerja untuk keabadian.**)
Aku tersentak. "Apakah semua penulis, termasuk kau dan lelaki tua itu sudah tahu tentang dunia ini?"
Kau menggeleng, mungkin untuk dirimu sendiri. Dan, berkata, "Mungkin," --mungkin untuk lelaki tua itu.
"Ngomong-ngomong, apa lelaki tua itu juga ada di sini?"
Aku menggeleng, Belum pernah ketemu. "Menurutmu, apa yang akan dia lakukan di sini?" tanyamu.
"Menulis."
"Untuk apa dia menulis di sini?"
"Entahlah. Kurasa karena dia seorang penulis. Itu saja. Sesederhana itu."
Lantas kau mengalihkan pembicaraan dengan bercerita penuh bahagia tentang buku-bukumu yang cetak berulang-ulang dan namamu diingat oleh banyak orang sebelum kau berpulang.
"Kau beruntung," kataku. Kau tersenyum. Lalu ujung jari kelingking kirimu diliputi cahaya, sesaat kemudian jarimu kembali utuh. Di dunia sana mungkin bertambah lagi seseorang atau beberapa yang mengingatmu, mungkin lewat bukumu.
Sementara, dalam diriku seseorang bertanya, "Sementara aku?"
Kepada orang lain dalam diriku mungkin tak perlu aku memberikan jawaban. Aku mengucapkan selamat kepadamu dengan sebuah pelukan. Lalu tubuh kita saling rengkuh seperti sepasang manusia ikan dalam sebuah lukisan. Tubuhku bergetar. Matamu mungkin sedang terpejam dalam pelukan atau dadamu yang tak lagi merasakan. Tubuhku bergetar. Mungkin terlalu halus, hingga tak membuatmu tersadar.
Satu-satunya hal yang aku takutkan adalah ketika kau membuka mata, lantas berkata, "Ingatan tidak menyelamatkan apa-apa." Sementara itu, kau jadi membenci diri sendiri dan berharap sekali segera dilupakan.
Tuban, 2018
Keterangan:
*) Ingatan tidak menyelamatkan apa-apa, menggubah puisi M Aan Mansyur: puisi tidak menyelamatkan apa-apa
**) Mengutip Pramoedya Ananta Toer
Umar Affiq penulis cerpen, puisi, dan resensi kelahiran Rembang, Jawa Tengah. Bergerak di Komunitas Sastra Malam Minggu. Hari Anjing-Anjing Menghilang adalah cerpennya yang memenangi kompetisi Kampus Fiksi Emas 2017 Diva Press. Buku kumpulan cerpennya yang terbaru berjudul Di Surga Kita Dilarang Bersedih (Basabasi, 2018)
Redaksi menerima kiriman naskah cerpen, tema bebas, disesuaikan dengan karakter detikcom sebagai media massa umum yang dibaca semua kalangan. Panjang naskah sebaiknya tidak lebih dari 9.000 karakter, karya orisinal dan belum pernah diterbitkan di media lain. Kirim ke email mumu@detik.com
(mmu/mmu)











































